AJARAN KAUM SUFI
Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
Karya : Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI
Penerbit : “Mizan” Bandung
Tahun : April 1985
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penyadur : Pujo Prayitno
mukadimah
Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang
Puji syukur bagi Allah yang, karena kebesaran-Nya, terselubung dari pandangan mata, dan karena kegemilangan dan kekuasaan-Nya dimuliakan atas segala yang dapat dicapai akal; yang esensi-Nya, karena tiada duanya, tidak sama dengan esensi para makhluk, dan yang sifat-sifat-Nya jauh berbeda dari syfat-sifat para makhluk yang dilahirkan sepanjang waktu. Dia-lah Yang Permulaan, Yang tak akan pernah lenyap, dan Yang Kekal, dan tak pernah mati; Mahatinggi Dia dari segala penyamaan, penetangan, dan pelukisan bentuk. Dengan tanda-tanda dan isyarat-isyarat-Nya, Dia menuntun ciptaan-Nya menuju (pengetahuan akan) Keesaan-Nya dan Dia membuat diri-Nya dikenal oleh para Wali-Nya lewat nama-nama-Nya, gelar dan sifat-sifat-Nya; sebab didekatkan-Nya pada-Nya bagian-bagian rahasia mereka dan dibuat-Nya hati mereka cenderung akan Dia, Dengan kebaikan-Nya hati nurani mereka dari ketidak sucian badaniah mereka, (jiwa-jiwa) dan ditinggikan-Nya sifat-sifat mereka agar tidak menyamakannya dengan segala yang dapat punah,
Dia telah memilih di antra mereka orang-orang yang dikehendaki-Nya untuk menjadi utusan-utusan dan penerima-penerima wahyu-Nya; Dia telah memberi mereka kitab-kitab yang berisi perintah dan larangan, memberi kabar gembira bagi mereka yang patuh, dan ancaman-ancaman pada mereka yang ingkar. Dia telah menjelaskan kelebihan mereka atas manusia-manusia lain dan meninggikan derajat mereka di atas segenap orang, betapapun mulianya.
Dengan Muhammad saw. Allah telah menutup rangkaian para Nabi itu, menanamkan Iman dan Tawakal dalam dirinya; sebab agamanya adalah sebaik-baiknya agama dan umatnya adalah sebaik-baiknya umat; hukumnya tidak akan dapat dibatalkan dan tidak ada umat yang menyamai umatnya.
Di antara mereka Allah telah menempatkan orang-orang terpilih, unggul dan saleh; kebaikan Tuhan telah datang pada mereka sejak dini. Sebab Tuhan telah mengikat mereka dengan firman-Nya agar mereka bertakwa pada-Nya, dan memalingkan jiwa-jiwa mereka dari dunia ini. Mereka bersungguh-sungguh dalam usaha mereka, dan mereka mendapatkan ilmu-ilmu (yaitu dari Al-Qur’an), mereka bekerja dengan tulus dan mereka diberi ilmu-ilmu (yakni tradisi (hadits) dan kisah-kisah para Wali (akhbar)), hati nurani mereka murni dan mereka dimuliakan dengan intuisi sejati (Yaitu pengetahuan ghaib yang dipeoleh dari pengalaman pribadi seseorang); kaki-kaki mereka teguh, pemahaman-pemahaman mereka jelas, cahaya mereke terang, mereka memliki pengertian akan Tuhan, menempuh perjalanan untuk mendekati Tuhan dan mengelak dari segala sesuatu selain Tuha. Cahaya mereka menembus segala selubung, bagian-bagian rahasia dalam diri mereka berputar-putar di sekeliling singgasana Tuhan; begitu tinggi mereka dinilai oleh Dia yang duduk di atas singgasana itu, dan mata mereka buta dari segala yang ada di bawah singgasana itu. Mereka adalah jasad-jasad ruhaniah, yang di atas bumi bersifat jasmaniah dan dicipta dengan dibekali sifat-sifat Ketuhanan; diam dan merenung, mangkir (dari manusia) tapi ada (bersama Tuhan), raja-raja yang berpakain gembel, orang-orang buangan dari segala bangsa, pemilik segala kebaikan dan cahaya segala petunjuk, telinga-telinga mereka peka, hati nurani mereka murni, sifat-sifat mereka tersembunyi, terpilih tercerahkan dan murni. Mereka semua ini ditempatkan oleh Tuhan di antara ciptaan-Nya dan dipilih di antara mereka yang dicipta oleh-Nya, mereka adalah saksi-saksi Tuhan untuk Nabi-Nya, dan rahasia-rahasia-Nya dipercayakan-Nya pada manusia pilihan-Nya. Semasa hidup Nabi, mereka merupakan orang-orang yang duduk daam mahkamah beliau dan seetelah Nabi wafat mereka menjadi umat terbaik beliau. Kemudan yang pertama tidak henti-hentinya memanggil yang ke dua, dan leluhurnya memanggil keturunannya, dengan lidah dari karyanya, yang membebaskan dari keharusan berbicara. Tapi setelah itu kehendak menghilang dan tujuan merosot; dan dengan ini datanglah hujan pertanyaan dan jawaban, buku-buku dan risalah-risalah; arti intinya diketahui oleh mereka yang menuliskannya dan dada (mereka yang membacanya) terbuka untuk mengertinya. Akhirnya, arti menghilang dan tinggalah namanya, isi pokoknya lenyap dan bayangannya menggantikannya, realisasi menjadi hiasan dan tahqiq (ferivikasi) menjadi dandanan. Orang yang tak mengenal (kebenran) berpura-pura memilikinya, dan orang yang hanya pernah menyebutkannya menghiasai dirinya dengan itu, orang yang banyak membicarakannya, menolaknya dengan tindakannya, dengan sikapnya. Yang tidak merupakan bagian dari padanya, dimasukkan ke dalamnya , yang tidak ada di dalamnya, dianggap berasal darinya, kebenarannya dijadikan salah dan orang yang mengetahuinya dikatakan bodoh, Tapi orang yang telah berpengalaman dengan (kebenran) itu pergi menjauh karena iri padanya; orang yang telah melukiskannya bungkam karena dengki padanya. Maka hati nurani (manusia) lari darinya dan jiwa-jiwa pergi meninggalkannya; ilmu dan penganut-penganutnya, larangan dan penerapannya lenyap; yang bodoh menjadi ilmuwan dan ilmuwan menjadi pemandu jalan.
Hal inilah yang memancing saya untuk menguraikan, dalam buku saya ini, cara para sufi itu, penjelsan sikap dan sifat mereka. Di sini saya telah memperbincangkan ajaran-ajaran mereka menyangkut ke-Esa-an dan sifat-sifat Tuhan, dam semua hal lain yang berhubungan dengan itu; sebab, keraguan telah muncul di antara orang-orang yang tidak mengetahui dogma-dogma mereka dan tidak mempelajari dogma-dogma tersebut di bawah syekh-syekh mereka. Saya kemukakan dalam bahasa ilmu, semua yang dapat dikemukakan; dan saya perikan dengan pemaparan lahiriah, semua yang pantas diperikan, sehingga hal itu bisa dimengerti oleh orang-orang yang belum mengerti kiasan-kiasannya, dan dipahami oleh orang-orang yang belum memahami ungkapan-ungkapannya.
Dengan ini saya telah berusaha keras untuk membela mereka melawan rasa iri orang-orang yang iri dan penafsiran buruk orang-orang yang bodoh. Buku ini sekaligus bisa menjadi petunjuk bagi mereka yang ingin mengikuti jalan Tuhan, dan membutuhkan Tuhan untuk mencapai realisasinya. Hal tersebut telah saya lakukan setelah mula-mula saya pelajari secara menyeluruh tulisan orang-orang yang benar-benar berpengalaman dalam masalah ini dan saya saring cerita-cerita dari orang-orang yang telah mencapai realisasi sejati kebenaran itu; saya juga telah berhubungan dengan orang-orang semacam itu dan menanyai mereka. Saya telah menyebut buku ini “Kitab Pengetahuan tentang Ajaran Kaum Sufi” yang menunjukan pokok-pokok isinya. Dari Tuhan saya mencari bantuan, dan kepada-Nya saya beriman; Nabi-Nya saya muliakan, saya jadikan beliau sebagai perantara saya. Tiada kekuatan atau bantuan, kecuali dari Tuhan.
DAFTAR - ISI BUKU
1. Apa sebabnya Orang-orang Sufi dinamakan SUFI.
2. Daftar orang-orang Termasyhur di antara para Tokoh Sufi.
3. Daftar orang-orang Sufi yang menerbitkan ilmu-ilmu kiasan dalam Kitab-kitab dan Risalah-risalah.
4. Daftar Orang-orang Sufi yang telah menulis tentang Akhlak.
5. Ajaran Kaum Sufi tentang Ke-Esaan Tuhan.
6. Ajaran Kaum Sufi tentang Sifat-sifat Tuhan.
7. Perselisihan Kaum Sufi tentang masalah apakah Tuhan telah berhenti mencipta.
8. Perselisihan Kaum Sufi tentang Nama-nama Tuhan.
9. Ajaran Kaum Sufi tentang Al-Qur’an.
10. Perselisihan Kaum Sufi tentang Sifat Firman.
11. Ajaran Kaum Sufi tentang Penglihatan (Nazhar)
12. Perselisihan Kaum Sufi tentang Penglihatan Nabi.
13. Ajaran Kaum Sufi tentang Takdir dan Penciptaan Tindakan.
14. Ajaran Kaum Sufi tentang (Batas) Kemampuan.
15. Ajaran Kaum Sufi tentang Paksaan.
16. Ajaran Kaum Sufi tentang Kemanfaatan.
17. Ajaran Kaum Sufi tentang Janji Baik dan Ancaman.
18. Ajaran Kaum Sufi tentang Syafaat.
19. Ajaran Kaum Sufi tentang Anak-anak.
20. Ajaran Kaum Sufi tentang Kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh Tuhan kepada Wakil-wakil-Nya.
21. Ajaran Kaum Sufi tentang Ma’rifat Ketuhanan.
22. Perselisihan Kaum Sufi tentang Sifat Ma’rifat.
23. Ajaran Kaum Sufi tentang Ruh.
24. Ajaran Kaum Sufi tentang Para Malaikat dan Rasul.
25. Ajaran Kaum Sufi tentang Kesalahan-kesalahan Para Nabi.
26. Ajaran Kaum Sufi tentang Kekuatan Gaib (Karomah) Para Wali.
27. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Iman.
28. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Hakikat-Hakikat Iman.
29. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Madzab-Madzab yang Sah.
30. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Penghasilan.
31. Mengenai Ilmu-Ilmu Sufi tentang Keadaan-Keadan (Ahwal).
32. Mengenai Sifat dan Makna Tasawuf.
33. Mengenai Pengungkapan Pikiran.
34. Mengenai Tasawuf dan Ketentraman Bersama Tuhan.
35. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Tobat.
36. Ajaran Kaum Sufi Mengai Zuhud.
37. Ajaran Kaum Sufi Mengenai kesabara,
38. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kefakiran.
39. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kerendahan Hati (Tawadhu).
40. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Ketakutan (Khauf).
41. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Ketakwaan.
42. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Keikhlasan
43. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Syukur.
44. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Tawakal.
45. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kepuasan,
46. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kepastian.
47. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Zikir
48. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Keintiman (Uns).
49. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kedekatan (Qurb).
50. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Penyatuan (Ittihad).
51. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Cinta (Mahabbah).
52. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Pelepasan dan pemisahan.
53. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kegairahan (Wajd).
54. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Keterkuasaan.
55. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kemabukan (Sukr).
56. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Ketiadaan dan Kehadiran.
57. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Pemusatan dan Pemisahan.
58. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Wahyu.
59. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Keluruhan (Fana) dan Kebakaan.
60. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Hakikat Ma’rifat.
61. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Peng-Esaan ((Tauchid).
62. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Pemerian Ma’rifat.
63. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Yang Mencari dan Yang Dicari.
64. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Upaya Keras (Mujahadah) dan Ibadah.
65. Ajaran Kaum Sufi Mengenai Mengajar Orang Lain.
66. Mengenai Ketakwaan dan Amal-Amalnya.
67. Mengenai Anugerah Tuhan Kepada Orang-orang Sufi dan Peringatannya Terhadap Mereka Lewat Suara-Suara Gaib.
68. Mengenai Peringatan Tuhan Kepada Mereka Dengan Pemberian Wawasan Batin.
69. Mengenai Peringatan Tuhan Kepada Mereka Melalui Pemikiran.
70. Mengenai Peringatan Tuhan Kepada Mereka Lewat Penglihatan dan Mukjizat.
71. Karunia Tuhan Kepada Mereka Yang Timbul Dari Rasa Cemburu-Nya.
72. Karuna Tuhan Berupa Kesulitan-Kesulitan Yang Harus Mereka Tanggung.
73. Karunia Tuhan Kepada Mereka Ketika Mereka Meninggal dan Sesudahnya.
74. Mengenai Karunia-Karunia Lain Yang Diberikan kepada Mereka.
75. Mengenai Audisi (Sama’).
1.
APA SEBABNYA ORANG-ORANG SUFI DINAMAKAN SUFI
Beberapa orang mengatakan : “Para sufi dikatakan demikian hanya karena kemurnian (shafa) hati dan kebersihan tindakan mereka (atsar).” Bisyr ibn al-Harits mengatakan “ Sufi adalah orang yang hatinya tulus (shafa) terhadap Tuhan.” Yang lain mengatakan : “ Sufi adalah orang yang tulus terhadap Tuhan dan mendapat rahmat tulus dari Tuhan.” Sebagian mereka telah mengatakan : “Mereka dinamakan sebagai para sufi karena berada pada baris pertama (shaff) di depan Tuhan, karena besarnya keinginan meraka akan Dia, kecenderungan hati mereka terhadap-Nya dan tingginya bagian-bagian rahasia dalam diri mereka di hadapan-Nya.” Yang lain telah mengatakan : “mereka dinamakan Sufi karena sifat-sifat mereka menyamai sifat orang-orang yang tinggal di serambi masjid (shufffah), yang hidup pada masa Nabi saw.” Yang lain-lain lagi telah mengatakan : “Mereka dinamakan Sufi hanya karena kebiasaan mereka mengenakan baju bulu domba (shuf).”
Orang-orang yang menisbahkan orang-orang Sufi dengan orang-orang yang tinggal di serambi masjid dan dengan bulu domba, manampakkan aspek lahiriah keadaan meraka; sebab meraka adalah orang-orang yang telah meninggalkan dunia ini, pergi dari rumah-rumah mereka, dan dari sahabat-sahabat mereka. Mereka berkelana ke sluruh negeri, menganggap tabu hasrat-hasrat jasmani dan menelanjangi tubuh mereka; mereka mengambil benda-benda dunia hanya asal cukup untuk menutupi ketelanjangan mereka dan menghilangkan kelaparan. Karena kepergian mereka dari rumah, mereka dinamakan “orang-orang asing”. Karena banyaknya pengembaraan yang mereka lakukan, mereka dinamakan “Pengembara”; karena perjalanan mereka di padang-padang pasir dan pengungsian mereka di gua-gua pada waktu terdesak, orang-orang tertentu di negeri itu (diyar) menamai mereka Syikaftis, sebab kata syikaft dalam bahasa mereka berarti “Gua” atau gua besar.” Orang-orang syria menamai mereka : “Orang-orang yang lapar”, sebab mereka hanya makan asal cukup untuk mempertahankan kekuatan mereka pada waktu terdesak. Maka Nabi saw. mengatakan : “Cukuplah bagi putra-putra Adam biji-bijian yang bisa menjaga kekuatan mereka.” Sarri as Saqathi melukiskan mereka begini : Makanan mereka adalah makanan orang sakit, tidur mereka adalah tidur orang yang tenggelam, pembicaraan mereka adalah pembicaraan orang bodoh.” Karena mereka tidak memiliki apa-apa, maka mereka dinakamakan “Pengemis”. Salah seorang dari mereka ditanya “Siapakah Sufi itu?” Dia menyahut : “Orang yang tidak memiliki, tak pula dimiliki.” Dengan sahutan itu dimaksudkan bahwa dia bukan budak nafsu. Yang lain mengatakan : “Sufi adalah orang yang tidak memiliki apa-apa, atau kalau dia memiliki, dihabiskannya.” Dikarenakan baju dan cara mereka memakainya, maka mereka dinamai orang-orang Aufi; sebab, mereka tidak mengenekanakn pakaian yang lembut atau indah, demi menyenangkan jiwa; mereka berpakaian hanya untuk menyembunyikan ketelanjangan mereka, memuaskan diri mereka sendiri dengan kain dan bulu domba yang kasar.
Nah, semua ini merupakan kenyataan keadaan hidup oarng-orang yang tinggal di serambi masjid di masa Nabi saw. sebab mereka semua adalah orang-orang asing, melarat, terbuang, teusir dari tempat tinggal dan harta milik mereka. Abu Hurairah dan Fudhalan ibn ‘Ubadi melukiskan mereka sebagai berikut : “Mereka hampir mati kelaparan, sehingga orang-orang Badui menganggap mereka gila.” Pakaian mereka dari bulu domba, sehingga bila mereka berkeringat, bau mereka seperti bau domba kehujanan. Begitulah sesungguhnya mereka dilukiskan orang. Uyainah ibn Hisn berkata kepada Nabi saw. : “bau orang-orang ini menyusahkan saya.” Tidakkah itu menyusahkan Anda juga?” Bulu domba addalah juga pakaian para Nabi dan Wali. Abu Musa al-Asy’ari menceritakan kisah berikut dari Nabi : “Di dekat karang di Rawha, tujuhpuluh orang Nabi bertelanjang kaki, berpakaian “aba” (baju dari kulit domba) kembali dari Rumah Lama (Ka’bah). Al-Hasan a-Bashri mengatakan : “Isa .s. biasa mengenakan kain, makan buah dari pepohonan dan melewatkan malam di mana saja beliau kebetulan berada.” Abu Musa al-Asy’ari mengatakan : “Nabi saw. biasa mengenakan bulu domba, mengendarai keledai dan menerima undangan orang-orang jelata (untuk makan bersama mereka).” Hasan al-Bashri mengatakan : “Saya mengenal tujuh puluh orang yang ikut bertempur di Badr, yang bajunya dari bulu domba.”
Nah, karena kelompok ini memiliki sifat-sifat yag sama dengan orang-orang yag tinggal di serambi masjid, seperti yang telah kami lukiskan dan berpakaian seperti mereka, maka mereka dinamakan “Shuffiyah-shuffiyah.”. Orang-orang yag menghubungkan mereka dengan serambi masjid dan “Barisan Pertama” menceritakan hati dan batin mereka sebagai berikut : “Sebab kalau orang-orang meninggalkan dunia ini dan kemudian menjauhi minuman keras dan menyisih darinya, Tuhan menyucikan (shaffa) hati nuraninya (sirr) dan menerangi hatinya.
Nabi saw. telah mengatakan : “Kalau cahaya merasuk hati, dia akan meluas dan membesar.”
Mereka berkata : “Dan apabila tandanya, wahau Rasul Allah?”
Beliau menjawab : “Mengelak dari kebohongan, beralih kepda kekekalan dan bersiap untuk mati sebelum kematian datang.”
Maka Nabi saw. mengatakan bahwa jika seseorang mengelak dari dunia ini, Tuhan akan menyinari hatinya.
Nabi saw. bertanya kepada Haritshah : “Apakah buktinya keimananmu?
Dia menjawab : “Saya telah menjauhkan jiwa saya dari dunia ini, saya selalu berpuasa di siang hari dan berjaga di malam hari, dan seolah-olah saya melihat singgasana Tuhan, dan para penghuni surga saling berkunjung-mengunjungi dan penghuni neraka saling membenci satu sama lain.” Dengan begitu dia memberi tahu kita bahwa kalau dia menjauhkan jiwanya dari dunia ini, maka Tuhan akan menyinari hatinya, sehingga apa yang (secara normal) tidak bisa dilihatnya muncul dalam pandangannya. Nabi juga berkata : “Jika aa orang yang ingin melihat seorang hamba yang hatinya telah disinari Tuhan, suruhlah dia melihat Haritsah.” Karena sifat-sifat tersebut, kelompok ini juga dinamai kelompok “Yang diterangi” (nuriyah). Pelukisan ini juga sesuai dengan orang-orang yang tinggal di serambi masjid; Tuhan Yang Maha Tinggi juga berfirman : “Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri.” (Qs. 9:109); (Hal ini berarti) bagian-bagian lahiriahnya bersih dari kekotoran-kekotoran, dan bagian batiniahnya besih dari pikiran-pikiran jahat. Tuhan Yang Maha Tinggi juga berfirman : “Manusia-manusia yang tidak disibukkan oleh kegiatan niaga, tidak pula oleh kegiatan dagang, dari mengingat Allah” (Qs. 24:37). Lebih-lebih disebabkan oleh kemurnian kesadaran mereka, maka firasat (firasah) mereka pun selalu benar, Abu Umamah berkisah bahwa Nabi berkata : “Takutlah pada firasat orang yang beriman, sebab dia melihat dengan cahaya Tuhan.” Abu Bakr ash-Shiddiq berkata : “Dibisikan dalam kalbuku bahwa anak dalam perut ini adalah putri Kharijah.” Dan memang begitulah nyatanya.
Nabi berkata : “Kebenaran keluar dari lidah Umar.” Uways al-Qarani berkata pada Harim bin Haiyan, ketika Harim meneyalaminya, “Dan damai bagimu, wahai Harim putra Haiyan!.” Padahal dia tidak pernah melihatnya sebelumnya. Lalu dia berkata : “Jiwaku mengenal jiwamu.” Abu Abdillah al-Anthaki berkata : “ Jika kamu berhunungan dengan orang-orang yang ikhlas, behubungan dengan ikhlas, sebab mereka adalah mata-mata yang memata-matai hati, yang merasuk ke dalam kesadaranmu dan timbul hasrat-hasratmu yang di dalam.” Maka, jika keadaan seseorang seperti yang dilukiskan tadi --- jika kesadaran murni, hatinya bersih, dadanya disinari – sudah tentu dia berada di baris pertama; sebab semuanya ini merupakan sifat-sifat para pemimpin. Nabi berkata : “Akan masuk surga tujuh puluh ribu ummatku tanpa harus menjalani perhitungan (hisab).” Lalu beliau meneruskan dan melukiskan sifat-sifat mereka : “Orang yang tidak mengamalkan sihir atau mendekati sihir, yang tidak mencap atau dicap melainkan menaruh kepercayaannya kepada Tuhan mereka.” Lebih jauh lagi, karena kemurnian kesadaran dan luasnya dada mereka serta kecemerlangan hati mereka, maka mereka memiliki ma’rifat yang sempurna dari Tuhan, dan tidak memiliki penolong lain untuk menyelesaikan perkara-perkara (asbab) mereka (kecuali Tuhan); Mereka beriman kepada Tuhan Yang Maha Tinggi, percaya kepada-Nya, puas dengan ketapan-Nya. Semua sifat ini , didpersatukan dalam nama-nama dan sebutan-sebutan yang diberikan kepada orang-orang ini, ungkapan-ungkapan itu tepat dan semua asal kata itu mendekati kebenaran. Meskipun kata-kata ini tampaknya beragam, namun makna dibaliknya sama saja. Jika istilah Shufi berasal dari kata shafa (kemurnian) atau shafwah (pilihan), maka bentuknya yang benar akan menjadi shafafiyah; sementara jika istilah itu mengacu pada shaff (baris) atau shuffah ( serambi masjid), maka jadinya shaffiyah atau shuffiyah. Tentu saja ada kemungkinan (pada asal kata pertama) bahwa suku kata waw telah dipindahkan ke depan fa sehingga menjadi shufiyah; atau (jika asal kata yang ke dua diterima) bahwa istilah itu hanya merupakan pleonasme yang marasuk ke dalam kata itu karena biasa digunakan. Tapi jika asal kata dari shuf (bulu domba) diterima, maka kata itu tepat dan ungkapannya bagus dari segi tata bahasa, dan sekaligus memiliki semua makna (yang dibutuhkan) seperti mengelak dari dunia ini, cenderung menjauhkan jiwa darinya, meninggalkan segala pemukiman yang telah mapan, terus menerus melakukan pengembaraan, menolak kesenangan-kesenangan jasmani, memurnikan tingkah laku, membersihkan kesadaran, meluaskan dada, dan sifat kepemimpinan. Bundar ibn al-Husain berkata : “Sufi adalah orang yang dipilih oleh Tuhan untuk diri-Nya sendiri, diberi kasih sayang tulus (shafa) dan dibebaskan dari yang bersifat jasmani, serta tidak diperkenankan berusaha melakukan segala yang meletihkan atas dalih apa pun. Maka dia dilindungi (shufi), sebagai perbandingan, orang bisa menyitir ‘ufi (dia dijaga) kufi (dia diberi imbalan), yaitu bahwa Tuhan telah memberi imbalan kepadanya maka dia menerima balas jada; dan juzi (dia diberi pahala), yaitu bahwa Tuhan telah memberi pahala kepadanya maka dia menerima pahala. Yang telah dilakukan oleh Tuhan atas dirinya, mengejawantah dalam namanya, Meskipun Tuhan sama sekali tidak tergantung pada-Nya.” Abu Ali ar-Ruzhabari, ketika ditanya tentang Sufi menjawab : “Orang yang menutupkan bulu domba ata kemurnian(nya), menganggap nafsunya sebagai tiran, dan setelah menjauhi dunia, berjalan di jalan manusia terpilih. Sahl ibn Abdillah at-Tustari memberikan jawaban sebagai berikut, ketika ditanya padanya pertanyaan yang sama : “Orang yang bersih dari ketidak murnian dan selalu merenung; yang terputus hubungannya dengan manusai lain demi mendekati Tuhan, dan yang di matanya emas dan lumpur sama nilainya. Abu’L huasin an-Nuri, ketika ditanya apakah tasawuf itu, menjawab : “Meningalkan segala yang bersifat jasmani.” Al-Junaid menjawab pertanyaan yang sama : “Tasawuf berarti memurnikan hati dari berhubungan dengan makhluk-makhluk lain, meninggalkan sifat-sifat alamiah, menekan sifat-sifat manusiawi, menghindari godaan jasmani, mengambil sifat-sifat ruh, mengikatkan diri pada ilmu-ilmu tentang hakikat, mengumpulkan segala sesuautu untuk masa yang kekal, menasehati seluruh umat, sungguh-sungguh berriman pada Tuhan dan mengikuti syariah Nabi.
Yusub ibn al- Husain berkata : “Dalam setiap umat ada kelompok terpilih, dan merekalah wakil Tuhan, disembunyikan oleh-Nya dari makhluk-Nya yang lain; orang semacam inilah yang dinamakan sufi.” Seseorang berkata pada Sahl ibn at-Tustari : “Di antara berbagai kelompok manusia ini, dengan siapa saya harus berhubungan?” Dia menjawab : “Tempatkan dirimu di antara para sufi, sebab tak ada yang mereka anggap tak dapat diterrima, tapi memberikan penafsiran ruhaniah (ta’wil) atas setiap tindakan, dan mereka akan memaafkan segala kekuranganmu, betapa pun keadaan (hal)mu.” Yusuf ibn al-Husain bercerita bahwa dia bertanya pada Dzun Nun : “Dengan siapa saya mesti berurusan?”Dia menjawab : “Dengan orang yang tidak memiliki apa-apa, dan tidak mencelamu betatapun keadaanmu; yang tidak berubah ketika kamu berubah, meskipun perubahan itu besar, sebab semakin kamu berubah, semakin kamu membutuhkan dia.” Dzun Nun juga berkata : “Aku melihat seorang wanita di salah sebuah pantai syria, dan aku berkata padanya : “dari mana asalmu (semoga Tuhan melimpahkan kasih-Nya padamu)?” Dia menyahut : “Dari orang-orang yang panggulnya jauh dari ranjang,” aku berkata : Dan ke mana tujuanmu?” dia menjawab : “Mencari manusia-manusia yang tiada dirintangi oleh kegiatan niaga, tidak pula oleh kegiatan dagang dalam mengingat Allah.” (Qs. 24:37) Aku berkata : “Perikan mereka” Lalu dia pun mulai menyitir puisi :
Yang mereka tuju adalah bersatu dengan Tuhan;
Hasrat mereka melambung pada-Nya semata;
Kesetiaan mereka hanya teruntuk Tuhan;
Wahai pencarian mulia, demi Dia Yang Selamanya ada!
Mereka tiada ikut berebut kesenangan dunia.
Kemuliaan, anak-anak, kekayaan dan kemewahan,
Segala keserakahan dan selera tiada mereka hargai;
Hidup enak dan senang di kota-kota ;
Menghadap kaki langit nan jauh, lamat-lamat nun di sana;
Mereka cari Yah Tak Terbatas, dengan tekad nan kuat.
Mereka runut alur-alur padang pasir;
Dan puncak gunung tinggi berduyun-duyun mereka panjat!.
2.
DAFTAR ORANG-ORANG TERMASYHUR DI ANTARA PARA TOKOH SUFI
Berikut ini adalah daftra nama orang-orang yang mengemukakan ilmu-ilmu mereka dan mengungkapkan pengalaman-pengalaman mereka, yang mengumumkan keadaan diri mereka dan memerikan keadaan-keadaan ruhaniah mereka, dengan kata-kata dan perbuatan --- setelah para Sahabat (semoga kebahagiaan dari Tuhan menyertai mereka) : Ali ibn al-HusainZain al- Abidin Putra Muhammad ibn Ali al-Baqir, dan putranya Ja’far ibn Muhammad al-Shadiq – mereka semua ini menyusul setelah Ali, al—hasan dan al-Husain (semoga Tuhan berkenan atas mereka!). Kemudian Uwais al-Qarani, al-Hasan ibn abi’l-hasan al-Bashri, Abu Hasim Salamah ibn Dinar al-Madani, Malik ibn Dinar, Abd al-Wahid ibn Zaid, Utbah al-Ghulam, Ibrahim ibn Adham, Al-Fudhail ibn Iyad, putranya Ali ibn al-Fudhail, Dawud at-Ta’i, Sufyan ibn Sa’id ats-Tsauri, Abu Sulaiman ad_darani, putranya Slaiman, Ahmad ibn ah-Hawari ad-Dimasyqi, Abu’l-Faidh Dzun Nun al-Mishri, Saudaranya Dzu’l-Kifli, Sari ibn al-Mughallis al-Saqathi, Bisyr ibn al-Hrits al-Hafi, Ma’ruf al-Karkhi, Abu Hudzaifah al-Mar’syi, Muhammad ibn al-Mubarak as-Shuri, Yusuf ibn Asybat, Dari orang-orang Khurasan dan al-Jabal adalah : Abu Yazid Thaifur ibn Isa al-Bistami, Abu Hafs al-Haddad, al-Naisaburi, Ahmad ibn Khadhruyah al-Balkhi, Sahl ibn Abdillah at-Tustari, Yusuf ibn al-Husain ar-Razi, Abu Bakr ibn Thahir al-Abhari, Ali ibn Sahl ibn al-Azhar al-Isfahani, Ali ibn Muhammad al-Barizi, Abu Bakr al-Kattani ad-Dinawari, Abu Muhammad ibn al-Hasan ibn Muhammad ar-Rajjani, Al-Abbas ibn al-Fadhl ibn Qutaibah ibn Manshur ad-Dinawari, Kahmas ibn Ali al-Hamdani dan al-Hasan ibn Ali ibn Yazdaniyar.
3.
DAFTAR ORANG-ORANG SUFI YANG MENERBITKAN ILMU-ILMU KIASAN DALAM KITAB-KITAB DAN RISALAH-RISALAH
Abul-Qasim al-Junaid ibn Muhammad al-baghdadi, Abu’l-Husain Ahmad ibn Muhammad ibn Abdish-Shamad an-Nuri, Abu Isa al-Kharraz yang disebut sebagai “Lidah Sufisme”. Abu Muhammad Ruwaim ibn Muhammad, Abu’l-Abbas Ahmad ibn Atha, Abu Abdillah Amr ibn Utsman al-Makki, Abu Ya’qub Yusuf ibn Hamdan as-Susi, Abu Ya’qub Ishaq ibn Muhammad ibn Ayyub an-Nahrajuri, Abu Muhammad al-Hasan ibn Muhammad al-Jurairi, Abu Abdillah Muhammad ibn Ali al-Kattani, Abu Ishaq Ibrahim ibn Ahmad al-Khawwas, Abu Ali al-Auza’i, Abu Bakr Muhammad ibn Musa al-Wasithi, Abu Abdillah al-Hasyimi, Abu Abdillah Haikal al-Qurasyi, Abu Ali al-Rudzabari, Abu Bakr al-Qahtabi, Abu Bakr al-Sybli yang disebut Dhulaf ibn Jahdar.
4.
DAFTAR ORANG-ORANG SUFI YANG TELAH MENULIS TENTANG AKHLAK
Abu Muhammad Abdullah ibn Muhammad al-Anthaki, Abdullah ibn Khubaiq al-Anthaki, al-Haritsad al-Muhasibi, Yahya bin Mu’adz ar-Razi, Abu Bakr Muhammad ibn Umar ibn al-Fadhl al-Warraq at-Tirmidzi, Abu Utsman Sa’id ibn Isma’il ar-Razi, Abu Abdillah Muhammad ibn al-Fadhl al-Balkhi, Abu Ali al-Juzajani, Abu’l Qasim ibn Ishaq ibn Muhammad al-Hakim al-Samarqandi.
Mereka semua adalah pemimpin-pemimpin (a’lam) yang dikenang dan dikenal banyak orang, yang sifat-sifat ulungnya telah disaksikan oleh orang banyak. Mereka mempersatukan ilmu-ilmu yang diwarisi (secara langsung dari Allah swt) dengan ilmu-ilmu yang dipelajari (lewat usaha belajar); mereka menyimak Hadits dan menggabungkan hukum, teologi (kalam), linguistik dan ilmu Al-Qur’an; dan dalam hal ini buku-buku dan karangan-karangan mereka menjadi saksi. Kami tidak menyebutkan para penulis yang lebih baru atau penulis-penulis yang sezaman dengan kita, meskipun mereka sama sekali tidak kurang ulung dibandingkan dengan orang-orang yang namanya disebut di atas, sepanjang yang menyangkut pengetahuan. Kehadiran mereka di antara kita membuat kita tidak perlu lagi membahas mereka.
5.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG KEESAAN TUHAN
Orang-orang sufi mengakui bahwa Tuhan itu Satu, Sendiri, Tunggal, Kekal, Abadi, Berpengetahuan, Berkuasa, Hidup, Mendengar, Melihat, Kuat Kuasa, Agung, besar, Dermawan, Pengampun, Bangga, Dhasyat, Tak Berkesudahan, Pertama, Tuhan, Rabb, Penguasa, Pemilik, Pengasih, Penyayang, Bekehndak, Berfirman, Mencipta, Menjaga, bahwa Dia diberi sifat dengan segala gelar, yang dengan itu Dia telah memberi sifat pada diri-Nya sendiri, dan Ia diberi nama yang dengan itu pula Dia telah memberi nama pada Diri-Nya sendiri, Bahwa karena sifat-Nya yang kekal, maka demikian pula nama-nama dan sifat-sifat-Nya sama sekali tidak sama dengan esensi-esensi lain, tak pula sifat-Nya sama dengan sifat-sifat lain,tak satupun dari istilah-istilah yang diterapkan pada makhluk-makhluk ciptaan-Nya dan yang mengacu pada penciptaan mereka dari waktu ke waktu , membawa pengaruh atas-Nya, bahwa Dia tak henti-hentinya menjadi Pemimpin, Terkemuka di hadapan segala yang ada, dan bahwa tiada sesuatu pun yang kekal kecuali Dia, dan Tiada Tuhan di samping Dia; Bahwa Dia bukan badan, potongan, bentuk, tubuh, unsur atau aksiden, Bahwa Dia tidak ada penyimpangan maupun pemisahan, tidak ada gerakan maupun kediaman, tidak ada penambahan maupun pengurangan; bahwa Dia bukan merupakan bagian, atau partikel, atau anggota, atau kaki tangan, atau aspek, atau tempat, bahwa Dia tidak terpengaruh oleh kesalahan, atau kantuk, atau berubah-ubah dikarenakan waktu, atau disifatkan oleh kiasan bahwa Dia tidak terpengaruh oleh ruang dan waktu, bahwa Dia tidak dapat dikatakan sebagai yang ddapat disentuh, atau dikucilkan, atau mendiami tempat-tempat; bahwa Dia tidak dibatasi oleh pemikiran, atau ditutupi selubung, atau dilihat mata.
Salah seorang tokoh besar Sufi mengatakan dalam wacananya (Al Hallaj) : Sebelum tidak mendahului-Nya, setelah tidak menyela-Nya, daripada tidak bersaing dengan dia dalam hal keterdahuluan; dari tidak sesuai dengan Dia; ke tidak menyatu dengan Dia; di tidak mendiami Dia; kala tidak menghentikan Dia; jika tidak berunding dengan Dia, atas tidak membayangi Dia; di bawah tidak menyangga Dia; sebaliknya tidak menghadap-Nya; dengan tidak menekan Dia; di balik tidak mengikat Dia; di depan tidak membatasi Dia; terdahulu tidak memameri Dia; di belakang tidak membuat Dia luruh; semua tidak menyatukan Dia; ada tidak memunculkan Dia; tidak ada tidak membuat Dia lenyap; Penyembunyian tidak menyelubungi Dia, pra eksistensi-Nya mendahului waktu, adanya Dia mendahului yang belum ada, kekekalan-Nya mendahului adanya batas. Jika engkau berkata kala maka eksistensi-Nya telah melampau waktu; jika engkau berkata sebelum, maka sebelum itu sesudah Dia; jika engkau berkata Dia maka D, i dan a (huwa) adalah ciptaan-Nya; jika engkau berkata bagaimana, maka esensi-Nya terselubung dari pemerian, jika engkau berkata di mana, maka adanya Dia mendahuli ruang; jika engkau berkata tentang ke-Dia-an, maka ke-Dia-an-Nya terpisah dari segala sesuatu. Selain Dia, tidak ada yang bisa diberi sifat dengan dua sifat (yang berlawanan) sekaligus, dan toh dengan-Nya kedua sifat itu tidak menciptakan keberlawanan. Dia tersembunyi dalam penjelaman-Nya menjelma dalam persembunyian-Nya. Dia ada di luar dan di dalam, dekat dan jauh; dan dalam hal itu Dia tidak sama dengan makhluk-makhluk. Dia bertindak tanpa menyentuh, memerintah tanpa bertemu, memberi petunjuk tanpa menunjuk. Kehendak tidak bertentangan dengan-Nya, pikiran tidak menyatu dengan-Nya; esensi-Nya tanpa kualitas (takyif), tindakan-Nya tanpa upaya (taklif)
Mereka mengakui bahwa Dia tidak bisa dilihat oleh mata, atau dibantah oleh pikiran, bahwa sifat-sifat-Nya tidak berubah dan nama-nama-Nya tidak diganti, bahwa Dia yang Pertama dan Terakhir, Zahir dan Batin; bahwa Dia mengenal segala sesuatu, bahwa tidak ada yang seperti Dia dan Dia Melihat dan mendengar.
6.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG SIFAT-SIFAT TUHAN
Mereka mengakui bahwa Tuhan memliki sifat-sifat yang nyata, dan bahwa Dia disifatkan dengan sifat-sifat tersebut, yaitu : berpengathuan, kuat, berkuasa, besar, berbelas kasih, bijaksana, agung, makakuasa, kekal, hidup, berkehendak, berfirman. Semua ini bukan merupakan badan, aksiden atau elemen. Mereja juga mengakui bahwa Dia memiliki pendengaran, penglihatan, wajah dan tangan, yang dalam kenyataannya tidak seperti pendengaran, penglihatan, wajah dan tangan yang biasa. Mereka mengakui bahwa ini semua merupakan sifat-sifat Tuhan, buaknnya anggota, kaki tanganatau bagian-Nya; bahwa semua itu bukan Di atau selin Dia; dan bahwa adanya semua itu tidak mengisyaratakan bahwa dia membutuhkan mereka. Atau bahwa Dia melakukan segala sesuatu dengan menggunakan mereka. Makna mereka merupakan sangkalan atas kebalikan mereka, yaitu makna yang merupakan pernyataan tegas bahwa keduanya ada dalam diri mereka sendiri, dan hidup karena Dia. Sebab pengeathuan itu tidak mengisyarakatkan sangkalan atas kebodohan, atau bahwa kekuasaan semata-mata mengandung arti sangkalan atas kelemahan; dalam hal yang bertama, pernyataan itu juga merupakan suatu penegasan pengetahuan, dan dalam hal yang ke dua penegasan kekuasaan. Jika seseorang memiliki pengetahuan karena dia tidak memiliki kebodohan, atau jika dia memiliki kekuasaan, hanya karena dia tidak memiliki cukup kelemahan, maka sangkalan atas kebodohan dan kelemahan itulah yang mengandung arti bahwa orang itu memiliki pengetahuan dan kekuasaan; dan demikian juga halnya dengan semua sifat lain. Fakta bahwa kami memerikan Tuhan sebagai yang memiliki semua sifat itu, tidak lantas berarti bahwa kami melimpahkan sifat atas-Nya; pemerina kami semata-mata merupakan penyifatan oleh kami sendiri, suatu nilai yang kami berikan pada sifat yag ada karena Dia. Jika ada orang mengatakan bahwa pemeriannya tentang Tuhan memiliki suatu sifat sejati, maka dia adalah seorang penipu yang nyata-nyata melawan Tuhan, sebab dia menyifati Tuhan dengan sifat yang tidak benar. Masalah ini tidak seperti penyebutan biasa, sebab seseorang mungkin saja “disebut” merupakan sifat dari orang yang menyebutkannya, bukan yang disebut. Orang yang disebut itu disebut dengan sebutan orang yang menyebutnya, tapi seseorang dinilai tidak dengan pemerian orang yang memerikannya. Nah, jika penyifatan oleh orang yang memerikan itu merupakan sifat Tuhan, maka penyifatan oleh orang-orang musyrik dan orang-orang kafir akan menjadi sifat-Nya, seperti anggapan bahwa Tuhan itu beristeri, putra dan sateru. Tapi Tuhan telah menyucikan diri-Nya sendiri dari penyifatan mereka itu ketika Dia berfirman : “Maha Suci, dan Maha Tinggi Dia dari segala yang mereka perikan!. (S.VI,100). Tuhan Yang Maha Tinggi disifati dengan sifat yang ada karena Dia, dan tidak terpisah dari Dia, Maka Dia berfirman : “Sedang mereka tidak mengetahui sedikit pun Ilmu Tuhan itu. (S.ii, 256). Dia juga berfirman : “Tuhan menurunkannya dengan perhitungan ilmu-Nya.” (S. iv, 164) dan Tidak seorang wanita pun yang mengandung dan melahirkan, melainkan dengan setahu Dia.” S.xxxV.12) dan lagi : “Yang mempunyai kekuatan yang amat tangguh.” (S.Li.58). Allah mempunyai karunia yang besar.” (S.Lvii.29). Allah itu Maha Kaya, Tumpuan Puji.” (S.xxxv.11). Yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (S.Lv.78).
Mereka juga mengakui bahwa sifat-sifat-Nya tidaklah bermacam-raam, tidak juga sama; bahwa pengetahuan-Nya tidak dama dengan kekuatan-Nya, bukan pula sesuatu yang lain dari kekuatan-Nya, dan demikian juga dengan semua siat-Nya, seperti pendengaran, penglihatan, wajah dan tangan ---- pendengaran-Nya tidak sama dengan penglihatan-Nya, tidak juga sesuatu yang lain dari penglihatan-Nya, demikian juga sifat-sifat-Nya bukanlaepelikan-kepelikan esensi (Tuhan).” h Dia, tapi juga bukan selain Dia.
Mereka berselisih mengenai masalah campurtangan, kedatangan dan turunnya Dia. Sebagian besar mereka beranggapan bahwa ini semua merupakan sifat-sifat-Nya, sepanjang tiga masalah itu sesuai dengan Dia, tapi ketiganya tidak diungkapkan dalam sebagian besar sitiran dan kisah-kisah (Yitu al-Qur-an dan Hadits), sekalipun begitu, orang harus mempercayainya tanpa sangsi lagi. Muhammad ibn Musa al-Wasithi berkata : “Karena esensi-Nya tidak ada penyebabnya, maka sifat-sifat-Nya pun tidak ada penyebabnya pula: berusaha menunjukkan kekekalan itu berarti menghilangkan harapan untuk memahami segala sesuatu dari hakikat sifat-sifat itu atau atau kepelikan-kepelikan esensi (Tuhan),” Salah seorang tokoh Sufi memberi penafsiran esoteris atas sifat-sifat ini dengan mengatakan : “Makna campur tangan-Nya adalah bahwa Dia membawa sendiri apa yang Dia kehendaki; sedangkan makna turunnya Dia ke sebuah benda adalah bahwa Dia mendekatkan benda itu pada diri-Nya. Kedekatan-Nya berarti perkenan-Nya dan kejauhan-Nya berarti penghinaan oleh-Nya; dan begitu juga halnya dengan semua sifat yang masing-masing bermakna ganda ini.
7.
PERSELISIHAN KAUM SUFI TENTANG MASALAH APAKAH TUHAN TELAH BERHENTI MENCIPTA
Mereka berselisih paham mengenai masalah apakah Tuhan telah berhenti mencipta atau tidak. Ebagian besar dari merreka mayoritas pemimpin dan orang-orang termasyhur di antara mereka mengatakan bahwa tidak mungkin Tuhanmnedapat sifat kekekalan pada waktu Dia belum berhak menunutut kekekalan. Tidak benar Dia berhak dari nama Pencipta karena Dia mencipta, atau nama Pembuat karena Dia mengawasi pembuatan makhluk-makhluk yang bsia mati, atau nama pembentuk karena Dia membentuk beberpa bentuk; sebab jika begitu, maka berarti selamaya Dia tidak sempurna, karena Dia hanya menjadi sempurna kalau Dia mencipta sungguh Tuhan jauh lebih tinggi dari itu!.
Mereka berpendapat bahwa Tuhan selamanya Pencipta. Pembuat, Pembentuk, Pemaf, Penyayang, Pengasih dan seterusnya, dikarenakan semua sifat-Nya yang dengan sifat-sifat tersebut, Dia memberi sifat pada diri-Nya sendiri, karena Dia telah diberi sifat dengan semua itu dalam masa pra kekekalan. Karena Dia disifati pengetahuan, kekuatan, kebesaran, keagungan dan kekuasaan, maka dengan begitu Dia disifati dengan pembuatan (takwin), penentuan dan pembentukan, demikian juga dengan kehendak, kebaikan, pengampunan dan pengasihan. Mereka tidak membedakan antara sebuah sifat yang merupakan tindakan dan sbuah sifat yang tidak dapat diperikan dengan tindakan seperti kehebatan, kegemilangan, pengetahuan dan kekuatan. Sama saja halnya, karena telah ditetapkan bahwa Dia Mendengar, Melihat, Berkuasa, Mencipta, Membuat dan Membentuk dan bahkan Dia Terpuji; toh jika Dia berhak atas nama-nama ini semata-mata karena kebaikan benda yang diciptakan, dibentuk dan dibuat, maka berarti Dia butuh mencipta; sedangkan kebutuhan merupakan tanda keduniawian. Lebih-lebih, hal ini akan mengisyaratkan perubahan dan pengalihan dari satu keadaan ke keadaan lain. Tuhan akan menjadi bukan Pencipta, lalu menjadi Pencipta lagi; Bukan Yang Berkehendak, tetapi kemudain Berkehendak lagi; dan hal ini akan berarti “tebenam” sebagai yang ditolak oleh Ibrahim Karib Tuhan a.s. ketika dia berkata “Aku tidak suka kepada sesuatu yang dapat terbenam.” (S.iv.76). Mencipta dan membuat merupakan sifat-sifat Tuhan, yang dengan jalan itu Dia telah diberi sifat sejak pra kekekalan. Padahal, tindakan dan sesuatu yang dilakukan bukan merupakan suatu hal yang sama, begitu juga dengan membentuk dan membuat. Tapi jika tindakan dan sesuatu yang dilakukan itu adalah sama, maka berarti makhluk-makhluk itu ada dengan sendirinya, sebab hubungan (ma’na) antara Tuhan dengan mereka tidak ada, kecuali bahwa mereka sebelumnya tidak ada lalu ada.
Tapi dengan sebagai ari mereka menolak doktrin di atas dan mempertahan pendapat bahwa hal itu mengisyaratakan bahwa penciptaan itu maujud-bersama dengan Tuhan dan pra-kekekalan.
Mereka mengakui bahwa Dia tidak berhenti menjadi Pengausa, Tuhan dan Rabb, tanpa rakyat atau abdi. Oleh sebab itu, dengan cara yang sama, bolehlah dakatakan baha Dia adalah Pencipta, Pembuat dan Pembentuk tanpa ada ciptaan, buatan atau bentukan.
8.
PERSELISIHAN KAUM SUFI TENTANG NAMA-NAMA TUHAN
Mereka berselisih paham mengenai nama-nama (Tuhan). Sebagian mempertahankan pendapat bahwa nama-nama Tuhan itu bukan Tuhan, tapi juga bukan yang selain Tuhan, sama dengan doktrin mereka mengenai sifat-sifat-Nya. Sebagian lain berpendapat bahwa nama-nama Tuhan adalah Tuhan.
9.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG AL-QUR’AN
Mereka mengakui bahwa Al-Qur’an merupakan firman nyata dari Tuhan, dan bahwa Kitab itu tidak dicipta atau dimulai pembuatannya secara lambat laun, atau merupakan suatu pembaharuan; bahwa Al-qur’an itu disitir oleh lidah kita, ditulis dalam buku-buku kita dan dilestarikan dalam dada kita, tapi tidak tinggal di dalamnya. Mereka juga mengakui bahwa Al-Qur’an itu bukan merupakan badan, unsur atau aksiden.
10.
PERSELISIHAN KAUM SUFI TENTANG SIFAT FIRMAN
Mereka berselisih paham mengenai sifat firman Tuhan. Sebagian besar berpendapat bahwa firman Tuhan merupakan suatu sifat Tuhan yang abadi yang maujud dalam esendi-Nya, yang tidak sama dengan pembicaraan makhluk-makhluk; dan bahwa firman itu tidak mengandung sifat esensial (ma’iyah), seperti juga esensi-Nya tidak mengandung sifat esesial itu, kecuali hanya untuk menegaskan. Salah seorang dari mereka telah berkata : “Firman Tuhan terdiri atas perintah, larangan, keterangan, janji (harapan) dan ancaman. Tuhan itu selamanya memerintah, melarang, memberi keterangan, memberi harapan, mengancam, memuji dan menyalahkan. Oleh sebab itu, karena kamu telah diciptakan dan karena akalmu telah matang, bertindaklah menurut peraturan tersebut; sebab kamu akan disalahkan karena ketidakpatuhanmu dan diberi pahala karena kepatuhanmu (dan semua ini telah ditakdirkan) ketika kamu diciptakan. Sebab dengan cara yang sama kita diperintah dan dipanggil (oleh Tuhan) lewat Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi, jauh sebelum kita diciptakan atau maujud.”
Sebagian besar mereka mengakui bahwa firman Tuhan tidak terdiri dari tulisan, suara atau ejaan, melainkan bahwa tulisan, suara dan ejaan tersebut merupakan tanda-tanda dari firman-Nya dan bahwa ketiganya memiliki alat-alat dan anggota-anggota sendiri; anak lidah, bibir dan lidah. Karena Tuhan tidak memiliki anggota dan tidak membutuhkan alat-alat, maka Firman-Nya tidak terdiri atas tulisan atau suara. Seoang tokoh Sufi berkata dalam makalahnya : “Siapa pun yang berbicara dengan menggunakan tulisan, berarti dia tunduk pada penyebab; sedangkan dia yang pembicaraannya tergantung (pada sesuatu yang lain), tidak lepas dari kebutuhan.
Sebuah kelompok sufi berpendapat bahwa Firman Tuhan memang terdiri dari tulisan dan suara, dan mereka mempertahankan pendapat bahwa firman itu hanya bisa diketahui dengan cara tersebut, dan mereka menegaskan bahwa Firman itu merupakan suatu sifat Tuhan dan esensi-Nya sebagai yang tak diciptakan, Ini adalah pandangan Harits al-Muhasibi dan golongan Modern ibn. Salim.
Jadi, akar masalah ini adalah karena telah ditetapkan bahwa Tuhan itu pra kekal dan Dia tidak sama dalam hal apa pun dengan makhluk-makhluk, dan bahwa sifat-sifat-Nya tidak sama dengan sifat-sifat makhluk, maka dengan demikian Firman Tuhan itu tidak terdiri dari tulisan dan suara, sebagaimana pembicaraan makhluk-makhluk. Lebih-lebih Tuhan telah menegaskan bahwa hanya Dia-lah yang memiliki firman itu, ketika Dia berfirman : “Dan terhadap Musa, Allah bercakap-cakap secara langsung.” Dan juga : “Adapun perintah yang kami ucapkan bila Kami menghendaki sesuatu ialah : “KUN”! Maka jadilah ia.” Dan lagi : “Supaya dia sempat mendengarkan Firman Allah.” Oleh sebab itu Dia disipati dengan kekekalan; sebab jika Dia tidak selamanya disifati begitu, maka firman-Nya pasti akan sama saja dengan pembicaraan makhluk-makhluk yag dilahirkan dari waktu ke waktu dalam pra kekekalan Dia pasti telah diberi sifat kebalikannya, yaitu diam atau gagap; dan karena telah ditetapkannya, bahwa Dia tidak berubah dan esensi-Nya tidak mudah dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa, maka pastilah Dia tidak diam, lalu berfirman lagi. Karena telah ditetapkan bahwa Dia berfirman dan bahwa firman itu tidak diciptakan lambat laun, perlulah kita mengakui hal ini. Karena telah ditetapkan bahwa firman itu tidak terdiri dari tulisan dan suara, maka perlulah kita mempertahankan penegasan semacam ini.
Kata “Qur’an” dapat ditafsirkan dalam beberpa cara dari segi tata bahasa. Kata itu bisa dianggap sebagai kata benda verbal dari akar kata “membaca” seperti yang difirmankan Tuhan : Manakala Kami telah selesai membacakan, maka ikutilah bacaannya itu.” (S.Lxx,18). Kata itu juga bisa diterapkan pada huruf-huruf dari abjad yang ada dalam salinan-salinan Kitab Suci, seperti yang dikatakan Nabi : “Janganlah bepergian dengan membawa Al-Qur’an di negeri musuh.” Karena itu, Firman Tuhan dinamakan Qur’an – setiap Qur’an (bacaan) yang bukan Firman Tuhan itu diciptakan dan dimulai pembuatannya secara lambat laun, sedangkan Al-Qur’an yang merupakan Firman Tuhan tidak diciptakan, tidak pula dimulai pembuatannya seccara lambat laun. Meskipun demikian, kata “Qur’an” hanya bisa dipahami dalam konotasi umumya yang berarti Firman Tuhan, dan dalam hal itu ia tidak diciptakan.
Orang-orang yang menahan diri agar tidak mengungkapkan diri mereka sendiri dalam masalah ini, bertindak begitu disebabkan oleh salah ssatu dari dua alasan berikut. Mereka menahan diri karena mereka ingin memerikannya secara lambat laun – sebab memang mereka berpandangan bahwa firman itu tercipta, Atau, mereka menahan diri disebabkan oleh keberatan-keberatan keagamaan. Atau, mereka menahan diri karena terikat pada konsepsi bahwa firman itu merupakan sifat Tuhan dalam esensi-Nya. Satu-satunya sebab yang membuat mereka menahan diri agar tidak mengungkapkan dan mengucapkan istilah “penciptaan” (sebagai yang diterapkan di sini) adalah bahwa mereka terikat pada gagasan yang menganggap firman itu merupakan sifat Tuhan – sedangkan sifat-sifat Tuhanitu tidak tercipta --- dan dengan demikian mereka tidak akan dihukum karena menolak apa yang mestinya mereka terima. Karena itu, mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan firman Tuhan, dan sesudah itu mereka bungkam, karena baik hadits maupun puisi-puisi yang disitir mengisyaratakan bahwa firman itu tidak dicipta; dan dipandang dari segi ini, mereka benar.
11.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG PENGLIHATAN (NAZHAR)
Para Sufi mengakui bahwa Tuhan akan bisa dilihat dengan mata di dunia mendatang, dan bahwa oarng-orang yang beriman akan bisa melihat-Nya sedang orang-orang yang tidak beriman tidak; sebab, itu merupkana karunia Tuhan sebagaimana yang difirmankan : “Untuk orang-orang yang berbuat kebaikan ada pahala dan bahkan ada pula tambahannya.” Mereka berpendapat bahwa penglihatan itu lewat akal, mungkin, dan lewat pendengaran, pasti. Mengenai kemungkinan melihat melalui akal, hal ini mungkin karena Tuhan itu maujud, dan segala sesuatu yang maujud (logisnya) bisa dilihat. Sebab Tuhan telah menanamkan daya lihat dalam diri kita; dan jika daya lihat Tuhan itu tidak ada, maka permohonan Musa, “Wahai Tuhanku! Perlihatkan diri-Mu kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu.” Akan merupakan (bukti) kebodohan dan kekafiran. Lebih-lebih, ketika Tuhan menjadikan penglihatan itu tergantung pada syarat bahwa gunung itu harus tetap tegak ( Dia berfirman, “Kalau bukit itu masih tetap tegak di tempatnya semula, mungkin engkau dapat melihat Aku”, dan mengingat juga bahwa tetap tegaknya bukit itu secara nalar mungkin – kalau memang Tuhan membuatnya tetap tegak – maka hal ini berarti bahwa penglihatan yang tergantung pada hal itu (tetap tegaknya gunung) pun secara nalar mungkin dan bisa diterima. Maka, kaerena telah ditetapkan bahwa penglihatan lewat akal itu mungkin, dan lebih-lebih karena telah dibuktikan bahwa penglihatan lewat pendengaran tersebut pasti -- Than berfirman : “Saat wajah orang-orang yang beriman pada hari itu berseri-seri, melepas pandang kepada Tuhannya.” Dan lagi : “ Untuk orang-orang yang berbuat kebaikan, ada pahala yang baik dan bahkan ada pula tambahannya.” Dan lagi : “ idak, yang sebenarnya mereka pada waktu itu benar-benar ditutup dari rahmat Tuhan. – dan karena hadits menegaskan bahwa penglihatan itu memang ada, seperti kata Nabi : “Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu seperti kamu melihat bulan purnama di malam hari, tanpa kebingungan mencari-cari Dia.” Yang mengenainya banyak kisah masyhur dan sahih, maka perlulah kita menegaskan hal ini, dan pecaya bahwa hal itu benar.
Penafsiran esoteris (batiniah) orang-orng yang menyangkal kemungkinan penglihtan akan Tuhan, seperti misalnya mereka yang menafsirkan “melepas pandang kepada Tuhannya.” Sebagai memandang kepada pahala Tuhannya,” sama sekali tidak bisa dibenarkan, sebaba pahala dari Tuhan itu tidak sama dengan Tuhan. Demikian juga dengan mereka yang mengatakan bahwwa “perlihatkanlah diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihatMu.” Merupakan permohonan akan sebuah tanda; hal ini tak bisa dibenarkan, sebab Tuhan sebelumnya telah memperlihatkan tanda-tanda-Nya kepada Musa. Demikian pul halnya dengan mereka yang menafsirkan ayat : “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.” Dengan pengertian : karena Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan maa di dunia ini, maka begitu juga di dunia nanti. Tuhan memang menyangkal bahwa Dia daapt dicapai oleh penglihatan, sebab penglihatan seperti itu akan mengisyaratkan cara (kafiyah) dan pembatasan, Dengan demikian, yang disangkal-Nya adalah penglihatan yang mengisyaratkan cara dan pembatasan, bukan penglihatan yang di dalamnya tidak ada cara, tidak pula pembatasan.
Mereka mengakui bahwa Tuhan tidak dapat dilihat di dunia ini, baik dengan mata maupun dengan hati, kecuali dari sudut pandang iman; sebab penglihatan ini merupakan puncak karunia dan rahmat paling mulia, dan karena itu tidak dapat terjadi kecuali ditempat yang paling mulia. Jika mereka telah diberi rahmat yang paling mulia itu di dunia ini, maka tidak akan ada bedanya antara dunia ini, yang akan lenyap nanti, dengan surga yang abadi; dan karena Tuhan telah mencegah manusia yang diajak-Nya berbicara itu dari mendapatkannya di dunia kini, wajarlah kalua manusia-manusia lain yang berada di tingkat lebih di bawah di cegah juga . Lebih-lebih, dunia ini merupakan tempat tinggal sementara, sehingga mustahil kalau Yang Kekal dapat dilihat di tempat tinggal yang sementara itu. Lebih jauh lagi, jika mereka telah melihat Tuhan di dunia ini, kepercayaan mereka terhadap-Nya akan bersifat aksiomtis (dharurah). Pendeknya, Tuhan telah menyatakan bahwa penglihatan itu akan diberikan-Nya di dunia nanti, bukan di dunia ini. Oleh sebab itu, perlulah seseorang membatasi diri pada apa yang telah dinyatakan dengan jelas oleh Tuhan.
12.
PERSELISIHAN KAUM SUFI TETANG PENGLIHATAN NABI
Mereka berselisih paham mengenai apakah Nabi melihat Tuhan sewaktu dalam perjalanan malan. Sebagian dari mereka, termasuk tokoh-tokoh Sufi terpenting, menyatakan bahwa Muhammad tidak melihat-Nya dengan matanya, begitu pula makhluk-makhluk lain di dunia ini. Lebih-lebih, dikishakan bahwa Aisyah berkata : “Siapapun yang mengatakan bahwa Muhammad melihat Tuhannya, bohong.” Pendapat ini dianut juga oleh yang lain-lain, oleh al-Junaid, an-Nuri dan Abu Sa’id al-Kharraz. Sebagian di antara mereka menegaskan bahwa Nabi melihat Tuhan dalam perjalanan malamnya, dan khusus di pilih di antara orang-orang lain untuk (mendapat karunia) melihat-Nya, seperti Musa juga ditunjuk (mendapat karunia) berbicara denga-Nya. Untuk tujuan ini mereka menyitir kisah yang diceritakan oleh Ibn Abbas, Asma’ dan Anas, dn pendapat ini didukung oleh Abu Abdillah al-Qurasy, al-haikal, dan beberapa tokoh Sufi yang terkemudian. Salah seorang dari mereka telah mengemukakan bahwa Muhammad melihat Tuhan dengan hatinya, bukan dengan matanya; dan mereka menyitir firman Tuhan sebagai berikut, “Apa yang dilihatnya itu, hatinya tidak mengingkarinya.”
Tapi kami tidak mengenal seorang syeikh pun dalam masalah ini --- yaitu, tak seorangpun dikenal sebagai seorang ahli yang sah – dan kami tidak mendapati masalah ini dikemukakan dalam buku-buku, karangan-karangan maupun risalah-risalah mereka, kami pun tidak mendengar masalah itu dikemukakan oleh siapa saja yang telah kami hubungi, yaitu bahwa Tuhan bisa dilihat di dunia ini, atau bahwa salah satu makhluk-Nya pernah melihat-Nya; dengan perkecualian sebuah kelompok yang tidak begitu penting di antara kelompok-kelmpok Sufi. Memang benar bahwa beberapa orang telah menegaskan bahwa sebagian orang Sufi mengaku pernah melihat Tuhan; tapi semua syeikh setuju untuk menyalahkan orang-orang yang membuat pernyataan ini dan untuk membuktikan kesalahan pengakuan mereka, dan mereka telah menulis buku-buku untuk tujuan ini, yakni, antara lain, Abu Sa’id al-Kharraz; al-Junaid juga telah menulis dan membuktikan kesalahan mereka yang telah membuat pengakuan semacam itu. Labih jauh mereka menegaskan bahwa orang-orang yang berlagak telah meihat Tuhan itu, dalam kenyataannya tidak mengnal Tuhan, dan buku-buku mereka membuktikan kenyataan itu.
13.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG TAKDIR DAN PENCIPTAAN TINDAKAN
Mereka mengakui bahwa Tuhan adalah Pencipta dari semua tindakan hamba-hamba-Nya; bahkan karena Dia adalah pencipta esensi mereka, maka segala apa yang mereka lakukan, yang baik- maupun buruk, adalah menurut ketentuan, takdir, keinginan dan kehendak Tuhan. Kalau tidak, maka mereka bukanlah hamba-hamba yang tunduk pada Rabbnya dan bukan ciptaan-ciptaan. Tuhan berfirman : “Katakanlah : Allahlah yag menciptakan segala sesuatu.” Dan lagi : “ Segala sesuatu Kami ciptakan serba berukuran .... segala sesuatu yang telh mereka kerjakan tercatat dalam buku..” Nah karena tindakan-tindakan itu merupakan “sesuatu-sesuatu”, maka Tuhan-lah yang menciptakan mereka. Sebab, tindakan-tindakan itu tidak tidak diciptakan, berarti Tuhan adalah Pencipta “sesuatu-sesuatu” tentu saja, bukan segala sesuatu dan dengan demikian, firman-Nya (“Yang menciptakan segala sesuatu”) hanya bohong belaka --- Maha Suci Tuhan dari itu! Lebih lebih, sudah jelas bahwa tindakan-tindakan itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan esensi; sehingga jika Tuhan adalah Pencipta esensi-esensi itu sedang hamba-hamba-Nya adalah pencipta-pencipta tindakan-tindakannya, maka makhluk itulah yang lebih pantas menerima pujian karena tindakan penciptaannya, dan penciptaan oleh hamba-hamba itu akan dapat menjadi lebih besar daripada penciptaan Tuhan; konsekuensinya, mereka pasti lebih sempurna dalam kekuasaan dan lebih produktif dalam penciptaan dibandingkan dengan Tuhan. Tapi Tuhan berfirman : “Apakah berhala-berhala yang telah mereka jadikan sekutu Allah itu dapat menciptakan sesuatu seperti ciptaan Tuhan, sehingga kedua ciptaan itu sama dengan pandangan mereka? Katakanlah : “Allah-lah yang menciptakan segala-galanya! Dia lah Tuhan yang Maha Esa dan Perkasa!.” Jadi Tuhan menyangkal adanya penciptaan selain Dia. Tuhan juga berfirman : “Dan di masing-masing Kami atur jarak perjalanan.” Dengan begitu Dia menyatakan bahwa Dia telah mengukur perjalanan hamba-hamba-Nya. Lebih kauh Tuhan berfirman : “Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa-apa yang kamu perbuat itu,” dan lagi : “ Dari kejahatan makhluk-Nya.” Dengan begitu menunjukan bahwa sebagian makhluk-Nya itu jahat; dan lagi : “Dan janganlah engkau turutkan pula orang yang hatinya telah Kami alpakan dari mengingat Kami.” Yaitu Tuhan menciptakan kealpaan dalam hatinya: dan lebih jauh lagi : “Kamu rahasiakan atau pun kamu lahirkan perkataanmu, Dia mengetahui segala yang di dalam hatimu, apakah Tuhan yang telah mencipta itu tidak mengetahuinya, padahal Dia Maha Teliti dan Mengetahui.” Dengan begitu Dia menyatakan bahwa perkataan-perkataan mereka, dan semua yang mereka rahasiakan atau mereka lahirkan, merupakan ciptaan-Nya.
Umar a.s. berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu mengenai masalah yang kita hadapi ini? Apakah itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan atau baru saja dirancangkan?.”
Nabi menjawab : “Sesuatu yang telah ditetapkan.”
Umar berkata : “Kalau begitu apakah kita tidak akan percaya?”
Beliau menjawab : “Laksanakan (apa yang ingin kau laksanakan), sebab semua orang telah diciptakan untuk tujuan itu.”
Nabi juga ditanya : “Bagaimana pendapatmu mengenai wabah penyakit yang menimpa kita, dan apa yang sebaiknya kita pakai untuk mengobati diri kita? Apakah semua ini menyalahi ketetapan Tuhan?
Beliau menjawab : “Sesungguhnya, tidak beriman seseorang sampai dia beriman pada Tuhan dan ketetapan Tuhan, baik maupun buruk.”
Jadi karena Tuhan mungkin menciptakan sesuatu esensi yang jahat, maka mungkin pula Dia menciptakan tindakan yang jahat. Nah, umumnya diakui bahwa tindakan orang yang gemetaran adalah ciptaan Tuhan; dengan demikian semua gerakan begitu juga halnya, kecuali dalam satu hal Tuhan telah menciptakan gerakan dan kehendak bebas. Abu Bakr al-Wasithi menafsirkan Firman Tuhan : “ Dan kepunyaan Allah pulalah segala makhluk yang sudah ditelan kesunyian malam dan siang itu.” Sebagai berikut : Jika seseorang mengaku bahwa sesuatu yang ada di dalam Kerajaan-Nya --- yaitu, “yang sudah di telan kesunyian malam dan siang” itu --- baik sebuah pemikiran ataupun gerakan, adalah miliknya, atau ada karena dia, atau diperuntukan baginya, atau datang dari dia, maka berarti dia telah melawan kekuasaan mutlak (Tuhan), dan melemahkan kekuasaan-Nya.” Sedang mengenai firman Tuhan : “Ya, milik-Nya-lah penciptaan dan penawaran.” Dia menafsirkan sebagai berikut : “Penciptaan adalah mengadakan, dan penawaran adalah membebaskan; Jika Tuhan tidak menawari anggota-anggota tubuh dengan penawaran untuk pembebasan, maka mereka pasti tidak bisa menurutkan Dia, tidak pula bisa melawan Dia.”
14.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG (BATAS) KEMAMPUAN
Mereka mengakui bahwa setiap tarikan nafas, setiap lirikan mata dan setiap gerakan mereka bisa terjadi berkat indera yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka, dan merupakan suatu kemampuan yang Dia ciptakan untuk mereka bersamaan dengan tindakan-tindakan mereka, bukan sebelumnya atau sesudahnya, dan bahwa tidak ada tindakan yang dapat dilaksanakan tanpa ini semua; sebab, kalau tidak, berarti mereka memiliki sifat Tuhan, bisa melakukan segala yang mereka inginkan dan menetapkan segala yang mereka kehendaki, dan Tuhan tidak lagi akan menjadi Yang Maha Kuat, Yang Maha Berkuasa – seperti dalam firman-Nya : “Begitulah Allah berbuat menurut kehendak-Nya.” Tidak lebih dari budak yang melarat, lemah dan hina.
Jika saja kemampuan ini ditentukan oleh pemilikan anggota badan yang sehat, maka tiap orang yang memiliki karunia itu akan dapat mencapai taraf yang sama; tapi pengamalan menunjukan bahwa seseorang dapat saja memiliki anggota badan yang sehat, sedang tindakannya bisa jadi tidak sama sehatnya. Dengan demikian maka kemampuan tidak berasal dari indera dan menjelmakan dirinya dalam badan yang sehat; indera adalah sesuatu yang beragam tingkatannya pada berbagai saat, seperti yang bisa dilihat oleh orang pada dirinya sendiri. Lebih-lebih, karena indera itu merupakan suatu aksiden dan aksiden itu tidak dapat bertahan sendiri, atau bertahan lewat sesuatu yang bertahan di dalamnya --- sebab jika sebuah benda tidak da dengan sendirinya, dan tidak sesuatu pun bisa jadi ada karenanya, maka benda itu tidak dapat bertahan lewat pertahanan benda lain, seebab pertahanan benda lain itu tidak mengandung arti pertahanan untuknya – maka hal itu berarti benda itu tidak memiliki pertahanan sendiri, dan karenanya, tiak dapat tidak, kesimpulannya adalah indera masing-masing tindakan itu berbeda dari indera tindakan lain. Jika halnya tidak demikian, maka manusia tidak akan membutuhkan pertolongan Tuhan pada saat mereka bertindak, dan firman tuhan : “Dan kepada engkau-lah kami memohon pertolongan.” Tidak akan ada artinya. Lebih jau lagi, jika indera itu tidak ada sebelum adanya tindakan, dan tidak dapat bertahan sampai ada tindakan tersebut, maka tindakan itu pasti dilakukan dengan indera yang telah tiada; yaitu tanpa Indera apa pun, yang mengisyaratakan putusnya hubungan antara Tuhan dan Hamba sekaligus. Sebab jika demikian halnya, maka jelas mungkin bahwa tindakan-tindakan itu, bisa ada dengan sendirinya, tanpa perantara. Tapi Tuhan berfirman, dalam kisah Musa dan hamba-Nya yang kuat (Khidzir) “sesungguhnya engkau tidak akan sanggup sabar bersama ku.” Dan juga : “Demikian penjelasan persoalan yang kamu tidak sanggup sabar menghadapinya itu.” Yang Dia maksudkan sebagai “yang tidak kamu miliki indera untuk melakukannya.”
Mereka mengakui bahwa mereka diberi kepercayaan dengan tindakan-tindakan dan tanggung jawab dalam arti sejatinya, yang utuhnya mereka diberi pahala dan dihukum; dan oleh sebab itu Tuhanmengeluarkan perintah dan larangan, dan menyampaikan berita gembira serta ancaman-ancaman. Arti istilah “tanggung jawab” itu adalah bahwa manusia bertindak karena sebuah indera yang dibuat (oleh Tuhan). Seorang Tokoh Sufi berkata : “Makna tanggung jawab adalah bahwa manusia itu bertindak demi mencari keuntungan atau menolak kesialan.” Maka Tuhan berfiman : “Hasil kerjanya yang baik untuknya sendiri, dan yang tidak baik menjadi tanggungannya sendiri pula“. Lebih jauh mereka akui bahwa mereka melaksanakan kehendak dan keinginan bebas yang menyangkut “tanggung jawab” mereka, dan bahwa mereka tidak dipaksa atau ditekan di luar kemauan mereka. Yang kami maksud dengan “kehendak bebas” adalah bahwa Tuhan telah menciptakan dalam diri kita kehendak bebas, sehingga dalam hal ini tidak ada masalah tekanan atau penolakan. Al-Hasan ibn Ali berkata : “Tuhan dipatuhi bukan karena terpaksa, atau tidak dipatahui dikarenakan tekanan yang berlebihan; Dia tidak meninggalkan hamba-Nya sama sekali tanpa melakukan sesuatu di kerajan-Nya”. Sahl ibn Abdillah berkata : “Tuhan tidak memberi kekuatan kepada orang yang saleh lewat paksaan, Dia menguatkan mereka liwat Iman.” Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Siapa pun yang tidak percaya pada takdir adalah orang kafir, dan siapapun yang mengatakan bahwa mustahil bagi seseorang untuk tidak patuh pada Tuhan adalah seorang pendosa.
15.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG PAKSAAN
Sebagian mereka menyaakan bahwa gagasan mengenai paksaan itu kabur, dengan mengatakan bahwa paksaan hanya dapt terjadi dalam hal dua orang yang sama-sama tidak mau mengalah, yaitu kalau seseorang memberi perintah orang lain dan orang lain itu menolak (untuk mematuhi), kemudian orang yang pertama memaksa orang yang kedua agar melakukan perintahnya, Paksaan berarti seseorang itu dipaksa untuk melakukan sesuatu hal tertentu, meskipun ia lebih suka melakukan hal yang lain, sehingga kemudian dia terpaksa melakukan hal yang tidak disukainya dan meninggalkan hal yang disuskainya; dan kalau bukan kaena paksaan dan tekanan itu, maka dia pasti telah melakukan hal yang ditinggalkannya dan meninggalkan hal yang dilakukannya. Nah, kami tidak menemukan hal semacam itu dalam masalah pencarrian manusia akan iman dan kekafiran, kepatuhan dan ketidak patuhan. Orang yang beriman memilih iman, menyukainya, menyetujui, menginginkannya dan lebih menyukainya dibandingkan dengan kebalikannya. Sementara dia tidak menyukai kekafiran, membencinya, tidak menyetujuinya, tidak menginginkannya dan lebih menyukai kebalikannya. Tuhan telah menciptakan pilihan untuknya, kesetujuan dan keinginan akan iman, dan kebencian, ketidak sukaan dan ketidak-setujuan akan kekafiran; sebab Tuhan berfirman : “Tetapi Allah telah menanamkan cinta dalam hatimu terhadap keimanan, dan menjadikan keimanan itu terasa indah dalam hatimu. Sebaliknya menjadikan kebencian dalam hatimu terhadap kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.” Di pihak lain, orang kafir memilih kekafiran, menyetujuinya, menyukainya, menginginkannya dan lebih menyukainya dibanding kebalikannya, sementara dia tidak menyukai iman, membencinya, tidak menyutujuinya, tidak menginginkannya dan lebih menyukai kebalikannya. Tuhan telah menciptakan ini semua sebab Dia berfirman : “Demikianlah sunnah Kami yang berlaku bagi setiap umat, yaitu mereka memandang baik setiap pekerjaan yang dilakukannya.” Dan lagi : “Dan barangsiapa yang dikehendaki-Nya untuk dibiarkan sesat oleh-Nya, disempitkan-Nya dada orang itu.” Tak satu pun dari keduanya dicegah untuk (mengikuti) kebalikan dari pilihannya, atau dipaksa mengikuti yang dicarinya; oleh sebab itu mereka semua terikat pada rencana Tuhan dan tunduk pada keputusan-Nya. Tempat tinggal orang-orang kafir adalah neraka, sebagai ganjaran dari apa yang telah mereka lakukan. Dan :”Kami tidak menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri sendiri.” Tuhan itu tidak akan ditanya tentang apa-apa yang diperbuat-Nya, malahan mereka jualah yang akan ditanya.”
Ibn al-Farghani berkata : “Tidak ada pemikiran atau gerakan kecuali atas perintah Allah. Inilah arti firman-Nya, “Jadlah”!. Sebab, milik-Nya adalah ciptaan perintah dan perintah ciptaan, sedangkan penciptaan adalah sifat-Nya. Dengan dua huruf ini, Dia tidak memberi kesempatan bagi seorang pandai pun untuk mengaku bahwa segala sesuatu di dunia ini atau di dunia nanti adalah miliknya, atau ada kaena dia, atau diadakan untuk dia. Karena itu, ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan keculai Allah.
16.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG KEMANFAATAN
Mereka mengakui bahwa Tuhan memperlakukan hamba-hamba-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya, dan membuat ketetapan bagi mereka dengan cara yang dikehendaki-Nya, tidak soal apakah hal itu mendatangkan manfaat bagi mereka atau tidak; sebab ciptaan itu adalah ciptaan-Nya dan perintah itu adalah perintah-Nya. – “Tuhan tidak akan ditanya tentang apa-apa yang diperbuat-Nya, malahan mereka jualah yang akan ditanyai.” Kalau bukan karena hal ini, maka tidak akan ada bedanya antara hamba dan Rabb. Tuhan berfirman : “Dan janganlah orang-orang kafir itu Allah hendak menyiksa mereka dalam kehidupan dunia ini, dan kelak nyawa mereka akan melayang dalam keadaan kafir,” dan lagi : “Merekalah orang-orang yang tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hatinya.” Doktrin “Manfaat terbesar” itu mengisyaratkan bahwa kekuatan (Tuhan) terbatas dan bahwa kekayaan-Nya bukannya tak ada habisnya, dan bahwa Tuhan sendiri dalam hal itu tidak mampu; sebab jika Dia berurusan dengan orang-orang sampai pada “batas manfaat mereka” maka tidak ada lagi yang tersisa di luar “batas” itu, sehingga bahkan jika Tuhan ingin menambah “manfaat” mereka, Dia tidak akan mampu melakukannya, dan tidak memiliki alat sama sekali untuk menjamin mereka dengan “manfaat” berikutnya di luar yag telah diberikann-Nya untuk mereka sungguh Tuhan jauh lebih tinggi dari itu!
Mereka mengakui bahwa seluruh urusan Tuhan dengan hamba-hamba-Nya – kebaikan, kesehatan, keamanan, iman, petunjuk, kecitaan, hanyalah merupakan suatu siskap merendahkan diri dari pihak-Nya; kalau pun Dia tidak bertindak demikian, hal itu tetap saja bida dilakukan-Nya dengan mudah. Hal ini sama sekali bukan merupakan kewajiban Tuhan; sebab jika Tuhan telah diwajibkan mengikuti cara bertindak semacam itu, maka Dia tidak lagi pantas dipuji dan disyukuri.
Mereka mengakui bahwa pahala dan hukuman bukanlah masalah kebaikan hati, melainkan kehendak, sifat pengasih dan keadilan Tuhan. Manusia tidak sepantasnya dihukum selamanya karena dosa-dosa yang telah tidak dilakukannya lagi, jika mereka tidak sepantasnya mendapat pahala selamanya dan tak terbatas karena jumlah tindakan-tindakan (baik) mereka yang terbatas.
Mereka mengaku bahwa jika Tuhan meu menghukum semua orang yang ada di surga dan di bumi, tetap saja Dia tidak bertindak secara tidak adil terhadap mereka, dan bahwa jika Tuhan akan membawa semua orang Kafir ke surga, hal itu pun bukan mustahil, sebab ciptaan itu adalah ciptaan-Nya, dan perintah itu adalah perintah-Nya. Tapi Dia telah menyatakan bahwa Dia akan memberi rahmat pada orang-orang yang beriman untuk selamanya, dan menghukum orang-orang kafir untuk selamanya pula, dan Dia benar dala setiap firman-Nya dan semua yang Dia nyatakan itu benar. Oleh sebab itu, Dia pasti berurusan dengan manusia dengan cara yang seperti itu, dan Dia tidak mungkin berlaku sebaliknya; sebab Tuhan itu tidak berdusta – sungguh Tuhan jauh lebih tinggi dari itu!.
Mereka mengakui bahwa Tuhan tidak bertindak atas alasan apa pun, sebab jika tindakan-tindakan Tuhan itu ada alasannya, maka alasan itu ada alasannya, dan dengan begitu bersifat ad infinitum; dan itu salah. Tuhan berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang sudah terlebih dahulu mendapat taufik dari Kami, mereka dijauhkan dari neraka.” Dan lagi : “Dia telah memilihmu.” Dan lagi : “Dan telah lebih dahulu ditetapkan oleh Tuhanmu, bahwa Aku akan memenuhi neraka jahanan dengan jin dan manusia (durhaka) semuanya.” Daln lagi : “Sesungguhnya telah Kami sediakan untuk penghuni neraka itu banyak jin dan manusia.” Tak satu pun dari firman Tuhan itu yang tidak adil atau salah; sebab, ketidak-adilan itu merupakan sesuatu yang terlarang, dan benar-benar terdiri dari tindakan yang meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya; sedangkan aniaya merupakan suatu penyelewengan dari jalan yang telah dibuat lurus dan dari teldan yang telah ditetapkan oleh Dia Yang Ada di atas dan Yang Menguasai manusia-manusia di bawah. Karena Tuhan tidak berada di bawah kekuasaan seorang pun, dan karena Dia tidak diperintah atau disesali oleh yang ada di atas-Nya, maka tidak mungkin Dia bertindak tidak adil atau aniaya dalam ketetapan=Nya. Tiada yang kotor dalam diri-Nya; sebab yang kotor adalah yang Dia buat kotor, dan yang indah adalah yang Dia buat indah. Seseorang berkata : “Yang kotor adalah yang dilarang-Nya, sedang yang indah adalah yang diperintahkan-Nya.” Muhammad ibn Musa berkata : “Hal-hal yang tampak indah adalah yang indah karena pengungkapan-Nya, sedangkan hal-hal yang tampak kotor adalah kotor karena selubung-Nya; keduanya merupakan sifat yang ada dalam pasca kekekalan dan yang telah ada dalam pra-kekekalan.” Hal ini berarti bahwa yang mengembalikan engkau dari benda-benda kepada Tuhan adalah indah, sedangkan yang mengembalikan engkau kepada benda-benda dan bukan kepada Tuhan adalah kotor; Jadi yang kotor dan yang Indah adalah benda-benda yang sifat-sifatnya telah ditetapkan oleh Tuhan dalam pra-kekekalan. Kalau tidak, hal itu bisa jadi berarti bahwa yang tampak indah itu dibukakan dari selubung larangan, sehingga tidak da lagi selubung antara manusia dengan yang indah itu; sedangkan yang kotor ada di balik selubung, yaitu larangan. Penafsiran yang kedua itu sesuai dengan sabda Muhammad saw : “Dan di atas gerbang-gerbang itu terdapat selubung-selubung yang terjuntai”, dikatakan bahwa gerbang yang terbuka itu adalah peraturan Tuhan yang tak dapat diganggu gugat (muharim), sedangkan selubung itu adalah batas-batas (larangan-larangan)Nya (hudud).
17.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG JANJI (BAIK) DAN ANCAMAN
Mereka mengaui bahwa ancaman mutlak (dari Tuhan) diberikan kepada orang-orang kafir, dan janji mutlak diberikan kepada orang-orang yang melaksanakan perbuatan-perbuatan baik. Beberapa orang mengatakan bahwa pengampunan dosa-dosa kecil diperoleh dengan jalan penghindaran dari dosa-dosa besr, sebab Tuhan berfirman : “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapuskan kesalahanmu yang kecil-kecil dan Kami masukan kamu ke dalam surga, tempat yang sangat mulia.” Yang lain memasukannya ke dalam katagori yang sama seperti dosa besar, mengingat kemungkinan hukumnya, dengan mengemukakan firman Tuhan : “Sekiranya apa yang ada di dalam hatimu kamu lahirkan atau kamu sembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.” Mereka menjelaskan kata-kata “Jika kamu menjauhi dossa-dosa besar yang kamu dilarang mengerjakannya.” Sebagai mengacu pada penyembahan berhala-berhala serta kekafiran; itu mencakup banyak jenis yang bisa di anggap sebagai terliput oleh kata benda jamak. Penafsiran yang lain adalah bahwa kalimat itu mengacu kepada sejumlah orang yang masing-masing memiliki satu dosa besar sehingga secara bersama semuanya itu disebut dosa-dosa besar.
Mereka mengatakan adanya kemungkinan pengampunan dosa besar yang tergantung pada kehendak (Yuhan) dan syafa’at Nabi. Mereka bependapat bahwa sudah jelas bahwa orang-orang yang menegakkan shalat itu akan dijauhkan dari neraka dikarenakan iman mereka; Sebab Tuhan berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa-dosa selain itu terhadap orang-orang yang dikehendaki-Nya.” Dengan begitu dia menjadikan kehendak-Nya sebagai syarat sehubungan dengan (pengampunan) atas dosa yang tak sebesar kemusyirakn.
Singkatnya, mereka berpendapat bahwa orang beiman itu berrada di antara ketakutan dan harapan; dia mengharapkan belas kasih Tuhan untuk mengampuni dosa-dosa besarnya, dan takut akan hukuman-Nya atas dosa-dosa kecilnya; sebab pengampunan itu sudah termasuk dalam kehendak (Tuhan), dan kehendak (Tuhan) tidak dikenai syarat oleh berbagai pertimbangan dosa besar maupun dosa kecil. Mereka yang menetapkan syarat-syarat ketat dan keras untuk bertobat atas perbuatan dosa-dosa kecil, dengan begitu, tidak bermaksud untuk mengisyaratkan bahwa ancaman (Tuhan) merupakan akibat yang sudah semestinta, melainkan untuk lebih memperbesar keseriusan dosa dengan cara menekankan apa yang sebenarnya merupakan hak Tuhan, agar orang itu selalu menjauh dari perbuatan yang dilarang oleh Tuhan. Mereka menggunankan istilah “dosa kecil” hanya untuk memperbandingkan satu dosa dengan dosa yang lain. Mereka menuntut setiap jiwa agar menunaikan sepenuhnya apa yang sudah menjadi hak Tuhan dan manjauhi dari apa yang sudah dilarang oleh Tuhan, serta melaksanakan sepenuhnya apa yang sudah diperintahkan oleh Tuhan dengan mempertimbangkan kelemahan-kelemahan yang melekat pada syarat-syarat setiap tindakan. Dengan ini semua, mereka merupakan orang-orang yang paling penuh harapan sepanjang hal itu menyangkut diri mereka sendiri; bahkan ancaman-ancaman Tuhan itu seakan hanya tertuju pada mereka, sedang janji-jani-Nya pada orang-orang lain.
Al-Fudhail, pada malam Arafah, ditanya : “Bagaimana pendapatmu tentang keadaan manusia?”
Dia menjawab : “Diampuni, kecuali dengan kehadiran saya di antara mereka.”
Sarri as-Saqathi berkata : “Aku memandang cermin berkali-kali dalam sehari; takut jangan-jangan mukaku berubah menjadi hitam.” Dia juga berkata : “Aku tidak ingin mati di tempat aku dikenal, sebab aku takut kalau bumi tidak mau menerimaku, dan aku menajdi terlantar.”
Mereka juga ingin agar semua orang memiliki pemikiran-pemikiran terbaik mengenai Tuhan mereka. Yahya berkata : “Jika orang tidak memiliki pemikiran yang baik mengenai Tuhan, maka dia tidak senang pada Tuhan.” Tetapi kalau menyangkut diri mereka sendiri, mereka menganggap diri mereka yang paling buruk dibandingkan dengan semua manusia lain, paling jahat, tidak ada baiknya sama sekali, baik di dunia ini maupun di dunia nanti.
Pendeknya, Tuhan berfirman : “Di samping itu, ada segolongan orang berdosa lainnya yang telah mengakui dosa-dosanya, ialah mereka yang telah mencampur-adukan amal kebajikan dengan amal kejahatan.” Dengan begitu menetapkan bahwa orang beriman memiliki dua (macam) tindakan; yang satu baik, yang satunya lagi buruk; yang baik mendukungnya, yang buruk bertentangan dengannya. Tuhan telah menjanjikan pahala bagi tindakan yang mendukungnya, dan mengancamkan hukuman bagi tindakan yang menetangnya. Ancaman itu adalah yang dituntut oleh Tuhan dari hamba-hamba-Nya, sedangkan janji adalah yang dituntut oleh hamba-hamba-Nya dari Tuhan ---- yaitu bahwa selama ini Tuhan telah membebankan hal tersebut sebagai sebuah kewajiban atas diri-Nya. Jika Dia meminta dari hamba-hamba-Nya penunaian sepenuhnya akan hak-hak-Nya, dan (sebaliknya) tidak menunaikan sepenuhnya hak-hak mereka, hal itu berarti bahwa Dia tidak sesuai dengan sifat-Nya Yang Maha Pemberi, mengingat bahwa Dia tidak tergantung pada mereka, sedangkan mereka tergantung pada-Nya. Tapi akan lebih sesuai dengan sifat Maha Pemberi-Nya, dan lebih sesuai dengan kebaikan-Nya, jika Dia menunaikan hak-hak mereka, dan bahkan lebih dari hak-hak mereka --- begitu Pemurah Dia – dan Dia sendiri membebaskan utang mereka kepada-Nya. Dan Tuhan berfirman : “Sesungguhnya Allah tiak akan merugikan seseorang walaupun sebesar zarah. Bahkan jika perbuatan itu hanyalah perbuatan kebajikan yang sekecil zarah pun, Tuhan akan melipatgandakan pahalanya. Dan akan diberikan-Nya pahala yang besar di sisi-Nya.” Kata “di sisi-Nya” mengisyaratkan bahwa itu merupakan suatu sikap merendahkan diri, dan bukannya merupakan suatau pahala sama sekali.
18.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG SYAFAAT
Mereka bersepakat untuk mastikan semua yang telah dinyatakan oleh Tuhan di dalam Kitab-Nya mengenai syafaat, dan semua yang telah diwahyukan dalam kisah-kisah yang diceritakan mengenai Nabi. Tuhan berfirman : “Dan nanti Tuhanmu akan memberikan karunia-Nya kepadamu agar kamu merasa senang.” Semoga Tuhan-mu mengangkatmu ke tingkat yang terpuji.” Dan mereka tidak dapat memberikan syafaat kepada siapa pun kecuali kepada mereka yang diridhai Tuhan.” --- dan orang-oran kafir itu berkata : “Karena itu, tak ada bagi kami seorang pun pemberi syafaat.” Nabi berkata : “Syfaatku untuk mereka di antara umatku yang telah melakukan dosa-dosa besar.” Beliau juga berrkata : “Doaku menyamarkan syafaatku untuk umatku.”
Mereka percaya pada “Shiratal Mustaqim.” Dan menganggap bahwa lintasan tersebut merupakan sebuah jembatan yang direntangkan di atas neraka, Aisyah pernah menyitir firman Tuhan : “Pada waktu Bumi ini berganti rupa dengan bentuk bumi yang lain.” Lalu bertanya, “Kalau begitu, di mana nanti para manusia itu, wahai Rasul Allah? Nabi menjawab : “Di atas lintasan.
Mereka percaya pada mizan, dan beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu akan ditimbang, seperti firman Tuhan : “Siapa yang berat timbangan kebaikannya, itulah orang-orang yang beruntung, dan barang siapa yang ringan timbangan kebaikannya, irtulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri.” Mereka mempercayai hal ini, meskipun mereka tidak mengerti bagaimana masalah ini akan diselelsaikan; sebab, mengenai masalah ini dan masalah-masalah serupa yang cara penyelesaiannya tidak mereka ketahui, mereka berkata : “Kami percaya kepada apa yang telah difirmankan oleh Tuhan sesuai dengan apa yang telah dimaksudkan oleh Tuhan dengan firman-Nya itu; dan kami percaya pada apa yang telah dikatakan oleh Rasul Allah, sesuai dengan apa yang dikehendakinya.”
Mereka percaya bahwa Tuhan akan menjauhkan dari neraka setiap orang yang dalam hatinya terdapat iman, meskipun sebesar zarah, sesuai dengan sebuah hadits: “Mereka percaya bahwa surga dan neraka itu kekal, tapi keduanya merupakan ciptaan, yang ada selamanya tanpa pernah lenyap atau hancur; sejalan dengan hal itu, maka penghuni-penghuninya pun kekal di sana, diberi pahala atau hukuman selamanya, dengan kebahagiaan yang tak ada akhirnya atau hukuman yang tak henti-hentinya.
Dalam soal-soal lahiriah, mereka memperlihatkan iman di hadapan orang-orang beriman; tap mengenai hati merreka, mereka mempercayakannya pada Tuhan. Mereka percaya “tempat tinggal” itu merupakan tempat tinggal iman dan kediaman.” Dan bahwa penghuni-penghuninya adalah orang-orang berriman dan orang-orang Muslim. Menurut padangan mereka, orang-orang Muslim yang melakukan dosa-dosa besar adalah orang-orang beriman berdasarkan iman yang mereka miliki, tapi menjadi pelaku kejahatan disebabkan oleh kerusakan yang ada dalam diri mereka. Mereka berranggapan bahwa sembahyang di belakang sebarang (imam) itu boleh saja, tidak soal apakah imam tersebut seorang saleh atau pendosa. Mereka juga beranggapan bahwa berdoa untuk orang mati pun boleh saja, asalkan orang itu adalah salah seorang dari mereka yang berrkiblat ke Makkah. Mereka beranggapan bahwa ibadah Jum’at, majelis (muslim) dan perayaan-perayaan akan mengikat tiap-tiap orang Muslim yang tidak memiliki lasan yang absah yang berada di bawah kepemimpinan sembarang imam, tak soal apakah imam tersebut seorang saleh atau pendosa; dan begitu juga halnya dengan peran suci dan Pejalanan ke Tanah Suci. Mereka beranggapan bahwa kekalifahan itu benar, dan bahwa kekalifahan itu ada hak-hak orang-orang quraisy, Mereka bersepakat mengenai urutan-urutan : Abu Bakr; Umar, usman dan Ali. Mereka beranggapan bahwa meniru para “sahabat” dan orang-orang suci di masa lalu itu boleh saja, tapi mereka bungkam tentang pertikaian yang timbul di antara mereka, tapi beranggapan bahwa ini semua sama sekali tidak mengurangi “ bagian lebih baik” yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk mereka.
Mereka percaya bahwa tiap-tiap orang yang diberi kesaksian oleh Nabi bahwa dia akan masuk surga, sesungguhnya telah ada di surga, dan bahwa oarng-orang seperti itu tidak akan dihukum di neraka. Mereka beranggapan bahwa mengangkat senjata melawan pemerintahan itu tidak bisa dibenarkan, meskipun pemerintah itu tidak bisa dibenarkan, meskipun pemerrintah itu telah berbuat salah. Mereka beranggapan bahwa sudah merupakan tugas semua orang untuk berbuat baik, dan menahan diri agar tidak berbuat jahat dengan menciptakan kebaikan, belas ksih, kehalusan budi, kemurnian hati, kebajikan dan kelembutan dalam berbicara. Mereka percaya pada hukuman di kubur dan pertanyaan Munkar dan Nakir. Mereka percaya pada Perjalanan Mi’raj Nabi dan baha beliau dibawa ke langit ke tujuh, dan dibawa ke tempat-tempat yang dikehendaki-Nya, hanya dalam satu malam, sementara belaiu sendiri tetap jaga dengan jasadnya. Mereka menegaskan kebenaran penglihatan (akan Tuhan) dan beranggapan bahwa hal itu merupakan kabar gembira bagi orang-orang beriman, atau merupakan peringatan. Terakhir, mereka mempertahankan pendapat bahwa pada waktu seseorang mati atau terbunuh, maka hal itu merupakan pemenuhan takdir; mereka tidak setuju bahwa takdir orang itu jatuh dengan tiba-tiba.” Tapi beranggapan bahwa kalau takdir itu datang, maka dia datang pada waktu yang semestinya, dan tidak akan dapat diundurkan atau dimajukan barang satu jam pun.
19.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG ANAK-ANAK
Mereka percaya bahwa anak-anak dari orang-orag beriman ada bersama orangtua mereka di surga, tapi mengenai anak-anak dari orang-orang gkafir mereka berselisih paham. Sebagian mengajarkan bahwa Tuhan tidak menghukum sorang pun, kecuali orang yang benar-benar durhaka dan kafir yang menyebabkannya gagal di pengadilan (Tuhan). Sebagian besar mereka mengembalikn urusan-urusan mereka kepada Tuhan, karena beranggapan : terserah pda Tuhan, apakah Dia akan menghukum atau memberi ampunan kepada mereka. Mereka setuju bahwa mengusap sepatu itu benar. Mereka beranggapan bahwa mungkin saja Tuhan menghidupi orang jahat. Mereka tidak setuju akan (semua) pertengkaran dan pertikaian mengenai agama, dendam dan permusuhan mengenai takdir, karena mereka percaya bahwa lebih baik bagi mereka dirusuhkan dalam menghadapi pengadilan yang akan menimpa daripada memperturutkan rasa permusuhan dalam hal agama.
Mereka beranggapan bahwa pencarian pengetahuan itu merupakan tindakan yang paling mulia, yakni pengetahuan tentang waktu yang telah ditentukan, dan kewajiban-kewajiban lahiriah dan batiniah yang ditetapkan. Mereka adalah orang-orang yang paling baik terhadap makhluk-makhluk Tuhan, yang membedakan orang Arab (fasih) dari orang asing (ajam), dan yang paling murah hati dalam memberikan milik mereka, tapi yang paling hati-hati dalam menghindari apa yang dimiliki oleh orang-orang lain, dan yang paling tulus dalam pengelakannya dari dunia ini, karena mereka adalah pengikut yang paling ingin tahu mengenai Sunnah dan perbuatan-perbuatan para wali, dan yang paling waspada dalam mengikuti mereka.
20.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG KEWAJIBAN-KEWAJIBAN YANG DIBEBANKAN OLEH TUHAN KEPADA WAKIL-WAKILNYA
Mereka amengakui bahwa semua peraturan yang dibebankan oleh Tuhan kepada hamba-hamba-Nya dalam Kitab-Nya, dan semua kewajiban yang ditentukan oleh Nabi (dalam hadits) bersifat mengikat bagi orang-orang dewasa yang telah matang pemikirannya, dan bahwa peraturan dan kewajiban tersebut tidak boleh ditinggalkan atau diabaikan dengan cara apapun oleh siapa pun, entah dia seorang beriman yang jujur (shiddiq), seorang suci atau seorang ahli Ma’rifat, meskipun dia mungkin telah mencapai barisan yang paling jauh, tingkat yang paling tinggi, tempat yang paling mulia atau taraf yang paling agung. Mereka beranggapan, tidak ada tempat bagi seseorang untuk dapat lepas dari ketentuan-ketentuan (‘adab) hukum keagamaan, dengan mendapat izin untuk melakukan hal-hal yang dihalalkan oleh Tuhan, atau menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Tuhan, atau lali dalam melaksanakan semua kewajiban keagamaan tanpa alasan yang sah, yaitu alasan yang ditentukan oleh pengadilan yang disetujui oleh orang-orang Muslim dan diakui oleh ketentun-ketentuan hukum agama. Semakin suci isi hati seseorang, semakin tinggi tarafnya dan semakin mulia tempatnya, demikian pula, usahanya pun semakin keras, disertai keikhlasan dan ketakwaan yang lebih besar (pada Tuhan).
Mereka bersepakat bahwa tindakan-tindakan itu bukan merupakan sebab dari kebahagiaan atau kedukaan, tapi kebahagiaan dan kedukaan itu ditakdirkan dan ditentukan oleh kehendak Tuhan. Begitulah disebutkan dalam sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Umar : “Inilah kitab dari Rabb seluruh alam, di dalamnya ada nama-nama penghulu surga, beserta nama-nama orang tua dan suku-suku mereka.” Lalu jumlahnya pun ditetapkan, dan sesudah itu tidak akan ada penambahan maupun pengurangan sama sekali. Dengan cara yang sama, Nabi berbicara tentang orang-orang yag menghuni neraka : “Orang yang berbahagia dalah dia yang berbahagia sewaktu berada dalam peurt ibunya, dan orang yang beduka adalah dia yang berduka sewaktu berada dalam perut ibunya.” Labih jauh lagi, mereka bersepakat bahwa tindakan-tindakan itu tidak menentukan pahala atau hukuman, tapi bahwa pahala atau hukuman itu ditentukan oleh karunia, keadilan dan ketetapan Tuhan. Mereka mengakui bahwa rahmat surga adalah milik orang-orang yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk bahagia, tanpa sebab; dan bahwa hukuman neraka adalah milik orang-orang yang telah ditakdirkan oleh Tuhan untuk berduka, tanpa sebab pula. Menurut hadits (qudsi) “Orang-orang ini (akan) berada di surga, dan Aku tidak peduli; orang-orang ini (akan) berada di neraka, dan Aku tidak peduli;” Tuhan berfirman : “Sesungguhnya telah kami sediakan bagi penghuni neraka, banyak jin dan manusia.” Dan lagi : “Sesungguhnya, orang-orang yang sudah lebih dahulu mendapat taufik dari Kami, mereka dijauhkan dari neraka.” Mereka mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia merupakan tanda-tanda dari apa yang telah ditakdirkan oleh Tuhan untuknya, seperti kata Nabi : “Tindakan itu, bagi setiap orang, diperssiapkan untuk menghadapi sesuatu yang untuknya dia dicipta. “ Al-Junaid berkata : “ Kepatuhan membawa berita-berita gembira menurut yang telah ditakdirkan oleh Tuhan bagi orang yang patuh, dan demikian juga halnya dengan orang yang tidak patuh.” Tokoh sufi lain berkata : “Ibadah merupakan suatu hiasan bagi bagian-bagian lahiriah, dan kalau seseorang sudah menghiasi anggota-anggota tubuhnya, maka Tuhan tidak akan membiarkan dia meninggalkan anggota-anggota tubuh itu tak terisi.” Muhammad ibn Ali al-Kattani berkata : “Tindakan-tindakan itu merupakan pakaian para hamba : orang-orang yang oleh Tuhan ditempatkan jauh (dari Dia) pada saat pembagian (takdir) akan terlepas pakaiannya, tapi orang-orang yang oleh Tuhan didekatkan (pada-Nya) mengagumidan memegangnya erat-erat.”
Sekalipun begitu; mereka bersepakat bahwa Tuhan memberi pahala dan hukuman untuk tindakan-tindakan itu; sebab Dia menjanjikan pahala bagi perbuatan-perbuatan yang benar dan megancamkan hukuman bagi perbuatan-perbuatan jahat; Dan Dia akan memenuhi janji-Nya serta mewujudkan ancaman-Nya, sebab Dia Maha Benar dan firman-firman-Nya merupakan kebenaran. Mereka mengatakan bahwa telah menjadi kewajiban bagi setiap orang untuk berusaha sebisanya untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan atasnya dan melaksanakan apa yang telah dituntut darinyauntuk dilakukan, menurut yang telah ditentukan; dan kalau dia telah sepenuhnya melaksanakan tugasnya, maka kemudian didatangkan pdanya ilham-ilham, sesuai dengan hadis : “Jika seseorang bertindak menurut apa yang diketahuinya, Tuhan akan mewariskan kepadanya pengetahuan yang belum dia ketahui. “Tuhan berfirman : “Kepada oang-orang yang berjuang di pihak Kami, sunguh akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami.” Dan lagi : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang dapat mendekatkan kepada keridhaan-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya, semoga semua beruntung.” Yahya berkata : “Jiwa dari ma’rifat tidak akan pernah mencapai hatimu, selama masih ada kewajiban pada Tuhan yang belum kemu laksanakan.” Al-Junaid berkata : “Tuhan akan berurusan dengan hamba-hamba-Nya pada hari akhir dengan cara yang sama dengan ketika Dia berurusan dengan mereka pada mulanya. Dia mulai menciptakan mereka dengan kemuliaan, memerintah mereka dengan belas kasih dan bejanji kepda mereka dengan sikap merendahkan diri serta memberikan kepada merreka tambahan-tambahan kemuliaan. Jika seseorang bisa melihat kebaikan-Nya yang dahulu itu, akan mudah baginya untuk melaksanakan perintah-Nya; dan jika dia mengikuti perintah-Nya, dia akan sampai kepada janji-Nya; dan jika dia telah memiliki janji-Nya, tidak ada keraguan lagi bahwa Dia akan memberinya tambahan-tambahan.” Sahl ibn Abdillah a-Tustari berkata : “Jika seseorang menutup matanya dari Tuhan walaupun hanya sekejap, dia tidak akan dituntun selama hidupnya.”
21.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG MA’RIFAT KETUHANAN
Mereka sepakat bahwa satu-satunya petunjuk menuju Tuhan adalah Tuhan sendiri, dengan beranggapan bahwa fungsi akal merupakan fungsi yang dimiliki oleh manusia berakal yang membutuhkan petunjuk; sebab akal merupakan sesuatu yang diciptakan pada suatu waktu, dan karena itu hanya bisa menjadi petunjuk bagi segala sesuatu yang seperti dia juga. (Berlawanan dengan pandangan Mu’tazillah, yang beranggapan bahwa Tuhan dapat dikenal dengan akal).
Seseorang bertanya pada An-nuri : “Apakah petunjuk kepada Tuhan itu? Dia menjawwab : “”Tuhan”, yang lain bertanya :”Lalu bagaimana dengan akal?” An Nuri berkata : “Akal itu lemah, dan yang lemah itu hanya bisa menunjuk pada yang lemah seperti dia juga.” Ibn-Atha berkata : “Akal itu merupakan alat untuk mencapai segala sesuatu yang berhubungan dengan hamba, bukan untuk mencapai Tuhan.” Yang lain berkata : “Akal itu berkisar di sekitar yang diciptakan (Kawn), tapi kalau sampai pada pencipta (mukawwin), dia larut.” Al-Qahthabi berkata : “Sesuatu yang dibentuk oleh akal akan tunduk padanya, kecuali dari sudut pandang pendalilan; Jika saja Tuhan tidak membuat diri-Nya dikenal oleh akal karena kebaikan-kebaikan-Nya, maka akal tidak mungkin bisa mencapai-Nya, sampai pada pendalilan pun. Mereka mengutip puisi berikut ini, yang ditulis oleh tokoh esar sufi :
Siapa yang mencari Tuhan, dengan akal sebagai petunjuknya, Tuhan akan mendorongnya ke arah kebingungan yang sia-sia. Dengan kekacauan Dia bingungkan hati nuraninya, hingga putus asa, dia berseru, “Hamba tiada kenal Engkau.”
Seorang tokoh besar Sufi berkata : “Tak seorang pun mengenal-Nya kecuali orang yang telah dibuat-Nya mengenal-Nya;
Tak seorang pun menyatakan keesaan-Nya keculai kecuali orang yang kepdanya Dia telah menyatakan keesaan-Nya;
Tak seorang pun mempercayai-Nya kecuali orang yang kepadanya Dia telah memperlihatkan karunia-Nya;
Tak seorang pun mengenali-Nya kecuali orang yang hati nuraninya telah diilhami oleh-Nya sendiri;
Tak seorang pun setia kepada-Nya kecuali orang yang telah didekatkan oleh-Nya kepada-Nya.
Tak seorang pun mempersembahkan budi pada-Nya kecuali orang yang telah dipilih sendiri oleh-Nya;
Yang dimaksud dengan “Orang yang telah dibuat-Nya mengenal-Nya”, adalah “orang yang kepadanya Tuhan membuat diri-Nya dikenal; dan yang dimaksud dengan “orang yang kepadanya Dia telah menyatakan keesaan-Nya” adalah “Dia telah memperlihatkan padanya bahwa dia Esa.” Al-Junaid berkata : “Ma’rifat terdiri dari dua jenis : Ma’rifat pengungkapan-Diri (ta’arruf) dan ma’rifat pengajaran (ta’rif).” Makna “pengungkapan Diri” adalah bahwa Dia menyebabkan mereka mengenal-Nya, dan mengenal benda-benda lewat Dia, atau dalam kata-kata Ibrahim, “Aku tidak suka akan sesuatu yang dapat terbenam.” Sedang makna “Pengajaran” adalah bahwa Dia memperlihatkan pada mereka tanda-tanda kekuasaan-Nya di langit dan di dalam diri mereka sendiri, dan kemudian menanamkan dalam diri mereka sebuah karunia khusus (luthf), sehingga benda-benda (material) itu menunjukkan adangan Sang Pembuat. Inilah Ma’rifat yang bisa dicapai oleh orang-orang yang beriman pada umumnya, sedangkan yang disebut pertama tadi adalah ma’rifat yang hanya bisa dicapai oleh orang-orang terpilih; dan pada hakikatnya tak seorang pun bisa mengenal Dia, kecuali lewat Tuhan. Maka Muhammad ibn Wasi’ berkata : “Aku tak pernah melihat sebuah benda pun, tanpa melihat Tuhan di dalamnya.” Seorang tokoh Sufi lain berkata : “Aku tak pernah melihat sebuah benda pun, tanpa melihat Tuhan di dalamnya.” Ibn ‘Atha berkata : “Tuhan telah mengungkapkan diri-Nya pada orang-orang awam lewat ciptaan-Nya, sebab Dia berfirman : “Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta itu diciptakan?.” Pada orang-orang terpilih Dia telah mengungkapkan diri-Nya lewat firman dan sifat-sifat-Nya, sebab Firman-Nya : “Tidakkah mereka teliti al-Qur’an?.” Dan “Dan Kami wahyukan dalam al-Qur’an penawar dan rahmat bagi orang-orang mukmin.” Allah mempunyai asma’ilhusna, nama-nama yang Agung.” Kepada pra Nabi Dia telah mengungkapkan diri-Nya lewat diri-Nya sendiri, sebab Dia berfirman : “Begitulah peintah-Kami, dikirmkanlah suatu Utusan Wahyu kepada engkau.” Dan lagi : “Tidakkah engkau perhatikan kekuasaan Tuhanmu, bgaimana Dia memperpanjang atau memperpendek bayang-bayang.” Salah sorang ahli ma’rifat mengubah puisi :
Kini jangan lagi berdiri di antara Kebenaran dan Aku
Atau petunukk akliah
Atau bukti, atau wahyu
Kini, maju dengan benderang bintang Kebenaran itu
Telah hilang dari pandang
Berkelip, sengan sinar tak lagi terang
Hanya Dia mengenal Tuhan, padanya Tuhan memperlihatkan
Diri-Nya akankah yang kekal
Sebagai yang fana dikenal?
Bukan dalam karyanya Tuhan dikenal..
Dapatkah kala yang tak berbatas dikurung
Dalam satu kejadian yang kebetulan?
Dari Dia, melalui Diam milik-Nya, satu kebenaran Ilahi
Satu pengetahuan terbukti dan kuat
Telah membuat hati kami menatap
Ini telah ku buktikan, kini ku nyatakan
Inilah imanku yang takkan pupus;
Dan inilah bahagianku yang tak kan hapus;
Tiada Tuhan selain Allah, tiada seteru-Nya memiliki
Keagungan-Nya yang tak bertara
Keunggulan-Nya yang menjadi hak-Nya.
Kala manusia bisa berdua dengan Tuhan, dan tahu
Innilah ungkapan lidah mereka,
Dan ini pengakuan hati mereka.
Ekstase dan kegembiran ini menjalin kawan dengan lawan
Dala persaudaraan jelata,
Kerja demi kebaikan semua.
Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Tuhan membuat kita mengenal diri-Nya lewat Dia sendiri, dan menuntuk kita kepada pengetahuan tentag diri-Nya lewat diri-Nya sendiri,sehingga penyaksian ma’rifat muncul dari ma’rifat lewat ma’rifat setelah dia yang memilik ma’rifat diajari tentang ma’rifat oleh Dia yang merupakan obyek ma’rifat. Ini berarti ma’rifat itu tidak ada penyebabnya, yang terjadi hanyalah baha Tuhan mengajarkan ma’rifat kepada ahli ma’rifat, dengan demikian menjadikannya mengenal-Nya. Salah seorang syeikh berkata : “Segenap pengejawantahan obyek material (Mukawwanat) bisa dikenal dengan akal yang menyibaknya. Tuhan itu terlalu besar untuk bisa disibak oleh akal. Dia sendiri mengajarkan kepada kita bahwa Dialah Tuhan kita dengan berfirman : “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Dan bukanya, “Siapa Aku ini? Dengan begitu memberi peluang bagi akal untuk menyibak-Nya. Inilah saatnya ketika Dia muncul pertama kali sebagai guru mereka. Oleh sebab itu Dia tidak tergantung pada akal dan jauh lebih mulia dari segala pencerapan (persepsi).
Mereka mengakui. Tidak ada orang yang mengenal Tuhan kecuali orang yang berakal, sebab akal itu merupakan satu alat yang bisa membuat manusia mengetahui apa saja yang bisa diketahuinya. Sekalipun begitu, akal tidak bisa mengetahui Tuhan dengan sendirinya. Abu Bakr as-Sabbak berkata : “Ketika Tuhan menciptakan akal, Dia bertanya, Siapakah Aku ini?, maka akal itu bungkam. Karena itu, Dia mengolisnya dengan cahaya keesaan (Wahdaniyyah). Akal pun membuka matanya seraya berkata : “Engkaula Tuhan, tiada Tuhan selain Engkau.” Dengan begitu, akal tidak memiliki kemampuan untuk mengenal Tuhan, kecuali lewat perantara Dia.
22.
PERSELISIHAN KAUM SUFI TENTANG SIFAT MA’RIFAT
Mereka berselisih paham mengenai sifat ma’rifat itu sendiri. Al-Jaunaid berkata : “Ma’rifat merupakan perwujudan kebodohanmu pada saat ilmu-Nya tiba.” Seseorang yang berdiri di dekatnya berkata : “Ceritakan pada kami lebih banyak.” Dia pun melanjutkan : “Dia adalah obyek, sekaligus subyek ma’rifat. (Tuhan itu ‘arif dan ma’ruf). Yang dimaksudkannya adalah. “Engkau tidak tahu tentang Dia dalam aspek kekamuanmu, dan baru bisa mencapai ma’rifat-Nya lewat aspek ke-Dia-an itu. (Sesuatu hal yang biasa di lingkungan Sufi : “Engkau” menisyaratkan yang banyak, sedang “Dia” menunjukan bahwa segala sesuatu “yang lain” tertelan dalam diri Tuhan), Sesuai dengan ujar-ujar Sahl : “Ma’rifat adalah ma’rifat dari kebodohan itu”. Sahl juga berujar : “Ilmu itu ditetapkan oleh ma’rifat dan akal ditentukan oleh ilmu, tapi ma’rifat ditentukan oleh esesninya sendiri.” Artinya, kalau Tuhan menyebabkan seseorang memiliki ma’rifat akan diri-Nya sendiri, sehingga dia mengenal Tuhan lewat pengungkapan diri-Nya sendiri kepadanya, berarti Dia menemparkan pengetahuan dalam diri orang tersebut. Karenanya, dia mendapatkan pengetahuan lewat ma’rifat, dan dalam dirinya akal bekerja mengolah pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan kepadanya. Seorang tokoh Sufi lain berkata : “Pengetahuan tentang aspek lahir benda-benda adlah ilmu, dan pengetahuan tentang aspek batin benda-benda adalah ma’rifat.” Yang lain berkata : “Tuhan telah membuat ilmu bisa diperoleh secara bebas oleh orang-orang beriman, tapi Dia menyimpan ma’rifat hanya untuk wali-wali-Nya.” Abu Bakr al-Warraq berkata : “Ma’rifat adalam ma’rifat tentang bentuk-bentuk dan nama-nama benda sedang ilmu adalah ilmu tentang realitas benda-bnda. Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Ma’rifat tentang Tuhan adalah ilmu tentang pencarian Tuhan sebelum pengalaman aktual tentang Dia; sedang ilmu tentang Tuhan, setelah adanya pengalaman itu. Oleh sebab itu, ilmu tentang Tuhan lebih rahasia dan lebih pelik daripada ma’rifat tentang Tuhan.” Faris berkata : “Ma’rifat menyerap (ahli ma’rifat) dalam esensi obyek ma’rifat itu.” Tokoh Sufi lain berkata : “Ma’rifat mengambil bentuk pandangan rendah terhadap semua nilai kecuali nilai-nilai Tuhan.” Seseorang bertanya pada Dzun Nun : “Dengan cara apa engkau mendapat ma’rifat Tuhanmu?” Dia menjawab : “Jika aku berkeinginan untuk membangkang, lalu mengingat kebesaran Tuhan, aku merasa malu pada-Nya.” Artinya, dia menganggap kesadarannya akan kedekatan Tuhan sebagai suatu bukti ma’rifat Tuhan. Seseorang berkata pada Ulayyan : “Bagaimana hubunganmu dengan Tuhan? Dia menjawab : “Aku tak pernah berpaling dari-Nya sejak aku mengenal-Nya.” Yang lain bertanya : “Sejak kapan engkau mengenal-Nya?” Dia menjawab : “Sejak saat mereka menganggapku gila (majnun).” Dengan demikian dia menganggap penghormatannya kepada kekuasaan Tuhan sebagai bukti dari ma’rifat ke-Tuhanannya. Sahl berkata : “Maha suci Tuhan, yang ma’rifat ke-Tuhana-nya tidak dapat dicapai oleh manusia kecuali pengetahuan bahwa mereka tidak mampu mengenal-Nya.
23.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG RUH
Al-Junaid berkata : Ruh adalah sesuatu yang diketahui hanya oleh Tuhan, dan tak satu makhluk pun mengetahuinya. Oleh sebab itu, ruh tidak dapat diungkap dengan cara lain kecuali sebagai sesuatu yang maujud. Tuhan berfirman : “Kataakanlah, Ruh itu urusan Rabbku.” Abu Abdillah an-Nibaji berkata : “Ruh adalah sesuatu yang terlalu halus untuk dilihat, dan terlalu besar untuk disentuh, tidak dapat diungkapkan dengan cara lain kecuali bahwa dia maujud.” Ibn ‘Atha berkata : “Tuhan menciptakan ruh sebelum jasad, sebab Dia berfirman, “Dan Kami menciptakanmu,” yaitu ruh, lalu kami bentuk kamu,” yaitu jasad.” Tokoh Sufi lain berkata : “Ruh adalah suatu (esensi) yang halus yang maujud dalam suatu (jasad) kasar, seperti juga penglihatan yang merupakan esensi halus yang maujud dalam (jasad) kasar,”
Sebagian besar mereka mengakui bahwa ruh ialah obyek, yang karenanya jasad hidup. Seorang tokoh Sufi berkata : “Ruh merupakan seberkas cahaya, nafas semerbak (ruh), yang lewatnya kehidupan berlangsung. Sedang Jiwa (nafs) merupakan sebuah angin panas, yang lewatnya nafsu timbul.” Al-Qahtabi berkata : Tuh tidak pernah dimasukan di bawah perendahan oleh kata “Jadilah” --- inilah jawaban atas pertanyaan, apakah ruh itu? Oleh sebab itu, dalam pandangannya, satu-satunya fungsi ruh adalah untuk membuat kehidupan, dan berada dalam keadaan hidup, seperti juga menghasilkan kehidupan, adalah sifat Tuhan, sebagaimana membentuk dan mencipta adalah sifat Sang Pencipta. Pandangannya ini didasarkannya atas firman Tuhan : “Katakanlah, ruh itu ada di bawah perintah Tuhanmu.” Mereka menafsirkan kata “Perintah” di sini sebagai firman Tuhan, dan firman Tuhan itu tidak dicipta. Tapi, ini sama saja dengan menyatakan bahwa segala sesuatu yang memiliki kehidupan hanya bisa hidup lewat firman Tuhan “Hiduplah”, sehingga ruh dalam hal itu sama sekali tidak merupakan sesuatu (yang maujud) dalam tubuh.
24.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG PARA MALAIKAT DAN RASUL
Sebagian besar tokoh Sufi menahan diri agar tidak melibatkan diri dengan pertanyaan apakah para Rasul lebih dipentingkan ketimbang pra malaikat, atau sebaliknya, dengan mengatakan bahwa keunggulan dimiliki oleh mereka yang lebih dipentingkan oleh Tuhan, dan bahwa masalah ini bukan merupakan masalah esensi, bukan pula masalah tindakan. Tapi, beberapa orang mengatakan bahwa para malaikat lebih dipentingkan ketimbang para Nabi, dan beberapa orang yang lain mengatakan bahwa para Nabi lebih dipentingkan ketimbang para malaikat. Muhammad ibn al-Fadhl berkata : “Malaikat sebagai suatu keseluruhan lebih baik ketimbang orang beriman sebagai suatu keseluruhan, tapi ada beberapa orang beiman tertentu yang lebih baik daripada malaikat.” Artinya, menurut mereka, para Nabi itulah yang lebih baik.
Mereka mengakui bahwa beberapa rasul tertentu lebih baik daripada yang selebihnya, dengan menafsir firman Tuhan : “Sesungguhnya kami telah memberikan keutamaan kepada beberapa Nabi lebih dari sebagai yang lain.” Tapi mereka menolak untuk menrinci sipa di antara mereka yang lebih disukai dan siapa yang kurang disukai, dengan begitu, hal ini sejalan dengan sanda Nabi : “Jangan memilih-milih di antara nabi-nabi itu.” Sekalipun begitu, mereka menetapkan, sebagai sebuah prinsip, bahwa Muhammad adalah yang paling baik di antara semua nabi, dengan berdasarkansabda beliau : “Akulah penghulu seluru puyra Adam, bukannya takabur. Adam dan semua yang hidup sesudahnya berada di bawah panji-panjiku.” Serta sabda-sabda beliau yang lain, juga pada firman Tuhan : “Kamu adalah umat pilihan yang telah dilahirkan untuk seluruh manusia.” Karena mereka adalah umat yang paling baik, sedangkan mereka adalah mereka umat beliau, maka hal ini berarti bahwa nabi mereka adalah nabi yang terbaik – bukti ini, dan bukti-bukti lain keunggulan beliau, bisa ditemukan dalam Al-Qur’an.
Mereka semua mengakui bahwa para nabi itu lebih baik dari manusia baisa, dan bahwa tidak ada orang yang dapat menyaingi kebaikan para nabi, entah dia orang yang benar-benar beriman, wali atau yang lain, betapa pun besar kekuasaannya dan hebat kedudukannya. Nabi berssabda kepada Ali : “Dua orang ini adalah penghulu para sesepuh penghuni surga, yang hidup terdahulu maupun tekemudian, kecuali para nabi dan rasul.” Dengan menunjukan kata-kata ini kepada Abu Bakr dan Umar, dan mengisyaratkan bahwa mereka adalah manusia-manusia terbaik setelah para nabi. Abu Yazid al-Bistami berkata : “Taraf akhir orang mukmin sejati adalah taraf awal nabi, dan taraf akhir nabi tidak memiliki batas.” Sahl ibn Abdillah berkata : “Tujuan-tujuan para ahli ma’rifat hanya sampai pada selubung, dan disana mereka berhenti dengan pandangan ke bawah, lalu izin diberikan kepda mereka dan mereka mengucap salam, mereka pun diberi pakaian jubah berkekuatan ketuhanan, dan diajuhkan dari kesalahan. Sedang tujuan-tujuan yang dicapai para nabi adalah berkeliling di seputar singgasana dan diberi pakaian cahaya, nilai mereka dimuliakan, dan mereka digabungkan denga Yang Maha Besar, dan dibuat-Nya ambisi pribadi mereka mati, dan dilepaskan-Nya mereka dari nafsu, dan dijadikan-Nya mereka hanya berurusan dengan Dia dan demi Dia,” Abu Yazid berkata : “Jika satu zarah saja dari diri nabi mengejawantah dalam penciptaan, maka tiada sesuatu pun yang berada di bawah Singgasana akan bisa menanggungnya.” Dia juga berkata : “Ma’rifat dan pengetahuan manusia itu, kalau dibandingkan dengan ma’rifat dan pengetahuan Nabi, adalah bagaikan setets embun yang menetes dari pucuk kantung air kulit.” Salah seorang dari mereka berkata : “Tak satu nabi pun mencapai kesempurnaan kesetujuan (taslim) dan kepasrahan (tafwid), kecuali Yang Terkasih dan Sang Karib. Dengan alasan ini, tokoh-tokoh besar Sufi tak berharap bisa mencapai kesempurnaan, meski mereka dalam keadaan dekat (dengan Tuhan) dan telah mengalami perenungan yang sejati. Abu’l Abbas dan Ibn Atha berkata : “Taraf yang paling rendah dari para rasul adalah yang paling tinggi dari para nabi, dan taraf paling rendah dari para nabi adalah yang paling tinggi dari orang-orang mukmin sejati, dan taraf yang paling rendah dari orang-orang yng benar-benar beriman adalah yang paling tinggi dari para syuhada, dan taraf paling rendah dari para syuhada adalah yang paling tinggi dari orang-orang takwa, dan taraf paling rendah dari orang-orang takwa adalah yang paling tinggi dari orang-orang yang beriman.
25.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG KESALAHAN-KESALAHAN PARA NABI
Al-Junaid, an-Nuri dan tokoh-tokoh besar Sufi lainnya beranggapan bahwa apa-pun yang terjadi atas para nabi hanya mempengaruhi mereka secara lahiriah saja, dan bahwa hati nurani mereka terserap oleh perenungan akan Tuhan. Mereka menyitir firman Tuhan untuk menunjang pandangan ini : “Tetapi dia lupa, dan tidak mempunyai cara berpikir yang kuat.” Mereka mengatakan bahwa segenap tindakan tidak akan paripurna kecuali yang didahului oleh ketetapan hati dan niat, dan bahwa segala sesuatu yang tidak didahului dengan ketetapan hati dan niat, berarti bukan suatu perbuatan. Tuhan menyangkal hal ini dalam kasus Adam ketika Dia berfirman, “Tapi dia lupa dan tidak mempunyai cara berpikir yang kuat.” Ketika Tuhan mencal mereka karena hal-hal tersebut, hal itu dilakukan-Nya hanya demi memberi tanda bagi orang-orang lain, agar mereka tahu bahwa jika mereka tidak patuh (pada Tuha), mereka masih berkesempatan untuk mencari ampunan Tuhan. Tapi tokoh-tokoh Sufi lain mengakui kesalahan-kesalahan (para nabi) ini. Meski demikian, mereka menjelsakan bahwa kesalahan-kesalahan tersebut merupakah kekhilafan-kekhilafan yang muncul dari penafsiran yang salah : mereka ditegus karena taraf mereka yang tinggi dan tempat mereka yang mulia, dan hal ini dimaksudkan sebagai peringatan bagi yang lain-lain dan peringatan agar para nabi itu melestarikan keunggulan mereka atas orang-orang lain. Beberpa tokoh Sufi mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan mereka mestinya dianggap sebagai contoh-contoh kealpaan dan kelalaian, dan mereka menjelssakan bahwa para nabi itu alpa pada hal-hal yang “rendah” karena “(mereka keasyikan) dengan hal-hal yang tinggi. Begitulah penjelasan yang mereka berikan sehubungan dengan kejadian nabi alpa bersembahyang – bahwa dia assyik dengan sesuatu yang lebih besar dari sekedar bersembahyang; sebab bukanlah beliau bersabda : “Kesenanganku adalah dalam bersembahyang.” Dengan kata-kata itu beliau memberi tahu kita bahwa ada sesuatu dalam sembahyang yang menyenangkannya. Beliau tidak mengatakan: “Aku telah menjadikan sembahyang kesenanganku”. Tapi orang-orang menegaskan bahwa para nabi dapat melakukan kesalahan dan kelalaian menganggap kesalahan dan kelalaian itu hanya sebagai dosa-dosa kecil yang dengan mudah dapat dihilangkan dengan tobat. Maka Tuhan berfirman, ketia Dia menuturkan perkataan Adam dan Istrinya : “Wahai Tuhan kami, kami telah mengaiaya diri kami sendiri.” Dan lagi : “Kemudian Tuhan memilihnya, menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.” Sedangkan mengenai Daud Dia berfirman : “Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya. Lalu dia meminta ampun kepada Tuhannya ssambil menyungkur sujud dan bertaubat.”
26.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG KEKUATAN GAIB (KARAMAH) PARA WALI
Mereka bersepakat dalam mengakui kekuatan-kekuatan gaib para wali, meski sejauh mengakui keajaiban seperti berjalan di atas air, bebicara dengan binatang, pergi dari satu tempat atau disaat lain daripada saat dan tempatnya berada. Semua contoh mengenai hal ini tercatata sebagaimana mestinya di dalam kisah-kisah dan hadis-hadis, dan juga dibicarakan dalam kitab suci. Misalnya cerita mengenai “orang yang memiliki pengetahuan mengenai al-Kitab.” Yang mengatakan : “Saku sanggup membawanya kepadamu dalam sekejap mata!.” Dan cerita mengenai Maryam, ketika Zakaria berkata kepadanya : “Hai Maryam! Dari mana engkau mendapatkan makanan ini? Maryam menjawab : “Dari Allah.” Juga cerita mengenai dua orang yang berada bersama Nabi. Kemudian pergi, lalu cambuk yang mereka bawa bersinar. Hal yang semacam itu bisa terjadi pada msa Nabi maupun pada masa-masa lain. Karena kekuata-kekuatan gaib itu diberikan pada masa Nabi untuk menguji kebenaran (pernyataannya), maka, dengan alasan yang sama, kekuatan-kekutan gaib tersebutbisa juga terjadi pada masa-masa lain. Setelah wafatnya Nabi, hal ini terjadi pada Umar ibn Khattab, ketika dia memanggil Sariyah dan berkata : “Wahai Sariyah ibn Hisn, Gunung itu! Gunung it!, Umar pada waktu itu sedang berkhutbah di mimbar dan Sariyah sedang mengahdapi musuh yang jauhnya sebulan perjalanan dari sana. Cerita ini terbukti benar. Orang-orang yang menyangkal pendapat ini beralasan bahwa, jika demikian, hal itu mengisyaratkan penghinaan terhadap fungsi nabi, sebab seorang nabi dibedakan dengan orang lain hanya oleh adanya fakta bahwa di mampu mendatangkan mukjizat yang membuktikan kebenaran sabda-sabdanya, yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang lain. Oleh karena itu, jika kemampuan tersebut muncul dari diri orang lain, maka yang nabi dan yang bukan nabi tidak akan ada bedanya lagi; atau, bukti kebenaran sabda-sabda nabi tidak akan ada lagi. Lebih-lebih, hal itu akan mengisyaratkan bahwa Tuhan tidak dapat membedakan seorang nabi dengan yang bukan nabi. Tapi Abu Bakr al-Warraq menegaskan : “Seorang nabi itu menjadi nabi bukan dikarenakan oleh mukjizatnya, melainkan karena Tuhan mengutusnya dan memberi wahyu kepadanya. Jika Tuhan telah mengutus seseorang, dan memberi wahyu kepadanya, maka jadilah dia nabi, tak soal apakah dia memiliki kekuatan-kekuatan gaib atau tidak. Dan, adalah merupakan suatu kewajiban untuk menerima pengakuan seorang Rasul, sekalipun dia tidak melihat mukjizat yang mendahului kedatangannya; sebab tujuan mukjizat yang sesungguhnya dalah memberi bukti-bukti yang tak terbantahkan oleh orang-orang yang menyangkal dan mengguatkan ancaman hukuman atas orang-orang yang keras kepala.” Alasan untuk menerima pernyataan seorang nabi adalah karena dia memanggil orang-orang agar mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan sendiri sebagai suatu kewajiban, yaitu pengakuan atas keesaan-Nya, sekaligus sangkalan atas pernyataan bahwa Dia bersekutu, dan pelaksanaan semua yang oleh akal tidak dinyatakan mustahi, melainkan justru waib atau dibolehkan. Kenyataannya, ada dua macam hal yang tersangkut di sini, yaitu nabi (sejati) dan nabi palsu. Nabi itullah yang benar, sedang nabi palsu itu salah; Tapi, dalam penampilan dan pembicaraan mereka (seolah-olah) sama.
Mereka mengakui bahwa Tuhan memberi nabi sejati, kekuatan sebuah mukjizat, sedangkan nabi yang ssalah tidak memiliki kemampuan seperti nabi yang benar itu, sebab hal itu akan mengisyaratkan bahwa Tuhan tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah. Sedangkan mengenai wali sejati, tapi bukan nabi, dia tidak membuat pernyataan bahwa dia seorang nabi, atau penyataan lain yang palsdu atau tidak benar, dia hanya mengajak orang untuk menerima kebenaran atau yang benar. Jika Tuhan memberi suatu suatu kekuatan gaib (karamah) kepadanya, hal ini sama sekali tidak menjadikan ragu kedudukan nabi; sebab, orang yang benar itu sesuai dengan nabi, baik dalam perkataan maupun perbuatan, dan penampilan kekuatan gaib oleh dia itu malah untuk memperkuat nabi dan mengejawantahkan pernyataannya, menguatkan bukti kenabiannya dan haknya agar perbuatan dan pernyataannya sebagi nabi diterima, dan juga menegaskan prinsip bahwa Tuhan itu Esa.
Beberapa tokoh Sufi mempertahankan pendapat mereka bahwa mungkin saja Tuhan akan membuat musuh-musuh-Nya bisa memiliki – yaitu dengan cara yang sebegitu rupa, sehingga tidak menimbulkan keraguan (dalam diri orang lain) beberpa kekuatan tertentu, dengan maksud menyeeret meraka pelan-pelan menuju kehancura. Kekuatan-keuatan itu kemudian mendatangkan kesombongan dan kecongkakan dala jiwa mereka, dan mereka membayangkan bahwa kekuatan-kekuatan itu merupakan kekuatan gaib yang pantas mereka terima karena tindakan-tindakan mereka dan merupakan hak mereka dikarenakan perbuatan-perbuatan mereka; mereka membual mengenai tindakan-tindakan mereka, menganggap diri mereka lebih unggul dibanding orang-orang lain; mereka memandang rendah hamba-hamba Tuhan dan bersikap sangat angkuh terhadap mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan atas diri mereka. Tapi mengenai para wali, kalau anugerah gaib diberikan oleh Tuhan kepada mereka, mereka justru merasa semakin takut dan semakin merasa hina di hadapan Tuhan, dan mereka semakin menghina diri mereka sendiri sehingga dengan mudah mengakui kekuasaan Tuhan atas diri mereka; dan ini menambah kekuatan dan kemampuan mereka untuk melaksanakan tugas-tugas yang berat, dan mempertebal rasa syukur mereka terhadap Tuhan atas semua yang telah Dia berikan kepadanya.
Jadi para nabi itu diberi mukjizat-mukjizat, orang-orang suci diberi kekuatan-kekuatan gaib, dan musuh-musuh (Tuhan) diberi tipuan-tipuan. Seoang tokoh Sufi berkaa : “Kekuatan-kekuatan gaib yang diberikan kepada orang-orang suci tidak mereka ketahui dari mana datangnya; sedangkan para nabi tahu darimana (asal)nya mukjizat-mukjizat mereka, dan perkataan-perkataan mereka menegaskan mengenai mukjizat-mukjizat tersebut. Perbedaan ini dikarenakan adanya kenyataan bahwa, bahwa para wali, ada bahaya bahwa mereka jadi tergoda (oleh kekuatan-kekuatan gaib mereka), sebab mereka tidak dijaga Tuhan sedang kan para nabi, karena mereka tahu bahwa mereka berada di bawah lindungan Tuhan, bahaya itu tidak muncul.
(Mereka menjelaskan perbedaan antara kekuatan gaib dan mukjizat sebagai berikut). Kekuatan gaib para wali merupakan jawaban bagi doa, atau penyempurnaan dari keadaan kejiwaan, atau jaminan atas kekuatan untuk melaksanakan sesuatu tindakan, atau pemberian alat untuk dignakan sebagai mata pencaharian, dalam cara yang di luar kebiasaan; sedangkan mukjizat yang diberikan kepada para nabi itu merupakan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu dari sesuatu yang tidak ada, atau mengubah sifat yang esensial dari sebuah obyek.
Beberapa ahli ilmu kalam dan tokoh Sufi mengakui bahwa mukjizat-mukjizat ini bisa jadi diberikan kepada orang-orang yang slah, dengan cara yang tidak mereka ketahui pada saat mereka mengaku memiliki mukjizat-mukjizat tersebut, tapi sikap mereka sama sekali tidak menimbulkan keraguan. Contoh-contoh hal ini adalah; kisah mengenai Sungai Nil yang mengalir ketika Fir’aun menyuruhnya mengalir; dan kisah mengenai Dajjal, seperti yang diceritakan oleh Muhammad saw. yang akan membunuh seseorang kemudian, sebagai yang beliau gambarkan, akan menghidupkannya kembali. Mereka menjelaskan kedua masalah ini dengan menyatakan bahwa masing-masing mengkau memiliki sesuatu yang sama sekali tidak menimbulkan keraguan, sebab siffat-sifat mereka yang sesungguhnya memiliki bukti yang cukup dari kepalsuan pernyataan bahwa mereka memiliki kekuatan-kekuatan Tuhan (rububiyah).
Mereka berselisih paham mengenai kemungkinan bagi wali untuk mengetahui bahwa dirinya seorang wali. Seorang tokoh Sufi berkata : “Hal ini tidak mungkin, sebab pengethuan semacam itu akan menghapuskan ketakutannya akan masalah itu dan dengan begitu mengisyaratkan rasa aman (amn). Padahal isyarat rasa man itu berarti hapusnya kehambaan,Sebab hamba (tuhan) itu berada di antara ketakuan dan harapan, Tuhan berffirman : “Mereka berdoa kepda Kami dengan perasaan harap-harap cemas.” Tapi tokoh terbesar dan terpenting Sufi mempertahankan pendapatnya bahwa mungkin saja bagi wali itu untuk menyadari kewaliannya; sebab kewalian itu merupakan karunia (karamah) dan Tuhan untuk menusai; dan manusia diizinkan untuk menyadari kerunia dan kemurahn Tuhan, sebab dengan begitu hatinya akan tersentuh dan lebih bersyukur.
Ada dua jenis kewalian. Yang pertama adalah semata-mata terjauhkannya seseorang dari permusuhan, dan dalam hal ini berlaku umum bagi semua orang beriman; tidak perlu orang itu menyadarinya, atau mengetahuinya, sebab hal itu hanya dimaksudkan dalam arti umum, sebagaimana dinyatakan dalam kalimat ini, “Orang yang beriman adalah karib (wali) Tuhan.” Yang kedua adalah kewalian orang-orang yang khusus dipilih, dan hal ini perlu disadari dan diketahui oleh orang itu. Kalau seseorang memiliki kwajlian ini, maka ia dijaga agar tidak berbangga diri dan, karena itu, dia tidak jatuh dalam kecongkakan; dia dijauhkan dari orang –orang lain, yaitu dalam arti ikut menikmati kesenangan dari kebanggan mereka, dan karenanya mereka tidak bisa menggodanya. Dia dihindarkan dari kesalahan-kesalahan yang telah menjadi sifat manusia, meskipun sebutan sebagai manusia biasa tetap melekat dalam diri mereka; karena itu, dia tidak ikut menikmati kesenangan nafsunya, dalam cara yang begitu rupa, seperti kalau dia asyik-masyuk di dalam agamanya, meskipun kesenangan alamiah tetap dinikmatinya. Ini semua merupakan sifat-sifat khusus dari kekariban Tuhan (wilayah) dengan manusia, dan jika seseoang memiliki sifat-sifat ini, maka musuh itu tidak akan mampu mencapainya dan membawanya ke dalam kesesatan; sebab Tuhan berfirman : “Sesungguhnya, hamba-hamba Ku, tidak ada kemampuanmu untuk menyesatkan mereka. Sekalipun begitu, dia tidak dijaga oleh Tuhan dari melakukan dosa-dosa yang lebih kecil maupun yang lebih besar; tapi jika jatuh ke dalam salah satunya, maka tobat yang tulus sudah tersedia dekat kepadanya. Tapi, Nabi dijaga oleh Tuhan; semuanya mengakui bahwa tidak ada dosa besar yang bisa menghinggapinya, sementara sebagian orang lain bahkan beranggapan bahwa hal itu berlaku pula untuk dosa-dosa kecil. Lebih-lebih, dalam dirinya, rasa takut akan masalah itu jelas sudah terlewatkan tanpa ada penghalang. Nabi memberi tahu para sahabat bahwa mereka adalah para penghuni surga, da mengenai sepuluh orang di antara mereka, diberi kesaksian bahwa mereka akan dimasukan ke dalam surga; yang mengisahkan hadits ini adalah Sa’id ib Zaid, dan dia termasuk salah seorang dari sepuluh orang tersebut. Jadi, kesaksian Nabi itu harus diterima dengan persetujuan bulat, kemantapan dan kepercayaan; dan ini jelasa mengisyaratkan kemanan dari peraliha, dan hapusnya rasa takut akan perubahan. Toh, masihh ada kisah-kisah termasyhur yang diceritakan untuk menggambarkan rasa takut yang encekam orang-orang ini (yang telah diberi tempat di surga), atas kesaksian nabi. Abu Bakr berkata : “Kalau-kalau aku menjadi seperti sebuah korma yang dicucuki burung-burung.” Umar berkata : “Kalau-kalau kau menjadi jerami begini. Kalau-kalau aku menjadi bukan apa-apa.” Abu Ubaidah berkata : “Kalau saja aku bsia menjadi seekor biri-biri, dan pemilik-ku akan menjadikan aku korban dan memakan dagingku serta meneguk kaldu dagingku.” A’isyah berkata : “ Kalau-kalau aku menajdi selembar daun dari pohon ini.” Padahal wanita itulah yang diberi kesaksian bahwa wanita ini adalah istri nabi di dunai Kini dan dunia nanti.” Perasaan-perasaan itu mengusik hati mereka, karena mereka takut jangan-jangan mereka menanggung dosa karena tindakan-tindakan mereka yag menentang (Tuhan), tidak mencermin penghormatan kepada Tuhan dan kepada kekuasaan-Nya; sebab, mereka memiliki rasa hormat kepada Tuhan yang begitu besar sehingga mereka tidak mungkin menentang-Nya, sekalipun mereka tidak akan dihukum oleh-Nya. Maka Umar berkata : “Alangkah baiknya orang seperti Suhaib itu! Dia tidak akan ingkar dari Tuhan, sekalipun jika dia tidak takut kepada-Nya.” Yang dia maksudkan adalah “ Suhaib tidak ingkar dari Tuhan bukan karena dia takut akan akibat-akibatnya, tapi karena dia takzim kepada Tuhan dan menghormati kekuasaan-Nya, serta malu kana Dia, Jadi, rasa takut dari orang-orang yang perkataan-perkataannya telah kami kutip itu, bukanlah rasa takut akan peralihhan dan perubahan; sebab, rasa takut akan kedua hal itu, pada saat Nabi telah membuat kesaksian, akan mengisyaratkan keraguan atas penuturan Nabi, dan itu berarti kekafiran; rasa takut itu pun bukanlah rasa takut akan hukuman neraka, tanpa mereka harus ada di sana selamanya, sebab mereka telah tahu bahwa mereka tidak akan dihukum dengan neraka karena perbuatan-perbuatan mereka. Sebab, sekalipun mereka melakukan dosa-dosa kecil, dosa-dosa tersebut akan diampuni karena mereka menjauh dari dosa-dosa besar , atau dikarenakan penderitaan yang mereka alam selama berada di dunia. Abdullah ibn Umar menuturkan bahwa Abu Bakr al-Siddiq berkata : “Aku sedang berada bersama Rasulullah ketika ayat yang berikut ini diturunkan : “Barang siapa mengerjakan kejahatan, tentu akan diberi pembalasan yang setimpal dengan kejahatan itu. Nabi berkata : “Tidakkah engkau sebaiknya ku suruh menyitir ayat yang baru saja diturunkan kepadaku itu?” Aku mebjawab : “Tentu saja, Wahai Rasul Allah!. Maka beliau menyuruhku menyitir ayat itu; dan aku tidak tahu apa yag menimpaku, tapi aku merasa seakan-akan punggungku patah, dan aku meregangkan badanku. Melihat itu Nabi bertanya : “Apa yang membuat mu sakit, Abu Bakr? Aku menjawab : “Wahai Rasul Allah! Aku memohon kepdamu demi bapak dan ibuku, adakah di antara kita yang belum pernah melakukan kejahatan? Sesungguhnya kita diberi balasan untuk semua perbuatan kita>’ Nabi menyahut L “Untuk engkau, Abu Bakr, dan untuk orang-orang beriman, mereka akan diberi balasan untuk semua perbuatan mereka di dunia ini, sehingga engkau akan bertemu dengan Tuhan tanpa tanggungan dosa, tapi, untuk yang selebihnya. Tuhan akan mengumpulkan balasan untuk mereka itu, dan mereka akan diberi balasan itu nanti pada Hari Kebangkitan.” Atau, jika mereka melakukan dosa-dosa besar , maka tobat akan segera menghapuskannya, dan kesaksian Nabi mengenai surga akan terpenuhi untuk mereka; sebab, hais ini secara jelas menyatakan bahwa Abu Bakr akan melewati Hari Kebangkitan tanpa tanggungan dosa sama sekali. Pada kesempatan lain Nabi berkata kepada Umar : “Bagaimana engkau tahu bahwa Tuhan belum memberi keputusan mengenai orang-orang yang bertempur di Badr, padahal ia berfirman : “Lakukan apa yang kamu inginkan, sebab Aku telah mengampunimu?.”
Beberapa hali mempertahankan pendapat mereka bahwa sementara mereka diberi janji surga, mereka tidak diberi janji bahwa mereka tidak akan dihukum. Jika hal ini benar, maka mereka akan takut pada neraka, sekalipun mereka tahu bahwa mereka tidak akan berada di sana selamanya; dan, dalam hal itu, orang-orang yang lebih disukai, sama sekali tidak berbeda dengan orang-orang beriman lainnya, yang sudah jelas akan di jauhkan dari neraka. Nah, Jika ada kemungkinan bahwa Abu Bakr dan Umar ankan masuk neraka, sekalipun nabi telah melukiskan mereka sebagai “Pemimpin para sesepuh penghuni surga, baik yang lebih dulu maupun yang kemudian, maka akan ada kemungkinan bahwa al-Hasan dan al-Husain juga akan (masuk neraka) sekalipun Nabi tela melukiskan mereka sebagai “Pemimpin para peuda penghuni surga”. Kalau begitu, Jika ada kemungkinan bahwa Tuhan akan memasukan para pemimpin penghuni surga ke neraka, dan menghukum mereka di sana, maka tidak ada kemungkinan bahwa seseorang bisa masuk surga tanpa lebih dulu dihukum dengan neraka, Lebih jauh lagi Nabi berkata : “ Sedangkan mengenai orang-orang dari taraf yang lebih tinggi, mereka akan dipandang oleh orang-orang yang ada di bawah mereka sebagaimana engkau memandang sebuah bintang yang muncul dari kaki langit. Sesungguhnya Abu Bakr dan Umar ada di antara mereka, dan mereka diberkahi. Nah, Jika dua orang ini akan dimasukan ke neraka, dan di sana mereka dihinakan – sebab Tuhan berfirman : “Siapa yang Engkau masukan ke dalam neraka, sesungguhnya Engkau telah menghinakannya.”” Lalu bagaimana yang lain-lain bisa dijauhkan dari sana? Lgi, Ibn Umar bercerita bahwa suatu hati Nabi bersama Abu Bakr dan Umar masuk ke Masjid, yang seorang di samping kanannya dan yang seorang lagi di samping kirinya, dan beliau memegang tangan meraka dan berkata : “Beginilah kami nanti akan diangkat ke tampat yang lebih tinggi pada Hari Kebangkitan.” Jika hal ini mungkin, seperti disebutkan di atas, bahwa kedua orang itu nanti akan masuk neraka, maka mungkin pula bagi orang yang ketiga untuk masuk neraa. Tapi Nabi berkata : “Akan masuk surga tujuh puluh umatku tanpa melalui penghitungan.” Ukkayah ibn Mihshan al-Asadi berkata : “Wahai Rasul Allah! Doakanlah kepada Tuhan agar aku termasuk salah seorang dari mereka.” Nabi menyahut : “ Engkau salah seorang dari mereka.” Nah, Abu Bakr dan Umar itu lebih baik dibanding Ukkasyah, sebab Nabi melukiskan mereka sebagai “para pemimpin para sesepuh penghuni surga, baik yang lebih dahulu maupun yang kemudian.” Lalu, bagaimana mungkin Ukkasyah akan masuk surga tanpa melalui penghitungan, padahal dia tidak melebihi mereka dalam kebaikannya, kalau mereka saja masuk neraka? Ini jelas merupakan sebuah kesalahan besar. Jadi hadis-hadis ini menjelaskan bahwa tidak ada kemungkinan kedua orang itu dihukum dengan neraka, terutama dilihat dari kesaksian Nabi bahwa mereka akan berada di surga. Bagaimanapu juga, mereka aman; dan apapun yang telah dikatakan mengenai delapan orang yang telah disebutkan sebelumnya, apakah mereka itu aman atau tidak, hanya menyangkut mereka saja, dan lepas dari yang dua orang ini.
Sedangkan mengenai cara para wali tahu perihal (tempat yang telah disediakan untuk mereka di surga) lepas dari sepuluh orang yang disebut terdahulu – sebab mereka menyimaknya dari percakapan langusng dengan Nabi, Sedangkan yang lain-lain tidak menikmati hak khusu ini, mengingat bahwa mereka tidak hidup pada masa nabi --- mereka menjadi tahu periha itu dari kemurahan Tuhan yang diberikan kepaa mereka sebagai wali; sebab hati nurani mereka mengenal keadaan-keadaan kejiwaan itu, yang merupakan tanda-tanda kekariban dengan Tuhan. Allah memilih mereka dan menjauhkan diri merka dari hal-hal lain agar mereka bisa dekat kepada-Nya, sehingga hati nurani mereka menjadi kebal dari segala kejadian, peristiwa maupun perubahan, yaitu hal-hal yang bisa menarik mereka agar menjauh dari-Nya; lebih-lebih mereka mereka bisa menikmati penglihatan dan wahyu-wahyu yang hanya diperuntukan oleh Tuhan bag orang-orang yang secara khusus dipilih sendiri oleh-Nya di alam kekal, dan juha menikmati hal-hal semacam itu yang tidak diberikan-Nya kepada musuh-musuh-Nya. Ada Hadis Nabi yang berrkenaan dengan Abu Bakr al-Siddiq : “Dia lebih unggul daripada kamu bukan karena dia banyak berpuasa dan berdoa, tapi karena sesuatu yang telah diisikan di dalam dadanya, atau di dalam hatinya.” Inilah arti hadis itu, yang menenteramkan hati mereka, karena mereka merasakan dalam hati mereka karunia dan rahmat Tuhan, dan bahwa karunia dan rahmat itu nyata dan bukan hanya tipuan belaka, seperti yang terjadi pada orang yang oleh Tuhan diberi.” tanda-tanda dan yang “kemudian dia berpantang mempercayainya”. Mereka tahu bahwa tanda-tanda yang nyata itu tidak sama dengan tanda-tanda yang menipun dan menyesatkan, sebab tanda-tandan yang menipu itu hanya mempengaruhi tata lahir mereka saja dan berupa suatu kejadian luar biasa yang menarik hati orang yang kena tipu itu serta memerdayakan dia, sehingga dia mengira bahwa tanda-tanda tersebut merupakan gejala-gejala yang menandai kesucian seseorang dan kedekatannya (kepada) Tuhan; padahal sebenarnya, tanda-tanda itu sebenarnya, tanda-tandan itu semata-mata tipuan dan kecurigaan. Kalau memang mungkin bahwa Tuhan akan membuat karunia khusus yang doanugerahkan oleh-Nya kepada prara wali-Nya sama dengan tipuan-tipuan yang digunakan-Nya untuk membawa musuh-musuh-Nya ke dalam kehancuran, maka hal ini berarti bahwa Dia bisa saja berusaha dengan para wali-Nya sebagaimana Dia berurusan dengan musuh-musuh-Nya.Dia bahkan bisa saja mengutuk nabi-nabi-Nya dan menjauhkan mereka dari-Nya, sebagaimana yang Dia lakukan terhadap orang-orang yang telah diberi-Nya tanda-tanda; tapi Tuhan sama sekali tidak dapat dikatakan sepeerti itu. Lebih-lebihm jika memang mungkin bagi musuh-musuh (Tuna) untuk menikmati tanda-tanda yang dimiliki oleh para wali, dan orang-orang terpilih, sedangkan yang menunjuk seseorang sebagai wali dan orang terpilih itu, dalam kenyataannya, tidak menunjuk mereka, maka bagi mereka itu tidak akan ada petunjuk menuju kebenaran sama sekali. Tapi tanda-tanda walayah itu bukan hanya hiasan luar dan pengejawatahan dari yang luar biasasaja; tanda-tandanya yang benar ada di dalam dan merupakan pengalaman-pengalaman yang diberikan oleh Tuhandi dalam hati nurani, yaitu pengalaman-pengalaman yang hanya diketahui oleh Tuhan serta orang-orang yang telah menikmati pengalaman-pengalaman tersebut.
27.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG IMAN
Menurut sebagian besar tokoh Sufi, iman terdiri atas pengucapan lisan, tindakan dan niat. Nabi, menurut hadis yang diriwayatkan oleh Ja’far ibn Muhammad dari orang-orang tua beliau, mengatakan : Iman itu merupakan pengakuan dengan lidah, pembuktian dengan hati dan pelaksanaan dengan tindakan.” Mereka mengatakan, akar-akarnya imna adalah pengakuan dengan lidah beserta pembuktian dengan hati, dan cabangnya adalah pelaksanaan perintah-perintah (Tuhan). Mereka juga menatakan bahwa iman itu ada di luar dan di dalam, yang di dalam itu merupakan satu benda, yaitu hati, sedang yang di luar merupakan banyk hal.
Mereka bersepakat bahwa aspek lahir iman adalah sebesar aspek batinnya, dan bukannya hanya satu bagian saja dari yang lahir itu; sebab, bagian batin iman itu merupakan bagian dari keseluruhannya, maka bagian luar iman itu pun harus merupakan bagian dari keseluruhannya, yaitu dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan; sebab, ini berlaku umum bagi semua yang lahir, sebagaimana pentahkikan (verisikasi) itu berlaku umum bagi semua yang batin. Mereka mengatakan bahwa iman itu bisa juga lebih besar atau lebih kecil. Al-Junadi – Syal dan tokoh-tokoh Sufi yang lebih dahulu menganggap bahwa pentahkikan itu bisa juga lebih besar atau lebih kecil. Berkurangnya pentahkikan berarti peranjakan dari iman, sebab, itu merupakan pentahkikan dari apa yang telah dituturkan dan di janjikan oleh Tuhan, dan keraguan yang paling kecil pun akan hal ini sama dengan kekafiran; lebih besarnya pentahkikan bisa diartikan sebagai kekuatan dan kemantapan. Pengakuan lidah tidak beragam, tapi pelaksanaannya bisa jadi lebih bessar atau lebih kecil. Seorang tokoh Sufi berkata : “Istilah yang beriman, merupakan ssalah satu nama Tuhan, sebab Dia berfirman : “Yang memberi kedamaian, yang beriman yang melindungi.” Lewat iman, Tuhan membuat orang yang berimana merasa aman dari hukuman-Nya. Kalau orang yang beriman itu membuat pengakuan dan pentahkikan, dan juga melaksanakan segala kewajiban, menahan diri dari hal-hal yang dilarang, maka dia aman dari Hukuman Tuhan. Jika seseorang tidak melakukan hal tersebut sama sekali, maka dia akan hidup kekal di neraka. Kalau seorang itu membuat pengakuan dan pentahkikan, tapi tidak sepenuhnya melaksanakan kewajiban-kewajibannya; oleh karena itu, dia aman dari hukuman yang kekal, tapi bukan berarti tidak dihukum sama sekali. Rasa amannya berarti tidak menyeluruh, tidak sempurna; tapi, rasa aman orang yang melaksanakan segala kewajiban itu bersifat menyeluruh, dan tidak kurang. Dengan begitu maka rasa aman yang tidak sempurna merupakan akibat dari iman yang tidak sempurna, sebab pemenuhan rasa aman itu bergantung pada pemenuhan iman. Nabi melukiskan iman seseorang yang tidak berhasil melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai “kelemahan”, ketika beliau berkata : “Orang seperti itu lemah dalam iman.” Ia adalah orang yang melihat sesuatu sebagai yang tidak dapat dibenarkan, dan tidak membenarkannya di dalam hati, tapi membenarkannya dalam tata lahir nya; maka Nabi mengatakan bahwa iman di dlam batin tanpa iman di lahir adalah iman yang lemah. Beliau juga menggunakan istilah “kesempurnaan” dalam hal ini, ketika beliau berkata : “Bahwa orang beriman paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” Akhlak itu terdiri atas yang batin dan yang lahir; oleh akrena itu beliau melukiskan seseorang sebagai pemilik iman sempurna jika dia baik dalam keduanya, dan lemah jika dia tidak baik pada keduanya. Seorang tokoh Sufi berkata : “Iman yang lebih besar atau lebih kecil itu merupakan masalah kualitas, bukan esensi; pertambahannya adalah dalam hal kebaikan , kebagusan dan kekuatannya, sedang pengurangannya adalah dalam hal kebaikan, kebagusan dn kekuatannya pula, bukan dalam eseensinya. Nabi berkata : “Banyak laki-laki yang sempurna, tapi perempuan tidak, kecuali empat orang.” Nah, kekurangan-kekurangan dari perempuan-perempuan yang lain itu bukan merupakan masalah sifat-sifat esensi mereka, melainkan sifat pelengkap mereka. Beliau juga melukiskan mereka kurang dalam hal intelektualitas dan agama, dan beliau menerangkan bahwa kekurangan yang ke dua itu muncul karena dalam kenyataan, mereka tidak bersembahyang dan berpuasa pada masa haid mereka. Nah, “Agama” itu, dalam kenyataannya, adalah Islam, dan Islam itu identik dengan iman dalam pandangan orang-orang yang menganggap beramal itu tidak merupakan bagian dari iman. Salah seorang tokoh besar Sufi, ketika di tanya apakah iman itu, menjawab : “Iman dalam diri Tuhan tidak bisa lebih besar atau lebih kecil; dalam diri para Nabi bisa lebih besar atau lebih kecil, tapi dalam diri orang-orang lain bisa lebih besar dan lebih kecil. Yang dimaksudkan dengan kata-kata “dalam diri Tuhan tidak bisa lebih besar atau lebih kecil”, adalah bahwa iman itu merupakan sebuah gelar Tuhan yang dengan it Dia diberi sfat. Tuhan berfirman, “Yang memberi kedamaian, yang beriman, yang Melindungi.” Nah, gelar Tuhan itu tidak dapat diperkirakan sebagai yang lebih besar atau lebih kecil. Tapi, adalah mungkin bahwa “Iaman dalam Diri Tuhan” berarti iman yang di berikan-Nya kepada seseorang sesuai dengan ke-Mahatahuan-Nya, yang tidak lebih besar pada saat iman itu di ejawantahkan, dan yang tidak lebih kecil daripada iman yang telah diketahui Tuhan dan diberikan kepada orang itu. Nabi-nabi itu berada dalam kedudukan yang bisa menikmati tambahan dari Tuhan lewat kekuatan, kemntapan, dan perenungan atas hal-hal gaib; sebab Tuhan berfirman : “Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi, agar Ibrahim termasuk orang-orang yang benar-benar yakin.” Orang-orang yang lain mendapat tambahan dalam hal batin mereka lewa kekuatan dan kemntapan, tapi mengalami pengurangan menynakgut cabang-cabang iman mereka, karena kelemahan-kelemahan mereka dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan, dan karena mereka melakukan dosa-dosa yang di larang (oleh Tuhan). Tapi, para Nabi terjaga dari melakukan dosa-dosa, dan terjaga dari kelemahan-kelemahan dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan; oleh karena itu, mereka tidak dapat diperikan sebagi tidak sempurna dalam hal apa pun.
28.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI HAKIKAT IMAN
Salah seorang syekh berkata : “Unsur iman itu ada empat : penyatuan tanpa batas, ingatan tanpa selaan, keadaan tanpa pemerian dan ekstase tanpa waktu.” Kata-kata “keadaan (hal0 tanpa pemerian (na’t)” berarti bahwa yang diperikannya adalah juga keadaannya, sehingga dia diberi sifat dengan setiap keadaan mulia yang diperikannya; ekstase tanpa waktu (waqt)” berarti bahwa dia merenungkan Tuhan pada setiap waktu. Seorang tokoh Sufi berkata : Jika iman seseorang sejati adanya, maka dia tidak akan menggubris fenomena (kaun) dan obyek-obyek fenomenal; sebab, kerendahan tujuan itu muncul dari kurangnya ma’rifat.” Yang berkata : “Iman yang sejati adalah pemujaan akan Tuhan, dan buahnya adalah rasa malu terhadap Tuhan.” Telah dikatakan bahwa : “Sedang mengenai orang yang beriman, dadanya diluaskan dengan cahaya Islam, dan hatinya dipalingkan kepada Tuhan-nya; bagian dalam hatinya (fu’ad) menyaksikan Tuhan-nya, dan pemahamanya pun jelas; dia berada bersama tuhannya, merasa puas kalau dia dekat, dan menangis kalau Dia jauh,” Yang lain berkata : “Iman kepada Tuhan adalah merenungkan ketuhanan-Nya,” Abu’l Qasim al-Baghdadi berkata : “Iman adalah yang menyatukanmu dengan Tuhan dan yang memusatkan pikiranmu kepada Tuhan. Tuhan itu esa, dan begitu pula, orang yang beriman itu satu. Jika orang menyesuiakan diri dengan benda-benda, maka nafsu-nafsu memisahkan dirinya; dan jika orang itu terpisahkan dari Tuhan oleh nafsu-nafsunya, dan mengikuti syahwat serta benda-benda yang diinginkannya, maka dia kehilangan Tuhan. Tidakkah engkau tahu bahwa tuhan memerintahkan mereka untuk mengulang-ulang akad perjanjian mereka pada setiap pemikiran dan pandangan? Sebab Tuhan berfirman : “Hai orang-orang yang berriman! Tetaplah percaya.” Nabi berkata : “Kekafiran itu lebih tersembunyi di antara umatku daripada jejak seekor semut di atas batu pada malam gelap.” Nabi juga berkata : “Semoga mereka yang memuja uang itu binasa, semoga mereka yang memuja kelamin itu binasa, semoga yang pakaian itu binasa.” Saya bertanya pada seorang syekh kita mengenai iman, dan dia berkata : “Itu berarti bahwa engkau mesti benar-benar tanggap akan panggilan Tuhan, melenyapkan dari hatimu semua pemikiran mengenai pergimu dari-Nya, sehingga engkau selalu ada bersama semua yang menjadi milik Tuhan dan menghidanr dari semua yang bukan menjadi milik Tuhan.” Pada kesempatana lain, saya menanyakan kepadanya pertanyaan yang sama, dan dia menjawab : “Iman adalah sesuatu yang tidak boleh digantikan, dan tugas yang tidak boleh dilalaikan. Kata-kata “Hai orang-orang yang berriman”, mengandung arti, “Hai orang-orang pilihan dan ma’rifat-Ku! Hai orang-orang yang dekat dan selalu merenungkan Aku!.” Beberpa tokoh Sufi menganggap Iman dan Islam itu khusus.” Seorang tokoh Sufi berkata : “Iman itu merupakan perwujudan dan kepercayaan, Islam itu kerendahan hati dan penghambaan.” Yang lain berkata : “Tauhid adalah sebuha rahasia dan itu bisa dicapai dengan pernyataan bahwa Tuhan itu tidak dapat dilihat, ma’rifat itu adalah suatau ketakwaan, dan itu berarti bahwa engkau mengenal Tuhan dalam gelar-gelar-Nya, Iman itu adalah ikrar hati untuk menjaga rahasia itu, dan untuk mengenal ketakwaan itu; Islam adalah perenungan kemaujudan Tuhan di dalam segala sesuatu yang dibutuhkan darimu.”
29.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI MAZHAB-MAZHAB YANG SAH
Berkenaan dengan masalah-masalaha yang menimbulkan perbedaan pendapat di antara para ahli hukum, tokoh-tokoh Sufi mencari jalan yang lebih hati-hati dan konservatif, dan sebisanya mengikuti konsesus kedua pihak yang saling bertentangan itu. Mereka beranggapan bahwa perbedaan-perbedaan di antara para ahli hukum itu akan mendatangkan kebenran, dan bahwa tak satu pihak pun yang benar-benar bertentangan dengan yang lainnya. Dalam pandangan mereka, setiap orang yang berusaha mencari kebenaran (berijtihad) itu benar adanya, dan setiap orang yang memegang prinsip tertentu dalam hukum sebagai yang benar, lewat analogi dengan prinsip-prinsip serupa yang ditetapkan dan al-Qur’an dan Sunnah, atau lewat penggunaan penafsiran secara bijaksana, adalah benar dalam memegang kepercayaan yang semacam itu. Tapi jika seseorang tidak memiliki dasar yang cukup kuat dalam hukum, maka dia meski tunduk kepada keputusan ahli-ahli hukum terdahulu yang dianggapnya lebih pandai, yang penilaiannya dianggap tegas olehnya.
Mereka percaya akan kemustajaban doa mereka, sebab dalam pandangan mereka hal ini merupakan jalan yang baik, asal orang itu yakin mengenai saat yang tepat dalam melakukannya, dan begitu pula pada kemustajaban pelaksanaan semua tugas keagamaan pada waktu-waktu yang semestinya. Mereka tidak mengizinkan adanya pemendekan, penangguhan atau penghilangan , kecuali dengan alasan yang tepat. Mereka setuju, bahwa kalau sedang bepergian, orang boleh memendekkan sembahyangnya, tapi jika dia terus-menerus pergi dan tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, maka dia harus melaksanakan sembahyang dengan penuh. Mereka beranggapan bahwa orang boleh membatalkan puasa. Mereka menafisrkan prinsip “kemampuan”, dalam hubungannya dengan kewajiban pergi ke tanah suci, dalam arti yang paling luas, dan tidak membtasai syarat-syaratnya pada pemilikan perbekalan dan jumlahnya. Ibn Atha berkata : “Kemampuan itu terdiri atas dua hal : Keadaan dan kekayaan. Jika seseorang tidak memiliki keadaan yang diperrlukan untuk menunjangnya, maka kekayaannya akan bisa menolongnya untuk mencapai hal itu.
30.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PENGHASILAN
Mereka mengakui bahwa orang diizinkan memiliki penghasilan dari perdagangan, perniagaan atau pertanian, atau cara-cara lain yang diizinkan oleh syariah, asal orang itu berhatai-hati, tidak tergesa-gesa dan cermat dalam menghinndari hal-hal yang kesahannya diragukan, penghasilan-penghasilan ini hendaknya dipakai untuk keperluan saling bantu dengan menekan nafsu-nafsu, dan selalu siaga membantu yang lain serta bermurah hati kepada tetangga. Mereka beranggapan, bahwa orang harus mencari nafkah jika dia memiliki tanggungan-tanggungan yang mesti ditunjang olehnya. Menurut Al-Junaid, cara yang tepat untuk mencari nafkah, disamping syarat-syarat terdahulu, adalah dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang akan mebawa orang itu lebih dekat kepada Tuhan, dan menyibukan diri dalam pekerjan-pekerjan itu dengan semangat yang sama dengan pekerjaan-pekerjaan sunnah yang diperintahkan kepada orang itu, bukannya dengan gagasan bahwa pekerjaan-pekerjaan itu merupakan alat mata pencaharian atau alat untuk mendapatkan keuntungan. Tapi tokoh-tokoh lain beranggapan bahwa mendapat penghasilan itu boleh saja, tapi bukan berarti bahwa hal itu perlu, asalkan kepercayaan orang itu kepada Tuhan tak berkurang sama sekali, atau keagamaannya terpengaruh; tapi, sebenarnya, akan lebih tepat kalau seseorang menyibukan diri dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban Tuhan, dan dalah tugas yang utama bagi orang itu untuk menjauh dari segala penghasilan demi menyempurnakan kepercayaan dan imannya kepada Tuhan. Sahl berkata :”Tidaklah pantas bagi orang-orang yang menaruh kepercayaan kepada Tuhan mencari penghasilan, kecuali dengan tujuan mengikuti Sunnah Nabi; dan bagi yang lain-lain, hal itu tidaklah pantas, kecuali untuk tujuan saling menolong.
Ini semua merupakan doktrin-doktrin sejati para Sufi, sepanjang yang telah kami buktikan dari yang telah dinyatakan dalam kitab-kitab mereka, yang nama-namanya telah kami sebutkan pada awal buku ini, atau telah kami dengan dari para ahli yang dapat dipercaya yang mengenai prinsip-prinsip mereka dan menguji doktrin-doktrin mereka, atau sepanjang kami memahami teka teki dan acuan-acuan terselubung dan terkandung dalam wacana aktual mereka. Memang, semua ini tak diungkapkan dalam cara yang sama seperti cara kami menuturkannya. Sebagian besar bukti yang telah kami sitir merupakan susunan kami sendiri, yang mengungkapkan apa yang telah kami kumpulkan dari kitab-kitab dan risalah-risalah mereka; tapi, apabila orang itu mempelajari wacana dan buku-buku mereka, dia akan tahu bahwa apa yang telah kami tuturkan ini benar adanya. Sungguh pun begitu, kalau bukan karena keseganan kami untuk membuat sebuah pembahasan yang panjang, maka pasti kami telah mengutip bab-bab dan syair-syair dari buku-buku mereka untuk setiap pokok masalah yang telah kami kemukakan, sebab semua ini tidak dituliskan secara cukup jelas dalam buku-buku itu.
Dan kini kami akan menyebutkan doktrin-doktrin Sufi yangkhusus, ungkapan-ungkapan tertentu yang mereka gunakan, ilmu-ilmu yang mereka pelajari, dan pokok-pokok isi umum wacara mereka, dengan keterangan tentang makna-makna mereka yang perlu. Dari Tuhan kami minnta batuan,s ebab tiada kekuasaan atau kekuatan kecuali dari Tuhan.
31.
MENGENAI ILMU-ILMU SUFI TENTANG KEADAAN-KEADAAN (AHWAL)
Saya katakan (dan semoga Tuhan menjadi penolong saya) : Ketahuilah, bahwa ilmu-ilmu Sufi adalah ilmu-ilmu mengenai keadaan-keadaan ruhani, dan bahwa keadaan-keadaan ini merupakan warisan dari tindakan-tindakan, dan hanya dialami oleh orang-orang yang tindakan-tindakannya benar. Nah, langkah pertama menuju perbuatan yang bernar adalah mengetahui ilmu-ilmu yang menyangkut masalah itu, yaitu peraturan-peraturan yang sah yang terdiri atas prinsip-prinsip hukum (fiqh) yang mengatur cara-cara salat, berpuasa dan tugas-tugas keagamaan lainnya, juga mengetahui ilmu-ilmu sosial yang mengatur perkawinan, perceraian, transaksi-transaksi dagang, dan masalah-masalah lain yang mempengaruhi kehidupan manusia, yang oleh Tuhan telah ditetapkan dan ditentukan sebagai hal-hal yang diwajibkan. Semua itu merupakan ilmu-ilmu yang bisa didapatkan dengan jalan mempelajarinya; dan sudah menjadi kewajiban manusia untuk berusaha mencari ilmu ini dan aturan-aturannya, sepanja g dia mampu mencari hingga batas kemampuan akalnya sebagai manusia, setelah dia mendapat dasar yang menyeluruh dalam ilmu agama dan cara-cara memahami Al-Qur’an, Sunnah serta konsensus para salaf sampai batas memahami doktrin yang benar dari Muslim Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Jika Tuhann menolongnya memperoleh pencapaian yang lebih tinggi daripada ini, sehingga dia bisa membuang segala keraguan pandangan atau pemikiran yang menimpanya, hal itu bagus sekali; tapi, bahkan jika dia berrpaling dari pemikiran-pemikiran jahat dengan mecari perlindungan dari kesseluruhan pengetahuan yang dimilkinya, dan menghindari pandangan yang melawannya dan yang menjauhkannya dari (Tuhan), maka itu merupakan bagian yang cukup sesuai untuk dirinya, jika memang Tuhan menghendaki; sebab dia disibukkan dengan pelaksanaan pengetahuannya dan dia melaksanakan itu menurut apa yang diketahuinya.
Oleh karena itu, yang paling penting adalah bahwa dia harus tahu mengenai kejahatan-kejahatan jiwa, dan benar-benar mengenal jiwa itu, pendidikannya, dan penempaan akhlaknya; dia juga harus tahu mengenai tipu-tipu muslihat musuh dan godaan-godaan dunia ini serta cara-cara untuk menjauhkan diri darinya. Ilmu ini merupakan ilmu tentang kebijaksanaan (hikmah). Kalau jiwa itu ditegur dengan sepantasnya, dan kebiasaan-kebiasaannya diubah, kalau dia diajari tata cara ketuhanan dengan menguasai anggota-anggotanya dan menjaga jari-jari serta indera-inderanya, maka akan mudah bagi seseorang untuk mengubah akhlaknya dan memurnikan bagian-bagian lahirnya, sehingga dia tidak lagi terkungkung dalam urusan-urusannya sendiri dan menghindar serta mengelakkan diri dari dunia ini. Kalau sudah begitu maka, orang itu akan bisa mengawasi pikiran-pikirannya dan memurnikan bagian-bagian lahirnya; dan inilah ilmu ma’rifat itu. Di balik itu adalah ilmu-ilmu pemikiran, ilmu-ilmu perenungan dan wahyu; semua ilmu ini seluruhnya terdiri atas ilmu isyarat (isyarah), dan inilah yang merupakan ilmu utama yang dimiliki oleh orang-orang sufi, yang mereka dapatkan setelah mereka menguasai semua ilmu yang telah kami sebut sebelum ini. Istilah ‘Isyarat” diberrikan kepada ilmu ini; karena perenungan yang dinikmati oleh hati, dan wahyu yang diberikan kepada kesadaran (sirr) tidak dapat diungkapkan secara harfiah; hal itu harus dipelajari lewat pengalaman nyata akan yang gaib, dan hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang telah mengalami keadaan-keadaan gaib ini serta hidup dalam keadaan-keadaan itu. Sa’id ibn al-Musayyib meriwayatkan dari Abu Harairah, bahwa Nabi berkata : “Sesungguhnya, sebagian pengetahuan itu berkenaan dengan sesuatu yang tersembunyi, yang bisa diketahui oleh mereka yang mengenal Tuhan. Kalau mereka membicarakan mengenai ilmu itu, maka hanya orang-orang yang tidak mengindahkan Tuhan saja yang tidak menyetujuinya.” Penuturan berikut adalah dari Abdul Wahid ibn Zaid : “Aku bertanya kepada al-Hasan mengenai ilmu batin, dan dia menyahut, aku bertanya kepada Hudzaifah mengenai ilmu batin, dan dia menyahut, aku bertanya kepada Rasul Allah mengenai ilmu batin, dan dia menyahut,aku bertanya kepada Jibril megenai ilmu batin, dan dia menyahut, dan aku bertanya kepada Tuhanmengenai ilmu batin, dan Dia berfirman : “Itu adalah rahasia dari rahasia Ku; Aku menanamkannya di dalam hati hamba-Ku dan tak satu makhluk-Ku pun yang memahaminya.” Abul Hasan ibn Abi Dzar mengutip puisi berikut dari Al-Syibli dalm bukunya “Minhaj al-Din :
Ilmu orang-orang Sufi itu tak terrbatas;
Ilmu yang tinggi, mulia suci;
Di dalamnya hari para syekh tenggelam dalam-dalam,
Dan manusia yang andai, menghargainya dengan tanda itu.
Nah, setiap tingkatan itu ada awal dan akhirnya; dan di antara yang dua itu ada berbagai keadaan. Setiap tingkatan ada ilmunya sendiri, dan setiap keadaan itu ada isyaratnya sendiri. Dalam setiap tingkatan, ada satu penegasan dan satu sangkalan; tapi tidak semua yang disangkal di dalam satu tingkatan itu disangkal pula di dalam tingkatan yang sebelumnya; begitu pula, tidak semua yang ditegaskan di dalam satu tingkatan akan di tegaskan di dalam tingkatan sesudahnya. Ini sesuai dengan perkataan Nabi : “Jika seseorang tidak memiliki keimanan, maka dia tidak memiliki iman.” Ini menunjuk pada iman dari keimanan itu, bukan iman dari kepercayaan keagamaan. Nah, oarng-orang yang ditegus ini merasakan hal ini, sebab mereka telah berada dalam tingkatan keimanan atau telah melewati tingkatan itu; Nabi memahami keadaan jiwa mereka, maka Beliau menjelaskan diri Beliau kepada mereka. Nah, jika orang yang sedang berbicara itu tidak mengindahkan keadaan kejiwaan para pendengarnya, tapi hanya menguraikan secara terperinci ssuatu tingkatan yang menegaskan dan menyangkal, maka ada kemungkinan bahwa di antara para pendengarnya ada orang yang belum pernah berada dalam tingkatan itu; apa yang disangkalnya bisa jadi telah ditegaaskan di dalam tingkatan pendengar itu, shinga dia akan beranggapan bahwa pembicaran itu telah menyangkal suatu yang oleh pengetahuan ditegaskan; dan bahwa dia kalau tidak berbuat suatu kesalahan, telah jatuh ke dalam bid’ah, atau bahkan telah terelempar ke dalam kekafiran. Karena adanya peristiwa seperti itu, maka tokoh-tokoh Sufi mencari ungkapan-ungkapan teknis untuk ilmu-ilmu mereka, yang mereka pahami dalam lingkungan mereka sendiri; ungkapan-ungkapan itu mereka gunakan sebagai kode, yang akan bisa dimengerti oleh sesama Sufi, tapi tidak bisa dimengerti oleh pendengar mana pun yang belum pernah berada dalam tingkatan yang sama. Karenanya, pendengar itu akan melakukan salah satu dari kedua hal berikut : Dia menganggap baik pembicara itu dan menerimanya serta menyalahkan dirinya sendiri karena kekurang-mengertiannya sehingga dia tidak sanggup menangkap maksud pembicara itu; atau dia menganggap buruk pembicara itu, menganggapnya gila dan menganggap apa yang dikatakannya merupakan ocehan sinting, dan bahkan jika pembicara itu memang hanya mengoceh saja, hal itu masih lebih baik daripada kalau dia menolak dan menyangkal kebenaran. Seorang ahli ilmu kalam berkata kepada Abul Abbas ibn Atha : “Ada apa dengan kamu semua,orang-oran Sufi? Kamu semua telah membuat ungkapan-ungkapan yang kamu gunakan untuk memohon kepada para pendengarmu dengan cara berbicara yang begitu aneh, dan kamu meninggalkan caa berbicara yang biasa. Bukankah ini tidak lain ditujukan untuk mendatangkan kekacauan, atau menyembunyikan sebuah doktrin yang keji? Abul-Abbas menyahut : “Kami melakukan ini hanya karena kami waspada terhadap Dia, dan kaerna kekuasaan-Nya atas kami, sehingga yang lain-lain tidak akan dapat mencicipi (kegembiraan yang dingkapkan dengan) (istilah-istilah) ini.” Lalu dia mulai menyitir puisi sebagai berikut :
Inilah hal kterrbaik yang pernah diwahyukan oleh Allah;
Dan kami ungkapkan, tapi pada kami sendiri tetap tersembunyi;
Satu kebenaran yang menyingsing yang, bagai si pecinta, diuacpkan dari bibir ke bibir.
Dalam cahanya sendiri, ku bungkus dia rapat;
Dan ku sembunyikan, kalau-kalau ada orang yang tak mengenal kedalamannya.
Membukanya, dan dengan ungkapan-ungkapan kasa membuang;
Keindahan kejiwaannya; atau, orang yang tak pandai
Memahaminya, tidak, tan sampai sepenuhnya,
Akan dibawanya itu dengan tangannya, dan diumumkannya;
Dan kebodohan akan menyebar karena tipuannya;
Dan pengetahuan akan hilang selamanya, dan keindahannya;
Akan lenyap; jejaknya terkubur dalam pasir yang mengalir.
Puisi yang berikut ditukan untuk orang yang sama :
Kala orang awam menanyai kai;
Kami menjawab mereka dengan tanda-tanda rahasia;
Serta teka-teki gelap, sebab lidah manusia itu..
Tidak mampu mengungkapkan kebenaran yang begitu tinggi,
yang jangkauannya..
Melewati ukuran manusia ; tapi hatiku..
Telah mengenalnya, dan mengenal kegairahannya..
Yang menggetarkan dan mengisi tubuhku,
Setiap bagian..
Tanpa melihat engkau, perasaan gaib ini menangkap
Seni berbicara yang asasi, sebagai orang yang tahu..
Menaklukan dan membungkam musuh yang ummi.
32.
MENGENAI SIFAT DAN MAKNA TASAWUF
Saya mendengar bahwa Abul-Hasan Muhammad ibn Ahmad al-Farisi berkata : “ Unsur-unsur Tasawuf itu ada sepuluh jumlahnya. Yang pertama adalam pemecilan pengesaan; yang kedua adalah pengertian audisi (sama’); yang ketiga adalah persahabatan yang baik; yang keempat adalah kelebih sukaan kepada yang lebih disukai; yang ke lima adalah pemasrahan pilihan pribadi; yang keenam adalah pergerakan ekstase; yang ketujuh adalah pengungkapan pikiran; yang kedelapan adalah perjalanan yang banyak; yang kesembilan adalah pemasrahan rizki; yang kesepuluh adalah penolakan untuk menimbun (harta).
Pemecilan pengesaan berarti bahwa pemikiran mengenai penyembahan kepada banyak tuhan atau ketidakpercayaan akan adanya Tuhan tidak akan dapat merusak kesucian akan kepercayaan kepada Tuhan Yang Esa. Audisi mengandung arti bahwa orang harus mendengarkan dalam tuntunan pengalaman gaib, bukan hanya melalui proses belajar. Kelebihsukaan kepada yang lebih disukai berarti bahwa orang itu harus lebih menyukai orang lain lebih menyukai, sehingga dia akan mendapatkan kebaikan dari kelebihsukaan itu. Pergerakan ekstase terwujud kalau kesadaran tidak hampa dari sesuatu yang menimbulkan ekstase dan tidak dipenuhi pemikiran-pemikiran yang mencegah orang mendengarkan anjuran-anjuran Tuhan. Pengungkapan pikiran berarti bahwa orang itu harus menguji setiap pemikiran yang masuk ke dalam kesadarannya, dan mengikuti apa yang berasal dari Tuhan, tapi meninggalkan apa yang tidak berasal dari Tuhan. Perjalanan yang banyak, ditujukan untuk melihat peringatan-peringatan yang dapat dicari di langit dan di bumi; sebab Tuhan berfirman : “Tidakkah mereka menjelajahi bumi ini untuk menyelidiki bagaimana nasib bangsa-bangsa yang sebelum mereka? Dan lagi. “Katakanlah: “Mengembaralah di muka bumi ini, lalu perhatikan bagaimana Allah memulia penciptaan segala-galanya.” Dan kata-kata : “Mengembaralah di muka bumi ini”, dijelaskan sebagai mengandung arti, dengan tuntunan ma’rifat, bukannya dengan kegelapan kejahilan, demi memotong ikatan (kebenaran) dan melatih jiwa. Pemasrahan rizki diartikan sebagai tuntutan agar jiwa bertawakal kepada Tuhan. Penolakan untuk menimbun hanya diartikan sehubungan dengan kondisi pengalaman gaib, dan bukan sehubungan dengan peraturan-peraturan ilmu kalam. Karena itu, ketika salah seorang dari mereka yang duduk dalam mahkamah itu wafat dengan meninggalkan satu dinar, nabi berkata mengenai orang itu : “Sebuah cap pembakaran (di neraka).
33.
MENGENAI PENGUNGKAPAN PIKIRAN
Salah seorang dari Syekh itu berkata : Pikiran itu ada empat : Dari Tuhan; dari malaikat; dari diri sendiri dan dari setan. Pikiran yang berasal dari Tuhan merupakan suatu teguran yang baik; yang dari Malaikat, suatu dorongan agar patuh; yang dari diri sendiri, pemenuhan nafsu; yang dari setan, ajakan kepada keingkaran. Dengan tuntunan pengesaan, pikiran dari Tuhan itu diterima, dam dengan tuntunan ma’rifat, pikiran dari malaikat itu diterima; dengan tuntunan iman, (pikiran mengenai) diri sendiri itu disangkal, dan dengan tuntunan Islam, (pikiran mengenai) setan itu di tolak.
34.
MENGENAI TASAWUF DAN KETENTERAMAN BERSAMA TUHAN
Al-Junaid berkata : “Tasawuf merupakan pelestarian saat-saat, yaitu bahwa seseorang tidak mengindahkan apa yang ada di luar batas-batasnya. Tidak mengakui segala sesuatu kecuali Tuhan, dan hanya berurusan dengan saatnya yang tepat.” Ibn Atha berkata : “Tasawuf berarti merasa tenteram bersama Tuhan.” Abu Ya’qub al-Susi berkata : “Sufi adalah orang yang tidak pernah merasa tidan tenteram kalau ada sesuatu yang di ambil dari padanya, dan tidak pernah repot-repot mencari (apa yang tidak dimilikinya).” Al-Junaid ditanya : “Apakah Tassawuf itu?” Jawabnya : “Itu adalah menggantungkan kesadaran pda Tuhan; dan hal ini tidak dapat dicapai kecuali kalau jiwa menjauh dari sebab-sebab (asbab) sekunder, lewat kekuatan ruh, dan tinggal bersama Tuhan. Al-Syibli ditanya : “Mengapa orang-orang itu dipanggil Sufi? Dia menjawab : “Karena mereka telah di cap dengan kamaujudan citra dan penegasan gelar (Tuhan). Jika mereka telah dicap dengan ketiadaan citra itu, maka hanya Dia saja yang tetap ada, yang mengadakan citra dan menegaskan gelar itu, dan menuangkan citra-citra itu kepada mereka, Tapi tidak membenarkan bahwa semua orang yang benar-benar tahu mesti memiliki citra atau gelr.” Abu Yazid berkata : “Paar Sufi adalah anak-anak yag duduk di pangkuan Tuhan.” Abu Abdillah al-Nijabi berkata : “Tasawuf adalah seperti penyakit birsam, (Tumor di perut), pada tahap pertama si sakit meracau; tapi, ketika penyakit itu menguasainya, dia menjadi bisu.” Yang dimaksudkannya adalah bahwa Sufi pada mulanya melukiskan keadaannya dan berbicara seperti yang diperintahkan oleh keadaannya itu; tapi setelah wahyu diberikan kepadanya, dia menjadi bingung dan menahan lidahnya. Saya mendengar faris berkata : “Selama gagasan-gagasan muncul dalam pemikiran seseorang , menurut suara jiwa, dia pun menemukan dalam hatinya nilai yang lebih tinggi daripada keadaan yang terdahulu, maka jadilah dia membuka rahasia; tapi mengenai pencapaian, itu menyelubungi cara-cara pemenuhan kepuasan, sehingga pada akhirnya dia bisu saja, tak berselera.” Ketika Al-Nuri ditanya mengenai Tasawuf, dia menjawab : “Itu merupakan pengungkapan rahasia keadaan, dan suatu pencapaian ketinggain (maqam).” Ketika diminta untuk melukiskan sifat-sifat mereka (yaitu para Sufi), dia berkata : “Mereka membawa kegembiraan ke dalam (hati) orang-orang lain, dan menjauh dari keinginan untuk membahayakan mereka. Tuhan berfirman : “Bersikaplah pemaaf, anjurkanlah berbuat amal kebajikan dan berpalinglah dari orang jahil.” Dengan pengungkapan rahasia keadaan” yang dimaksudkannya addalah bahwa oang Sufi, jka dia mengungkapkan mengenai dirinya sendiri, adalah dalam hubungannya dengan keadaan kejiwaannya sendiri, dan tidak menyinggung keadaan kejiwaan orang lain, secara teoritis; dan yang dimaksud engan “pencapaian ketinggian (maqam),” dia memberitahukan bahwa orang semacam itu terbawa oleh keadaannya sendiri lewat keadaannya sendiri, menjauh dari keadaan orang-orang lain. Puisi dari Al-Nuri berikut ini, dengan tepat sekali melukiskan apa yang diucapkannya :
“Jangan bicarakan ini” Engkau berkata,
Lalu ke dalam rahasia tanpa kata, Engkau membawa Jiwa kembaraku;
Bisakah ucapan memerikan yang tak terucap?
Tidak semua orang yang berseru,
“Nah, begiliha kau!” Engkau anggap demikian;
Kalau perbuatan-perbuatan telah menampakkan
Bahwa begitulah dia, maka Engkau akui milikmu.
Tujuan kami adalah untuk melukiskan beberapa di antara keadaan-keadaan itu dalam bahasa orang-orang Sufi sendiri, tapi tidak dengan cara berpanjang-panjang, sebab kami tidak menyukai pembicaraan yang panjang. Kami akan menuturkan wacana-wacana para Syekh, hanya yang cukup mudah dimengerti saja, untuk menghindari teka-teki yang gelap dan isyarat-isyarat terselubung. Kami akan memulai dengan Tobat.
35.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI TOBAT
Al-Junaid ditanya : “Apakah tobat itu?” Dia menjawab : “Tobat adalah pelupaan dosa seseorang.” Sahl, ketika diajukan pertanayan yang sama, menjawab : “Tobat berarti tidak melupakan dosa seseorang.” Perkataan Al-Junaid mengandung arti bahwa kemanisan tindakan semacam itu sepenuhnya mejauh dari hati, sehingga di dalam kesadaran tidak ada lagi jejaknya, sampai orang itu merasa seakan-akan dia tidak pernah mengetahuinya. Ruwain berkata : “Arti tobat adalah bahwa engkau harus bertobat atas tobat itu.” Arti ini mirip dengan yang dikatakan oleh Rabi,ah : “Aku memohon ampun kepada Tuhan karena ketidaktulusan dalam berbicara; Aku mohon ampun kepada Tuhan.” Al-Husain am Maghazili, ketika ditanya mengenai tobat, berkata : “Apakah yang engkau tanyakan mengenai tobat peralihan, atau tobat tanggapan? Yang lain berkata : “Apakah arti tobat peralihan itu? Ruwain menjawab : “Bahwa engkau harus takut kepada Tuhan karena kekuasaan-Nya atas dirimu.” Yang lain bertanya : “Dan apakah tobat tanggapan itu? Ruwain menyahut : “Bahwa engkau harus malu kepada Tuhan karena Dia ada di dekatmu.” Dzu’l Nun berkata : “Tobat orang awam adalah tobat dari dosanya; Tobat orang terpilih adalah tobat dari kekhilafannya; Tobat para Nabi adalah tobat dari kesadaran mereka akan ketidaksempurnaan mencapai apa yang telah dicapai orang lain.” Al-Nuri bekata : “tobat berarti bahwa engkau harus berpaling dari segala sesuatu kecuali Tuhan.” Ibrahim al-Daqqak berkata : “Tobat berarti bahwa engkau harus menghadap Tuhan tanpa berbalik lagi, bahkan jika sebelumnya engkau telah berbalik dari Tuhan tanpa menghadap kembali.
36.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI ZUHUD
Al-Junaid berkata : “Zuhud adalah keadaan pada saat tangan kosong dari pemilikan, dan hati dari ambisi.” Ali ibn Abi Thalib, ketika ditanya mengenai sifat zuhud, menjawab : “Itu berarti bahwa orang tidak peduli siapa yang memanfaatkan (benda-benda) dunia ini, entah dia seorang beriman atau kafir.” Yahya berkata : “zuhud berarti meninggalkan apa yang bisa ditinggalkan.” Ibn Maruq berkata : “Tak ada satu sebab sekuder pun, kecuali Tuhan, yang bisa menguasai orang yang zuhud.” Al-Syibli, ketika ditanya mengenai zuhud, berkata : “Malang bagimmu! Berapa nilai yang ada di dalam sesuatu yang tidak lebih daripada selembar sayap seekor nyamuk, sehingga zuhud harus dilaksanakan berkaan dengannya?,” Abu Bakr al-Wasithi berkata : “Mengapa engkau begitu tak sabar untuk meninggalkan suatu tempat yang hina. Atau seberapa lamakah engkau akan tetap bersemangat untuk berpaling dari sesuatu yang ditimbang oleh Tuhansebagai tidak lebih berat daripada selembar sayap seekor nyamuk.?” Al-Syibli, ketika ditanya lagi mengenai zuhud, berkata : “Dalam kenyataannya, zuhud itu tak ada; Jika seseorang berzuhud dari sesuatu yang tidak menjadi miliknya, maka itu bukan zuhud; dan jika seseorang berzuhud dari sesuatu yang menjadi miliknya, bagaimana bisa dikatan bahwa itu zuhud, sedangkan sesuatu itu masih ada padanya dan dia masih memilikinya? Zuhud berarti menahan nafsu, bermurah hati dan berbuat kebaikan. Hal itu seakan-akan mengisyaratkan bahwa dia menafsirkan zuhud sebagai tindakan meninggalkan sesuatu yang tidak menjadi miliknya; dan jika sesuatu itu tidak menjadi milik seseorang, maka tidak dapat dikatakan bahwa orang itu meninggalkannya, sebab sesuatu itu memang telah tertinggalkan; sedangkan jika sesuatu itu menjadi milik seseorang, maka tidak mungkin orang itu meninggalkannya.
37.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KESABARAN
Sahl berkata : “Kesabaran adalah pengharapan akan lipuran dari Tuhan; kesabaran merupakan kebaktian yang paling mulia dan paling tinggi.” Yang lain berkata : “Kesabaran berarti bersikap sabar terhadap kesabaran.” Hal ini menandakan bahwa orang tidak boleh mencari pelipur di situ. Yang lain menggubah syair di bawah ini :
Dengan kesabaran, dia bersabar menanggung,
Hingga kesabaran, berseru “Kan memberikan pertolongannya.”
Dan, karena terdidik dalam kesabaran..
“Wahai kesabaran, bersabarlah!” dia menyahut...
Sahl berkata : “Firman Tuhan yang berbunyi : “Minta tolonglah kamu dengan kesabaran dan shalat (Qs.2:42), mengandung arti : “Mintalah pertolongan Tuhan, dan bersabarlah dengan perintah dan takdir Tuhan>” Sahl juga berkata : “Kesabaran itu rahmat, dan dengan itu segala sesuatu diberi rahmat.” Abu Amar al-Damisyqi menjalskan firman Tuhan : “Bencana (penyakit) telah menimpaku,” Artinya : Bencana telah menimpaku, dan mengajarkan kesabaran kepadaku, sebab Engkaulah yang paling Pengasih, di antara yang pengasih.” Yang lain berkata : “Dia (yaitu Ayyub) bersikap tidak sabar hanya demi Tuhannya, bukan untk dirinya sendiri, karena, penyakit itu telah begitu menguasai badannya, sehingga dia takut kalau-kalau akalnya tidak bekerja lagi.” Mereka mengutip puisi berikut, yang digubah Abul Qasim Summun, daam hubungannya dengan masalah ini :
Ah, telah ku minum dari kantung waktu,
Dan telah kuteguk segala ceria dan kepedihannya,
Yah, telah ku tempelkan mulut kantung itu pada bibirku,
Dan... ku hisap habis setiap tetesnya...
Dan takdir telah menungkan ke dalam pialanya...
Kesedihan yang terminum, dari lautan kesabaran ..
Yang telah kuisikan penuh-penuh..
Dan ku sodorkan kembali kepada takdir itu..
Dengan kesabaran aku diladami, dan menggelinding..
Waktu bergelantungan, aku pun berseru :
“Bersabarlah engkau Wahai Jiwaku!
Atau Engkau kan binasa karena kesedihan.”
Begitu besar penderitaanku, sehingga...
Gunung-gunung pun bergetar pada ketinggiannya,
Akan lenyap, bagai bintang yang jatuh...
Akhirnya hilang dari pandangan...........
38.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEFAKIRAN
Abu Muhammad al-Jurairi berkata : “Kefakiran berarti bahwa orang tidak boleh mencari yang tidak maujud, sampai rang itu gagal menemukan hal yang maujud.” Maksudnya adalah, bahwa orang tidak boleh mencari mata pencaharian, kecuali jika orang itu khawatir tidak mampu melaksanakan tugas keagamaan, karenanya Ibn al-Jalla berkata : “Kefakiran adalah, bahwa tidak ada sesuatu, itu tidak boleh menjadi milikmu.” Perkataan itu mengandung arti sama dengan firman Tuhan : “Sedang mereka lebih mengutamakan kepentingan orang lain, ketimbang kepentingan mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan (pua). Abu Muhammad Ruwai, ibn Muhammad, berkata : “Kefakiran itu berati ketidak maujudan semua maujud, dan pemasrahan semua benda yang tidak ada lagi.” Al-Kattani berkata : “Kalau seseorang benar-benar membutuhkan Tuhan, berati dia benar-benar kaya karena dia bersama Tuhan; tak satu pun dari dua keadaan itu sempurna oleh ketiadaan salah satunya.” Al-Nuri berkta : “Fakir adalah orang yang harus bungkam ketika dia tidak memiliki sesuatu, dan bermurah hati serta tidak hanya memikirkan dirinya sendiri kalua dia memiliki sesuatu.” Salah seorang dari tokoh-tokoh besar Sufi berkata : “ Orang yang fakir dilarang berleha-leha, dan juga dilarang meminta. Maka Nabi berkata : “ “Jika dia telah memohon kepada Tuhan, maka Tuha pasti telah memenuhinya.” Hal ini menandakan bahwa dia tidak akan memohon sebegitu rupa>” Al-Darraj berkata : “Aku mengamati lengan baju tuanku, mencari-cari kotak celak, dan di dlamnya kutemukan sepotong perak. Aku terperanjat dan waktu beliau datang aku mendekatinya dan berkata : “Lihat, saya menemukan sepotong (perak) di lengan baju tuan!’ Bilia menyahut : “Aku telah melihatnya. Kembalikanlah.” Lalu beliau berkata : “Ambillah, dan belilah sesuatu dengannya.” Aku bertanya : “ Apakah gunanya potongan ini, dalam padangan hukum-Nya yang tuan puja? Beliau menjawab : “Tuhan tidak memberikan kepdaku yang kuning dan yang putih di dunia ini, kecuali ini; dan aku bermaksud untuk membuat pernyataan bahwa benda itu harus dibungkus dalam alas tilamku, sehingga aku bisa mengembalikannya kepada Tuhan.”
Saya mendengar Abul-Qasim al baghdadi menuturkan anekdor berikut ini, yang didengarnya dari Al-Dauri : “Pada malam perayaan, kami ada bersama Abul-Husain al Nuri, di Masjid Syunizi. Seorang laki-laki mendatangi kami da berkata kepada al-Nuri, “Tuan, besok akan ada perayaan. Apa yang akan tuan kenakan?Al Nuri mulai menyitir puisi ini :
“Esok akan ada perayaan!, seru mereka,
“Pakaian apa yang tuan kenakan?’ Dan ku menyahut :
“Pakaian pemberian-Nya, yang telah menuangkan
penuh-penuh unemelaratan..
Dan kesabran adalah bajuku, dan mereka menutup
Sebuah hati yang pada setiap pesta menampak Pecintanya..
Adakah pakaian yang lebih indah untuk menjelang Sang Karib..
Atau mengunjungi Dia, kecuali yang telah dipinjamkan oleh-Nya?
Kala engkau, Pengahrapanku, tiada dekat..
Setiap saat adalah kedukaan dan ketakuran;
Tapi sementara aku bida memandang dan mendengar engkau..
Seluruh hartaku, dan hidup itulah perayaan!!!”
Salah seorang tokoh Sufi ditanya : “Apa yang telah mencegah orang kaya itu dari menyerahkan kelebihan harta mereka kepaa kelompok ini?” Dia menjawab : “Tiga hal. Yang pertama adalah, bahwa yang mereka miliki itu tidak baik; nah, orang-orang Sufi itu adalah pilihan Tuhan; dan apa yng telah dipilih untuk hamba-hamba Tuhan adalah yang diterima (oleh Tuhan), sedang Tuhan hanya menerima yang baik saja. Yang ke dua adalah bahwa orang-orang Sufi itu pantas menerima (karunia Tuhan), dan karenanengapa engkau tidak meminta kepada orang-orang agar mereka memberimu makanan? Dia menyahut : “Aku takut meminta kepada mereka, kalau-kalau mereka menolak diriku dan menjadi binasa karenanya. Aku telah mendengar nabi berkata : “Jika permintaan itu tulus, yang menolak dirinya akan binasa.”
39.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KERENDAHAN HATI (TAWADHU)
Al-Junaid ditanya mengenai kerendahan hati dan dia berkata : “Itu adalah merendahkan sayap dan mengerutkan pinggang.” Ruwain berkata : “Kerendahan hati adalah hati yang merendahkan diri di hadapan Tuhan, yang megetahui yang gaib.” Sahl berkata : Penyempurnaan zikir kepada Tuhan adalah perenungan, dan penyempurnaan kerendahan hati dalam perasaan senang bersama Tuhan.” Yang lain berkata : “Kerendahan hati adalah menerima kebenaran dari Kebenaran dan demi Kebenaran. Yang lain berkata : Kerendahan hati adalah berbesar hati pada masa-masa sulit, teguh dalam kepasrahan, dan menanggung beban dari orang-orang beragama.
40.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KETAKUTAN (KHAUF)
Abu Amr al-Damisyqi berkata : “Orang yang takut itu adalah yang meresa lebih takut kepada dirinya sendiri daripada kepada musuh.”Ahmad ibn al-Sayyid Hamdawaih berkata: “Orang yang takut itu dibuat takut oleh hal-hal yang menyebabkan (yang lain) merasa takut.” Abu Abdillah ibn al-Jalla berkata : “Orang yang takut adalah yang ditetntramkan dari hal-hal yang menyebabkan rasa takut.” Ibn Khubaiq berkata : “Orang yang takut itu diliputi keadaan-keadaan tiap-tiap sat mistis. Pada suatu waktu dia dibaut takut oelh hal-hal yang menyebabkan rasa takut, dn pada waktu yang lain hatinya ditenteramkan.” Orang yang takut akan hal-hal yang menyebabkan rasa takut adalah orang yang dikuasai oleh rasa takut sampai sedemikian rupa, sehingga dia sepenuhnya menjadi rasa takut, dan segala sesuatu menjadi takut kepadanya. Maka dikatakan bahwa, “Siapa pun yang merasa takut kepda Tuhan, akan ditakuti oleh segala sesuatu.” Orang yang ditenteramkan hatinya dari hal-hal yang membuat rasa takut itu sifatnya adalah sedemikian rupa, sehingga ketika hal-hal itu berupaya mengganggu zikirnya, maka mereka tidak bisa mempengaruhinya, sebab rasa takutnya kepada Tuhan membuatnya tidak menyadari adanya segala sesuatu, maka segala sesuatu itu pun tidak akan menyadari adanya dia. Puisi berikut akan memberi penjelasan akan hal ini :
Dia yang dibakar api, adalha dia yang melihat api;
Tapi dia yang menjadi api --- bagaimana bisa terbakar..?
Ruwain berkata : “Orang yang takut adalah dia yang tidak merasa takut kepada apa pun selain Tuhan.” Yang dimaksudkannya adalah bahwa dia takut kepada Tuhan, bukan demi dirinya sendiri, melainkan akrena rasa takzimnya kepada Tuhan. Rasa takut hanya demi dirinya sendiri adalah rasa takut kepada rasa itu sendiri. Sahl berkata : “Rasa takut (Khauf) itu laki-laki, pengharapan (raja’) itu perempuan.” Yang dimaksudkannya adalah, bahwa dari yang dua itu lahirlah hakikat iman. Dia juga berkata : “Jika seseorang merasa takut kepada yang selain Tuhan, sedang dia meletakkan harapannya kepada Tuhan, maka Tuhan memberinya rasa aman dari ketakutan itu dan dia pun diselubungi.”
41.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KETAKWAAN
Sahl berkata : “Ketakwaan itu berarti merenungkan keadaan-keadaan dalam keadaan uzlah.” Yang dimaksudkannya adalah bahwa orang tidak boleh takut kepada sesuatu selain Tuhan, berlindung kepada Tuhan dan mendapatkan kesenangan dalam diri-Nya. Firman Tuhan : “Dan bertakwalah kamu kepada Allah sepenuh kemampuanmu, mengandung arti, takutlah kepda Tuhan dengan segenap kekatanmu. Sahl berkata : “Sepenuh kemampuanmu memperlihatkan kebutuhan dan keinginan akan Dia.” Muhammad ibn Sinjan berkata : “Ketakwaan berarti meninggalkan segala seuatu kecuali Tuhan.” Sahl, memberi penjelasan tentang firman Tuhan, “Namun yang akan sampai kepada-Nya hanyalah ketakutan hatimu jua.” Sebagai berikut : Dasar ketakwaan adalah menghindar dari yang dilarang dan menjauh dari jiwa (Nafsu) semakin banyak mereka melakukan tanpa merasakan kesenangan dalam jiwa mereka semakin banyak kemantapan yang mereka capai.” Puisi berikut disebut-sebut sebagai gubahan oleh Al-Nuri :
Wahai Tuhan, aku takut kepada-Mu; bukan karena
Aku takut kepada kemurkaan yang akan tiba;
Karena betapa
Hal itu bisa menakutkan, sedangkan tiada pernah ada karib...
Yang lebih baik daripada Engkau?
Engkau tahu benar rencana hati,
Tujuan rahasia pikiran:
Dan aku memuja Engkau, Cahay Ilahi,
Agar tak ada cahaya lain membutakanku.
42.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEIKHLASAN
Al-Junaid berkata : “Keikhlasan adalah sesuatu yang dengan jalan itu Tuhan didambakan, apa pun tidankannya.” Ruwaim berkata : “Keikhlasan adalah mengangkat rasa hormat seseorang dari perbuatannya.” Saya mendengar Faris menuturkan, bahwa sejumlah orang melarat datang dari Khurasan menemui Abu Bakr al-Qahtabi, yang mengatakan kepada mereka : “Apa yang diperintahkan oleh Syekh Kalian? --- yaitu Abu Usman. Mereka menjawab : “Dia memerintah kami agar selalu patuh, tapi selalu melihat kesalahan-kesalahan kami yang ada di situ.” Abu Bakr menyahut : “Mestinya dia malu! Tidakkah dia memerintahkan kamu semua gar tidak menyadari akan kepatuhanmu, di dalam pandangan Dia yang merupakan Pencipta kepatuhanmu?” Seseorang berkata kepada Abul-Abbas ibn Atha : “Apakah Keikhlasan itu?” Dia menjawab : “Sesuatu yang bebas dari kesalahan.” Abu Ya’qub al-Shufi berkata : “Tindakan yang benar-benar ikhlas adalah yang tidak diketahui oleh malaikat yang akan mencatatnya, maupun oleh setan yang akan merusaknya, atau oleh jiwa yang akan membanggakannya.” Yang dimaksudkannya adalah bahwa seseorng itu harus memisahkan dirinya sendiri sepenuhnya demi Tuhannya, dan berpaling dari tindakan itu kepada-Nya.
43.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI SYUKUR
Al-Harits al-Muhasibi berkata : “Syukur adalah tambahan yang diberikan oleh Tuhan kepada orang yang bersyukur.” Yang dimaksudkannya adalah bahwa kelau seseorang itu bersyukur, maka Tuhan akan menambahkan rakhmat-Nya, dan dengan demikian ddia terlimpahi rahmat. Abu Sa-id ak-Kharraz berkata : “Syukur itu artinya mengenal Yang memberim dan mengakui sifat ketuhanan-Nya.” Abu Ali al-Rudzabari berkata :
Andai seluruh anggota tubuhku berlidah..
“Tuk memuja Engkau yang begitu pemurah..
Segenap karunia baru akan menyimpan lagu pujaan...
Dan seluruh puji bagi-Mu tak ‘kan ternyaynyikan.
Seorang tokoh Sufi berkata : “Syukur berarti tidak menyadari rasa syukur akibat kesadaran akan hadirnya Yang Memberi.” Yahya ibn Mu’adz berkata : “Setiap pemberian Tuhan harus disyukuri, dan harus begitu selamanya.” Puisi yang berikut ini dianggap berasal dari Abdul-Husain al-Nuri :
Tuhan, aku berterima kasih pada-Mu, bukan karena aku..
Dapat membayar kembali kasih-Mu dengan cara begitu,
Tapi agar aku dikatakan,
“Dia menerima pemberian Tuhan dengan penuh syukur.
Setiap saat indah yang kulewatkan bersama-Mu..
Kini telah menjadi kenangan bagiku..
Karena inilah harta terakhir dari syukur...
Kegembiraan yang dikenang...
Salah seorang tokoh besar Sufi selalu mengatakan dalam doa-doanya : “Wahai Tuhan, Engkau tahu, aku tiada mampu berterimakasih kepada-Mu, berterimaksihlah pada Diri Mu Sendiri untukku.”
44.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI TAWAKAL
Sirri al-Saqati, berkata : “Tawakal adalah pelepasan dari kekuasaan dan kekuatan.” Ibn Masruq berkata : “Tawakal adalah kepasrahan kepda ketetapan takdir.” Sahl berkata : “Kepercayaan berarti merasa tenang di hadapan Tuhan.” Abu Abdillah al-Qyrasyi berkata : “Kepercayaan berarti meninggalkan setiap tempat berlindung kecuali Tuhan.” Abu Sa’id al-Kharaz berkata : “Tuhan memberikan kecukupan bagi orang-orang di kerajaan-Nya, dan mereka dibebaskan dari keadaan-keadaan dalam mempercayai-Nya agar Tuhan mencukupi mereka, sebab, betapa tak layaknya jika kaum yang suci menetapkan persyaratan.” Dia menganggap bahwa jika seseorang bertawakal kepada Tuhan hanya demi mendapatkan kecukupan, berarti dia menyaratkan agar Tuhan membuatnya berkecukupan. A;-Syibli berkata : “Tawal adalah dusta yang pantas.” Sahl berkata : “Semua keadaan punya muka dan punggung, kecuali tawakal’ tawakal adalah muka tanpa punggung.” Dia menunjuk kepada tawakal akan perhatian (kepada Tuhan), bukan tawakal demi mendapat kecukupan dari Tuhan; yaitu tawakal yang tidak mencari balas jasa dari Tuhan. Seorang tokoh Sufi berkata : “Tawakal adalah rahasia yang hanya diketahui oleh hamba Tuhan.” Perkataan ini memliki arti yang sama dengan perkataan lain yang dianggap berasal dari salah seorang tokoh Sufi : “Tawakal yang sesungguhnya adalah meninggalkan tawakal itu, dan itu berarti bahwa Tuhan harus sampai kepada mereka sebagai mana Dia sampai kepada mereka sebelum mereka diwujudkan.” Seorang tokoh Sufi berkata kepada Ibrahim al-Khawwas : “Ke mana Tasawuf membawamu?” Dia amenjawab : “Kepada tawakal.” Yang lain berkata : “Mestinya engkau malu! Yang dimaksudkannya adalah bahwa meletakkan tawakal pada Tuhan hanya demi dirinya sendiri adalah semata-mata merupakan suatu jalan melindungi diri dari beberapa ketidak-enakan yang mungkin menimpa.
45.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEPUASAN (RIDHA)
Al-Junaid berkata : “Kepuasana adalah melepaskan kehendak bebas.” Al-Harits al-Muhasibi berkata : “Kepuasan adalah tenteramnya hati di bawah ketetapan takdir.” Dzu’l-Nun berkata : “Kepuasan adalah kesenangan hati di jalan takdir.” Ruwaim berkata : “Kepuasan adalah mengharapkan ketetapan (Tuhan) dengan senang hati.” Ibn Atha berkata : “Kepuasan adah penghargaan hati untuk apa yang telah dipilih Tuhan bagi hamba-Nya sejak mula-mula sekali, sebab apa yang telah dipilih oleh-Nya bagi dia adalah yang terbaik.” Sufyan berkata kepada Rabi’ah : “Wahai Tuhan, puaslah dengan diriku.” Wanita itu berkata kepadanya : “Apakah engkau tidak malu meminta kepuasan dari Dia yang kepadanya engkau sendiri merasa tidak puas?” Sahl berkata : “Kalau kepuasan itu disatukan dengan keridhaan (Tuhan), barulah kepuasan itu kekal; dan ‘Untuk mereka kebahagiaan dan tempat kembali terbaik di akhirat.” Dia menunjuk kepada firman Tuhan dalam kata-kata itu : “Allah Ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.” Perkataan ini berarti bahwa kepuasan di dunia dalam menerima ketentuan (Yuhan) akam mewarisi keraidhaan (Tuhan) di dunia mendatang bersama apa yang telah dicatat oleh pena-pena itu. Tuhan berfirman : “Demikianlah, telah berlaku keputusan Allah terhadap para hamba-Nya dengan adil. Maka berkumandanglah ucapan : “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam!.” Ini merupakan pernyataan orang-orang bertuhan ssatu dari kedua pihak, yaitu para penghuni surga dan penghuni neraka; sedang bagi orang-orang kafir, mereka tidak dijinkan menyuarakan “pujian” sebab, mereka diselubungi. Puisi al-Nuri berikut ini sungguh sangat mengena.
Ah, kepuasan itu adalah minuman yang pahit
Dierguk oleh kesenangan, kala hidup menjadi huru-hara gelap.
Diambil untuk kegembiraan; tapi dia
Mengungkap hal-hal yang paling suci,
Bahkan di hadirat Tuhan. Selalu binatang yang mandul itu.
Yang paling serakah di padang gembalaan.
46.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEPASTIAN
Al-Junaid berkata : Kepastian adalah hilangnya keraguan,” Al-Nuri berkata : “Kepastian adalah perenungan.” Ibn Atha berkata : “Kepastian adalah sesuatu yang tidak tersentuh oleh kebalikannya sepanjang waktu.” Dzu’l Nun berkata : “ Segala sesuatu yang dilihat mata dihubungkan dengan pengetahuan, dan yang diketahui oleh hati dihubungkan dengan pengetahuan, dan yang diketahui oleh hati dihubungkan dengan kepastian.” Yang lain berkata : “Kepastian adalah mata hati.” Abdullah berkata : “Kepastian adalah penyatuan selang waktu, dan pemutusan apa-apa yang ada di antara jarak waktu.” Kata-kata ini mengandung arti yang sama dengan kata-kata Haritsah : “Dan seolah-olah saya melihat Singgasana Tuhan-ku tampil; daya lihatnya disatukan dengan yang tak terlihat, dan selubung yang ada di antara dia dan yang tak terlihat telah hilang. Sahl berkata : “Kepastian adalah wahyu. “Maka yang lain berkata : “Jika selubung itu telah diangkat, tidak akan aku memiliki kepastian lebih bessar dari pada ini.”
47.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI ZIKIR
Zikir yang sesungguhnya adalah melupakan semuanya kecuali Yang Esa. Maka Tuhan berfirman : Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika engkau lupa.” Yaitu, jika engkau telah melupakan apa yang bukan Tuhan, maka berarti engkau telah mengingat Tuhan. Nabi berkata : “Orang yang sendiri itu lebih utama.” Mereka bertanya : “Siapakah orang yang sendiri itu, wahai Rasul Allah?” Dia menjawab : “Laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat.” Yang sendiri” adalah dia yang tidak bersama sia-siapa. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Ingatan itu membuang alpa; dan kalau kealpaan itu telah hilang, maka engkau menajdi orang yang ingat, bahkan jika engkau diam saja.” Puisi yang berikut ini dianggap merupakan gubahan al-Junaid :
Aku mengingat Engkau;
Tak akan kenanganku
Walau dalam sekejap mata pun
Lepas dari engkau
Aku mengingat engkau;
Tapi tak ada yang lebih mudah..
Dibanding kata yang gampang terucap..
Terlupa segera setelah terdengar..
Saya mendengar Abul Qasim al-Baghdadi menuturkan, bahwa dia bertanya kepada salah seorang tokoh besar Sufi : “Apakah yang membuat jiwa para “Ahli ma’rifat” itu sakit? Mereka membenci zikir, dan senang akan perenungan, tapi, sebenarnya, perenungan itu tidak mendatangkan penyelesaian, sedangkan zikir itu tidak membawa mereka jauh dari penderitaan. Kebanggan mereka ada dalam kehormatan yang tersembunyi di balik perenungan, dan yang membuat mereka lupa akan penderitaan dalam susah payah mereka.” Dengan mengatakan, “Mereka menganggap enteng buah dari zikir.” Dia mengisyaratkan bahwa buah-buah zikir ini merupakan kesenangan jiwa (Nafsu), dan sudah tentu para ahli ma’rifat itu telah berpaling dari jiwa dan kesenangan-kesenangannya. Tapi, perenungan mereka adalah tentang keagungan, kebesaran, pilihan dan kebaikan Tuhan; mereka merenungkan utang mereka pada Tuhan, dan karena itu mereka menghormati-Nya, sementara mereka berpaling dari pemikiran mengenai kebaikan apa saja yang mungkin mereka miliki di hadapan Tuhan, karena menghargai Dia. Sebab Nabi berkata, atas persetujuan Tuhan, “Jika seseorang selalu mengingat Ku sehingga ia lupa berdoa kepada-Ku, Aku anugerahkan baginya pahala yang lebih mulia daripada pahala yang Ku berikan bagi mereka yang berdoa kepada-Ku.” Firman ini bisa ditafsirkan begini : Jika seseorang begitu terpusat perhatiannya dalam merenungkan keagungan-Ku sehingga dia lupa mengingat Aku dengan lidahnya .... Sebab ingatan dengan lidah itu berarti berdoa; lebih-lebih, perenungan mengenai keagungan-Nya itu membingungkan dia, dan membuat dia tidak mengingat Tuhan lagi. Inilah arti kata-kata Nabi : “Aku tidak bisa membllang pujian yang menjadi milik-Mu.” Puisi Al-Nuri berikut dikutip dalam hubungannya dengan hal ini :
Begitu menggebu cintaku, aku sungguh ingin,
Untuk menyimpan kenangan-Nya, selamanya dalam hatiku;
Tapi wahai, gairah yang membakarku..
Menghanguskan pikiran ku, dan membutuhkan ingatanku!.
Dan sungguh ajaib, gairah
Itu sendiri tersapu, menjauhd an mendekat
Kekasih berdiri, dan seluruh rasa
Kenanganku tersapu dalam harapan dan ketakutan..
Al-Junaid berkata : “Jika seseorang mengatakan “Tuhan” sedangkan dia belum pernah merenung, maka dia seorang pendusta.” Kebenaran pernyataan ini disaksikan oleh firman Tuhan : “Mereka mengatakan : “Kami mengakui, bahwa kamu benar-benar utysan Allah.” ..... Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” Tuha menuduh mereka pendusta, meskipun pernyataan mereka itu benar adanya, karena pernyatan itu tidak didasarkan atas perenungan. Yang lain berkata : “Hati adalah untuk merenung, lidah adalah untuk mengutarakan perenungan itu; Jika seseorng mengutarakan sesuatu tanpa merenungkannya, maka dia adalah saksi yang tidak sah.” Salah seorang tokoh Sufi berkata :
Engkaulah pencipta kesusahanku, Tuhan, bukan kenanganku,
Sebab Engkau akan menghapus segala kenanganku,
Kenangan adalah selubung, dan bersekutu dengan pikiran..
Untuk membutakan hatiku, dan menyembunyikan Engkau dari
Pandangan-ku
Inilah penafsirannya : Zikir adalah alat bagi oang yang mengingt; oleh karena itu, jika saya tak merenung pada saat ssaya mengingat, maka klalaian itu adalah pada diri saya, sebab , sifat-sifat orang itu sendirilah yang mencegahnya dari merenungkan Tuhannya. Sarri as-Saqati berkata : “Aku menemani seorang berkulit hitam (negro) di padang pasir dan aku mengamati bahwa setiap kali dia mengingat Tuhannya, warna kulitnya berubah putih. Aku berkata : “Saudaraku, sungguh, jika engkau mengingat Tuhan sebagaimana Dia mestinya diingat, kulitmu sendiri pun akan berubah, dan bentukmu berganti.” Lalu dia mulai bernyanyi :
Kami-kmai mengingta ... namun kealpaan
Bukanlah kebiasaan kami, tapi cahaya bersinat..
Udara gaib terhirup, dan Tuhan dekat..
Lalu hilang lenyaplah kedirina, dan aku
Ada sendiri bersama Tuhan, yang dengan kabar jelas
Bersaksi atas Dzat-Nya dan dengan itu dikenal,
Syair berikut dari Ibn Atha bisa juga dikutip :
Zikir adalah dari jenis yang lain, kulihat,
Yang pertama oleh cinta dan rindu bisa di atasi;
Yang berikut, hubungan jiwa,
Dan dengannya bercampur, sebagai keseluruhan tanpa kehidupan
Oleh ruh dipercepat pada nafa..
Yang berikut melepas ruh, dan berurusan dengan kematian..
Yang kadang tersembunyi, kdang tampak, yang akhir menjulang..
Tinggi atas mahkota kepala, dan segala kekuatan
Penglihatan dan pemikiran, ya, setiap fantasi..
Dari benak tiada sanggup menjangkau. Dengan jelas
Mata hati kemudian melihat Dia, dan mencaci
Zikir, sebagai beban yang berat ditanggungnya.
Dia membagi zikir menjadi beberapa kelas. Yang pertama adalah zikir hati, berarti bahwa Dia yang diingat dulunya terlupakan, lalu teringat kembali; yang kedua adalah Zikir tentang sifat-sifat Dia yang diingat; yang ketiga adalah perenungan mengenai Dia yang diingat. Dan yang terakhir ini, maka berarti orang itu telah melewai zikir; sebab sifat-sifat Dia yang diingat membuat engkau jauh dari sifat-sifatmu sendiri, dan dengan begitu engkau jauh dari zikir.
48.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEINTIMAN (UNS)
Al-Junaid ditanya : “Apakah keintiman itu?” Dia menjawab : “Keintiman adalah hilangnya kegugupan, bersamaan dengan berlangsungnya pesona.” Yang dimaksudkan dengan hilangnya kegugupan adalah karena harapan lebih lazim dibanding ketakutan. Dzu’l Nun, ketika ditanya mengenai hal yang sama berkata : “Keintiman adalah keberanian si pencinta dengan Yang Dicintainya.” Perkataannya mengandung arti yang sama dengan kata-kata Karib (Ibrahim) : “Perlihatkanlah kepdaku, bagaimana cara Engkau menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati.” Dan kata-kata orang yang berbicara dengan Tuhan (Musa) : “Perlihatkanlah diri-Mu agar aku dapat melihat-Mu.” Jawaban Tuhan : “Engkau tak akan melihat-Ku.” Yang seolah-olah merupakan suatu alasan saja, berarti, Engkau tidak akan mampu.” Ibrahim al-Maristani ditanya mengenai keintiman, dan dia menjawab : “Keitniman adalah kegembiraan hati ketika ada bersama Yang Dicintai.” Syibli ditanya tentang hal yang sama, dan dia menjawab : “Keintiman adalah rasa terpisah dari dirimu sendiri.” Dzu’l Nun berkata : “Keadaan terendah keintiman adalah bahwa seseorang itu harus dibuang ke dalam api, sekalipun begitu dia tidak dijauhkan dari Dia yang yang telah dikenalnya.” Seoang tokoh Sufi berkata : “Keintiman berarti bahwa seseorang itu harus bertul-betul akrab dengan zikir sehingga dia dijauhkan dari bayangan (semua) yang lain.” Syair Ruwaim dikutip di sini dalam hubungannya dengan masalah ini :
Keindahan-Mu adalah kesenangan hatiku,
Dan tak henti-hentinya menguasai benakku;
Kasih-Mu telah menempatkan diriku, dalam pandangan-Mu.
Terpisah dari semua manusia.
Ingatan itu datang kepadaku..
Dengan berita gembira dari Sang Karib;;
“Lihat, karena Dia telah berjanji kepdamu
Engkau akan menjangkau dan memperoleh akhir dirimu.”
Di manapun Engkau memberi terang,
Wahai Engkau yang menjadi tujuan jiwaku!
Engkau tampak jelas dalam penglihatanku,
Dan tetap ada dalam hatiku.
49.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEDEKATAN (QURB)
Sarri As-Saqathi ditanya : “Apakah kedekatan itu? Dia menyahut : “Kedekatan adalah kepatuhan.” Yang lein berkata : “Kedekatan berarti engkau, pada saat yang sama, bersikap lancang terhadap-Nya, dan tunduk dihadapan-Nya; sebab Tuhan berfirman : “Tetap Sujud dan mendekatlah kepada-Ku.” Ruwaim ditanya mengenai kedekatan, dan dia berkata : “Menghilangkan setiap penghalang.” Yang lain, ketika ditanya mengenai hal yang sama, menyahut : “Itu berarti engkau menyaksikan apa yang telah dilakukan-Nya terhadap dirimu.” Arti perkataan ini adalah, bahwa engkau melihat tindakan-tindakan serta pemberian-pemberian-Nya kepdamu, dan di situ engkau tidak sadar akan tindakan-tindakan dan usaha-usahamu; atau itu bisa juga mengisyaraktkan bahwa engkau menganggap dirimu sendiri sebagai wakil Tuhan, menurut firman Tuhan, : “Waktu kamu melempar itu, sebenarnya bukan kamu yang melempar, melainkan Allah jualah,: dan “Sebenarnya, bukan kamu yang membunuh mereka itu, tetapi Allah.” Al-Nuri menulis sebagai berrikut :
Aku telah mengira bahwa, setelah menjauh
Dari diri, dalam kekhusyukan, aku harus membuat jalan..
Menuju Engkau : Tapi, oh! Tak satu makhluk pun boleh
Mendekati Engkau, kecuali lewat jalan yang Engkau tunjuk..
Aku tak bisa hidup lebih lama lagi, Tuhan, tanpa Engkau..
Tangan-Mu ada di mana-mana, tiada mampu aku lari..
Ada yang berhasrat dengan harap untuk datang kepada-Mu..
Dan telah Engkau tampakkan dalam diri mereka tujuan Tinggi..
Lihat, aku telah memutuskan setiap pemikiran dari diriku..
Dan mematikan kehadiran, agar bisa menjadi milik-Mu..
Berapa lama, buah hatiku? Habis tenagaku..
Tak kuat lagi ku jalani pembuangan ini..
Inilah penafsirannya : Keadaanku membuatku mengira-ngira bahwa kekhusyukanku kepada Mu dan menjauhnya diriku dari semua yag selain Engkau merupakan jalan untuk mendekat kepada Mu. Tapi kekusyukan dan kemenjauhan itu hanyalah alat; dan kedekatan dengan diri-Mu tak dapat dicapai dengan alat apa pun yang ku miliki, kecuali dengan perantraan Engkau sendiri, sebagaimamana kedekatan itu datang dari-Mu. Dia meneruskan : Beberapa orang telah berusaha mendekat kepada-Mu lewat perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan kepatuhan mereka, dan Engkau telah menyatu bersama mereka dengan karunia-Mu. Aku tiada berbuat apa-apa yang bisa mendekatkan-Mu kepadaku, dan aku merasa akan musnah karena kerinduanku untuk berada dekat dengan-Mu; tapi aku sendiri tak memiliki alat untuk datang ke situ. Syair berikut juga karya An-Nuri :
Aku melihat-Nya lewat,
Dan ku sangka Dia dekat,
Tapi tuntutan-Nya membuatku pilu, dan harapanku mati.
Lalu, kala datang keputusasaan,
Dan memberikan kesaksian..
Cemerlang dengan mukjizat baru yang tak kan berakhir..
Dia mengatakan : Setiap kali aku berputus asa sepanjang menyangkut diriku sendiri, karunia yang telah diperlihatkan-Nya mengobati keputusasaanku.
50.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PENYATUAN (ITTIHAD)
Penyatuan berarti pemisahan dari segala sesuatu yang selain Tuhan, dalam hati tidak melihat – dalam arti memuja – apa-apa kecuali Tuhan, dan tidak mendengar apa-apa kecuali firman Tuhan. An-Nuri berkata : “Penyatuan adalah pengungkapan hati dan perenungan kesadaran.” Pengungkapan hati itu dilukiskan dalam kata-kata Haritsah : “Seolah-olah sya melihat Singgasana Tuhan saya tampil.” Sedangkan perenungan (dari) kesadaran itu ditunjukan dalam perkataan Nabi : “Pujalah Tuhan seolah-olah engkau melihatnya.” Dan perkataan Ibn Umar : “Kami melihat Tuhan di tempat itu. Yang lain berkata : “Penyatuan terjadi ketika kesadaran datang dalam keadaan alpa.” Yang berarti bahwa pemujaan kepada Tuhan itu mengacaukan pemujaan kepada segala sesuatu yang lain. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Penyatuan adalah ketika hamba itu tidak bersaksi atas apa pun yang ada padanya kecuali mengenai Pembuat dirinya.” Sahl berkata : “Mereka digerakkan oleh kesusahan, karena itu mereka berada dalam kekacauan. Kalau mereka sedang tenang, maka mereka pasti telah mencapai penyatuan.”
51.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI CINTA (MAHABBAH)
Al-Junaid berkata : “Cinta adalah kecenderungan hati,” berarti bahwa cinta cenderung kepada Tuhan dan apa yang yang berhubungan dengan Tuhan, tanpa dipaksa, Yang lain berkata : “Cinta adalah penyesuaian.” Yaitu kepatuhan terhadap apa yang diperintahkan oleh Tuhan, menjauhakn diri dari apa yang dilarang oleh Tuhan, dan puas dengan apa yang ditetapkan dan diatur oleh-Nya. Muhammad ibn Ali al-Kattani berkata : “Cinta berarti lebih menyukai Kekasihnya.” Yang lain berkata : “Cinta berarti lebih menyukai apa yang dicintai untuk orang yang dicintainya.” Abu Abddillah al-Nibaji berkata : “ Cinta adalah kesenangan jika itu ditujukan kepda makhluk, dan pembinasaan jika itu ditujukan kepada Pencipta.” Yang dimaksudkannya dengan “pembinasaan” adalah, bahwa tidak da minat pribadi yang tinggal, baha cinta yang semacam itu tidak ada penyebabnya, dan baha si pecinta tidak bertahan lewat penyebab apa pun. Sahl berkata : “Barang siapa mencintai Tuhan, dialah kehidupan; tapi barang siapa mencintai, maka dia tidak memiliki kehiduan.” Dengan kata-kata “Dialah kehidupan” yang dimaksudkannya adalah bahwa kehidupan itu serasi , sebab pecinta menemukan kesenangan di dalam segala sesuatu yang datang kepadanya dari kekasihnya, entah itu sesuatu yang mendatangkan kebencian atau yang diinginkan; sedangkan dengan kata-kata “dia tidak memiliki kehidupan” yang dimaksudkannya adalah, karena dia selalu berusaha mencapai apa yang dicintainya, dan selalu takut kalau-kalau dia dihalangi untuk mencapainya, maka seluruh kehidupannya musnah. Salah seorang tokoh Sufi berkata : “Cinita adalah suatu kesenangan, dan dengan Tuhan tidak ada kesenangan; sebab keadaan-keadaan hakikat itu merupakan kekagetan, penyerahan dan kebingungan. Cinta manusia kepada Tuhan adalah suatu pemujaan yang bersemayam di dalam hati, dan penafian cinta kepada sesuatu selain Tuhan. Cinta Tuhan kepada manusia adalah bahwa Dia menyusahkannya, dan membuatnya tidak layak untuk apa pun kecuali untuk Dia. Inilah arti firman Tuhan : “Dan aku telah memilihmu untuk-Ku.” Tapi kata-kata “membuatnya tidak layak untuk apa pun kecuali untuk Dia” berati, bahwa tidak ada bagian dirinya yang tinggal, yang memungkinkannya melakukan hal-hal lain, atau menaruh perhatian pada kondisi-kondisi material. Salah seorang tokoh Sufi berkata : “Cinta itu ada dua macam : Cinta yang diakui, yang dimiliki oleh mereka yang terpilih dan orang-orang awam, dan cinta gairah dalam arti pencapaian. Sehubungan dengan yang kedua ini, tidak ada pertimbangan mengenai diri atau makhluk-makhluk lain, atau mengenai penyebab-penyebab sekunder atau kondisi-kondisi sekunder, sebab ada penyerapan tolak ke dalam perenungan tentang apa yang ada beserta Tuhan dan dari Tuhan.” Salah seorang tokoh Sufi menggubah syair berikut ini :
Dengan dua jalan aku mencintai Engkau : secara egois,
Dan kemudian, dengan penghargaan terhadap-Mu.
Cinta dirilah yang telah menyiakanku..
Kecuali memikirkan Engkau dengan segenap pemikiran;
Cinta paling sucilah yang ada ketika Engkau bentangkan..
Slubung menutupi pandanganku yang terpesona.
Bukan keberatan atas puji yang begini atau begitu..
Milik-Mu adalah puji dua-duanya kuharap.
Ibn Abd al-Shamad berkata : “Cinta adalah yang mendatangkan kebutaan dan ketulian; Cinta membutakan segalanya kecuali terhadap Yang Dicinta, sehingga orang itu tidak melihat apapun kecuali Dia. Nabi berkata : “Cintamu adalah sesuatu yang mendatangkan kebutaan dan ketulian.” Dia juga menyitir syair berikut ini :
Cinta membuatku tuli dari segala kecuali suara-Nya;
Pernahkah cinta se aneh ini?
Cinta membutakanku, dan hanya kepada-Nya semata aku memandang
Cinta membutakan, dan karena tersembunyi, membunuh..
Dia juga menyitir :
Ada kelebihan cinta
Yang tak bisa ditahan manusia, cinta membubung tinggi
Melebihi segala nilai, kala begitu banyak hal menakutkan
Turu, Atau biarkan diamenyamai yang dibawa oleh kemarahan
Dia akan gembira, atau biarkan dia melewati segala ukuran
Dia akan bersuka, dan menganggapnya kesenangan
Nah, orang-orang Sufi memang memiliki ungkapan-ungkapan khas dan istilah-istilah teknis tertentu yang mereka pahami di lingkungan mereka sendiri, tapi sangat jarang digunakan oleh orang lain. Kami akan terus menuliskan semuanya itu sepanjang masih sesuai, dengan memberi pelukisan arti-artinya dengan kata-kata atau ungkapan (frase). Di sini semata-mata bertujuan memberi penjelasan mengenai arti beberapa ungkapan, bukan pengalaman yang diliputi ungkapan itu; sebab, pengalaman seperti itu disebutkan pun mustahil, apalagi dijelaskan. Esensi yang sesungguhnya dari keadaan-keadaan kejiwaan orang-oranng Sufi adalah sedemikian rupa, sehingga ungkapan-ungkapan itu saja tidak cukup untuk melukiskannya. Sekalipun begitu, ungkapan-ungkapan ini dipahami sepenuhnya oleh orang-orang yang telah mengalami keadaan-keadaan itu.
52.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PELEPASAN DAN PEMISAHAN
Arti pelepasan adalah bahwa tata lahiriah seseorang harus dilepaskan dari kejadian-kejadian, dan batinnya dari pahala; yaitu, seseorang tidak boleh mengambil apa pun dari segala kejadian di dunia ini, atau mencari imbalan apa pun yang orang itu telah disumpah untuk menjauhinya, baik itu merupakan hal-hal yang bersifat sementara, ataupun bersifat kekal; sebaliknya, orang harus memathui hal itu karena itu merupakan kewajiban kepada Tuhan, dan bukan disebabkan oleh sebab atau alasan lain. Lebih jauh, hal itu berarti, bahwa kesadaran seseorang harus dilepaskan dari pertimbangan berbagai keadaan dan tahapan, yang di dalamnya orang itu berada dari waktu ke waktu, dalam arti bahwa orang itu tidak puas atau terikat pada keadaan-keadaan itu.
Arti pemisahan adalah, bahwa seseorang harus memishkan dirinya dari segala bentuk, dan terpisah dalam keadaan dan tindakannya; yaitu bahwa tindakan orang itu harus sepenuhnya ditujukan untuk Tuhan, dan bahwa mereka tak boleh memiliki pemikiran tentang diri, penghargaan pada jasmani atau penghargaan pada imbalan. Lebih-lebih, orang harus dipisahkan dalam keadaan-keadaannya dari keadaan-keadaan itu sendiri, dengan begitu dia tidak menyadari adanya keadaan itu; sama sekali, karena perhatiannya terserap sepenuhnya pada penglihatan akan Dia yang menentukan keadaan itu; dan dalam keadaan terpisah dari segala bentuk, orang itu harus tak berhubungan bentuk-bentuk itu atau berusaha agar terjauh dari bentuk-bentuk itu. Telah dikatakan : “Pelepasan berarti bahwa seseorang itu tidak memiliki, pemisahan berarti bahwa orang itu tidak dimiliki.” Syair berikut dari Amr ibn Usman al-Makki, melukiskan :
Sendiri bersama Tuhan yang sendiri, dia sendiri;
Tetap satu dia, sebab Hasratnya hanya Satu,
Maka telah ku lihat mereka, masing-masing dalam tarafnya.
Para pencari yang sendiri itu, dan lihat, dia
Yang pergi paling jauh, paling dekat pada tujuan.
Orang dari dunia yang diberi kesaksian itu, dengan semangat jiwa
Berpaling, dan membumbung tinggi, tinggi dalam terbangnya.
Sendiri, sendiri dalam segala penderitaannya,
Yang lain terbang dari jiwanya melompat ke
Dalam gairah yang sepi, Yang lain lagi membuka
Ikatan yang rapuh dari kedirian, dan terbangun
Sendiri, tapi tidak sendiri, Tuhan yang Pemurah
Menerima pilihannya Sendiri dengan curahan penuh cinta.
Orang yang “membumbung tinggi, tinggi dalam terbangnya sendiri” adalah yang “sendiri dalam segala penderitaannya” karena dia tidak dapat menemukan jalan sama sekali untuk mendapatkan yang dicarinya dan tak akan henti-hentinya berusaha. Orang yang “Tidak merasakan penderitaan ini. Akhirnya dia yang “membuka ikatan yang rapuh dari kedirian” karena telah melewati masa kediriannya adalah orang yang terpilih dan didekatkan (oleh Tuhan), dan dia sendiri ada bersama Realitas itu.
53.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEGAIRAHAN (WAJD)
Kegairahan (ekstase) adalah suatu perasan yang merasuki hati, entah itu berupa rasa takut, rasa sedih, atau bayangan kehidupan yang akan datang, atau mengungkapkan keadaan antara manusia dengan Tuhan. Mereka berkata : “Dan kegairahan merupakan pendengaran dan penglihatan oleh hati,” Tuhan berfirman : “Sebab bukan mata mereka yang buta melainkan hati yang ada dalam dada mereka itulah yang buta.” Dan lagi : “Dan menggunakan pendengarannya, sebab dia menyaksikan sendiri.” Jika kegairahan seseorang itu lemah, berarti dia memamerkan kegairahanyya; “pameran” ini terjadi ketika yang dirasakannya di dalam batinnya terejawantah dalam tata lahirnya. Tapi, jika kegairahannya kuat; dia mengatasi dirinya sendiri dan menajdi pasif. Tuhan berfirman : “Tegak bulu roma orang-orang yang takut kepada Tuhannya. Kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingati Allah.” Al-Kegairahan adalah lidah api yang muncul dari hati, dan timbul dari kerinduan, dan pada rahmat atau hukuman Tuhan itu (warid), anggota-anggota tubuhnya tergerak, entah oleh kegembiraan atau kesedihan.” Mereka telah berkata : “Kegairahan itu sama dengan yang berlalu (zawal), sedang ma’rifat itu mantap dan tidak akan berlalu>’ Syair berikut ini adalah gubahan Al- Junaid :
Dalam gairah senangnlah dia
Menemukan, dalam kegairahan itu, ketenangannya;
Tapi kalau Kebenaran datang, gairah
Itu sendiri dilenyapkan.
Dulu pernah kegairahan menjadi kesenangan bagiku;
Tapi Dia yang benar-benar ku temui
Dalam kegairahan mengambil seluruh penglihatanku,
Dan terhadap yang lain-lainnya aku buta.
Salah seorang tokoh besar Sufi mengubah syair berikut :
Dia perlihatkan selubung dan wibawanya
Mengguncangkan kebesaran hakikat segala
Dan setiap bentuk yang terbayang. Sayang, Dia
Harus selalu dirasa dalam kegairahan,
Mengenai lidah api itu tak lain dari bayangan
Dari ketidak mampuan yang ateralahkan (Kemampuan yang lebih tinggi)
Kegairahan hanya menyentuh bentuk, yang lari
Di hadapan sifat ketuhanan-Nya yang bercahaya
Dan dia bersama mereka. Aku pun sebelumnya menemukan
Kesenangan dalam kegairahan; tapi sengsaralah hatiku,
Kadang di sana, kadang di sini. Lalu, sebagai pelipurku,
Dia berikan kepadaku kesaksian, lepas
Dari segalanya kecuali Yang Disaksikan; kegairahan itu
Tertelan, dan semua kesenangan
Dari segala bentuk yang terlihat, ada dalam Kesatuan yang Esa.
Salah seorang tokoh Sufi berkata : “Kegairahan adalah berita-berita gembira yang dikirimkan oleh Tuhan tentang penaikan sang Sufi menuju tingkatan-tingkatan perenungannya.” Yang lain berkata :
Adalah lebih pantas bahwa Dia
Yang dengan segala pemberian-Nya membawakanku kegairahan
Haruskah karunia-Nya yang tak terbatas
Menyapu bersih jiwaku dari setiap jejaknya?
Kala pertama Dia datang kepadaku
Kala pertama Dia menggerakan jiwaku menuju kegairahan
Aku tahu bahwa Dia akan membawa
Hadiah yang jauh di luar jangkauan angan-angan
As-Syibli menulis syair berikut ini :
Aku percaya bahwa kegairahan itu meragukan
Jika dia muncul bukan dari penyaksian;
Dan setiap saksi itu terlempar,
Kala Kebenaran itu membawa saksinya yang jelas.
54.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KETERKUASAAN
Keterkuasaan adalah suatu keadan yang dialami oleh para Sufi, yang di dalamnya dia tidak mampu melihat penyebabnya atau menjaga sikapnya, dan sama sekali tidak mampu membedakan apa-apa mengenai keadaan yang menimpanya; bahkan dia mungkin melakukan sesuatu yang akan menyebabkan dia tidak diterima dengan baik oleh mereka yang tidak mengerti keadaan dirinya. Tapi kalau keterkuasaan itu telah lewat, maka dia akan kembali kepada keadaan dirinya yang normal. Kekuatan-kekutan ini mungkin merupakan rasa takut, rasa terpesona, rasa hormat, rasa malu atau yang semacam itu. Suatu pelukisan diberikan dalam cerita Abu Lubabah ibn Mundzir. Banu Quaraizhah bermaksud berunding dengannya, ketika Nabi menghendaki mereka tunduk kepada wewenang Sa’id ibn Mu’adz; dan Sa’id menunjuk lehernya dengan tangan, mengisyaratkan hukum bunuh. Lalu dia bertobat atas apa yag telah dilakukannya, karena amenyadari bahwa dia telah bersikap tidak setia kepada Tuhan dan Rasul-Nya; maka dia pun pergi dengan kebingungan dan akhirnya mengikat dirinya sendiri pada salah satu ting masjid, sambil berkata : “Aku tidak akan meninggalkan tempatku ini sampai Tuhan mengapuni apa yang telah ku lakukan.” Dia bertindak bagitu karena takut kepda Tuhan yang menguasainya, dan mencegahnya pergi kepada Nabi seperti yang seharusnya dia lakukan, menurut perintah Tuhan : “Kalau mereka, telah menganiaya dirinya sendiri, lalu datang kepadamu sambil memohon ampunan kepda Allah, sedang Rasul pun ikut pula memohonkan ampunan.....” Sebab tidak ada tertulis di dalam Hukum bahwa seseorang mesti diikat pada tembok atau tiang. Ketika Nabi berkata bertapa lama orang itu dalam perjalanan untuk menemui beliau, beliau berucap : “Kalau saja dia telah datang kepadaku, aku pasti telah memohonkan ampun untuknya; tapi karena dia telah melakukan apa yang kini telah dilakukannya, maka bukanlah aku yang harus membebaskannya dari tempat ini, sampai Tuhan mengampuninya.” Ketika Tuha melihat bahwa dia memang tulus, dan apa yang terjadi merupakan akibat rasa takut yang menguasinya, maka Dia pu mengampuninya. Lalu Tuhan mewahyukan ampunan-Nya, dan Nabi membebaskannya. Nah, ketika rasa takut ini menguasai Abu Lubabah, dia tidak mampu mengamati penyebabnya dan tidak tahu bahwa Rasul harus mohon ampun, sebab Tuhan berfirman : “Kalau mereka telah menganiaya dirinya sendiri....” Dia juga tidak mampu menjaga seikapnya, yaitu meminta maaf kepada orang yang didosainya, sehingga dia menentang Nabi ketika beliau hendak mengdakan gencatan senjata dengan orang-orang kafir pada tahun Hudaibiyah; Umar melompat bangun dan datang kepada Abu Bakr, berkata : “Wahai Abu Bakr! Tidakkah Beliau itu Rasul Allah?” Dia berkata : “Ya.” Umar berkata : “Tidakkah kita ini orang-orang Muslim?” Dia berkata : “Y.” Umar berkata : “Tidakkah mereka itu orang-orang kafir?” Dia berkata : “Y.” Umar berkata : “Lalu, mengapa kita membawa pertimbangan-pertimbangan duniawi ke dalam agama kita?” Abu Bakr berkata : “Wahai Umar! Berpeganglah engkau pada sanggurdi beliau.”(Menuruti perintahnya), sebab, aku bersaksi bahwa Beliau Utusan Allah.” Umar berkata : “Dan aku pun bersaksi bahwa Beliau Utusan Allah.” Lalu dia dikuasai oleh perasaannya, dan dia datang kepada Nabi dan berkata kepada beliau seperti yang dikatakannya kepada Abu Bakr; dan Nabi menjawab seperti Abu Bakr dan menyudahinya dengan kata-kata : “Aku adalah hamba Tuha dan Rasul-Nya; aku tak akan menetang perintah-Nya, dan Dia tak akan meninggalkanku.” Sesudah itu Umar sering berkata : “Aku tak henti-hentinya berbpausa, memberi sedekah, membebaskan para tawanan serta berdoa, untuk menebus kelakuanku pada hari itu, sebab aku takut akan kata-kata yang telah kuucapkan; sampai akhirnya aku berharap agar segala sesuatunya berjalan baik.” Sama halnya ketika dia menentang Nabi, ketika beliau berdoa untuk Abdullah ibn Ubay. Umar berkata : “Beberapa perubahan datang pada diriku, dan aku berdiri di hadapannya serta berkata : “Wahai Utusan Allah; maukah nekgua berdoa untuk orang ini, mengingat bahwa dia telah berkata begini dan begini pada hari ini dan ini?” Begitulah dia menyebutkan harinya satu demi satu, sampai Nabi berkata kepadanya : “Biarkan aku; aku telah diberi pilihan, dan aku telah memilih.Abu Taibah, yang menoreh kulit Nabi lalu meminum darah beliau, sesuatu yang terlarang dalam Hukum: ini dilakukannya dalam keadaan dia dikuasai. Tapi Nabi memaafkannya, dan berkata : “Engkau telah memagari dirimu sendiri dengan pagar neraka.”
Ceita-cerita semacam itu --- dan banyak lagi lainnya – membuktikan bahwa keterkuasaan itu merupakan keadaan murni dari jiwa yang pada saat itu orang diizinkan berbuat hal-hal yag dilarang, dalam keadaan tidak sadar Tapi, jika orang itu ada dalam keadaan tenang, seperti halnya Abu Bakr, dikarenakan kondisi yang agak lebih tinggi, maka dia akan menjadi lebih mantap, dan keadaannya lebih sempurna.
55.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEMABUKAN (SUKR)
Kemabukan itu jelas terlihat ketika seseorang sementara dia tidak sepenuhnya tidak sadar akan hal-hal di sekelilingnya, tidak bisa membedakan hal-hal itu; yaitu, dia tidak bisa membedakan apa yang dapat diterima dan menyenangkan dengan kebalikannya, dikarenakan oleh hubungannya dengan Tuhan. Rasa keterkuasaan oleh wujud Tuhan menghilangkan kemampuannya untuk membedakan apa yang menyakiti dirinya dan apa yang mendatangkan kesenangan baginya. Ini terlukis dalam beberapa penuturan. Misalnya, ada hadits mengenai Haritsyah, yang mengatakan : “Dalam pandanganku sama saja antara batu dan lempung, emas dan perak.” Amaka Abdullah ibn Mas’ud berkata : “Aku tidak perduli, ke dalam keadaan mana di antara yang dua itu aku akan jatuh, Entah kekayaan atau kemiskinan; sebab, bila jatuh ke dalam kemiskinan, aku akan sabar, dan jika ke dalam kekayaan, aku akan bersyukur.” Dia tidak bisa membedakan lagi mana yang lebih menyenangkan dan mana yan sebaliknya, sebab dia dikuasai oleh suatu perasaan yang diperolehnya dari Tuhan, yaitu kesabaran dan syukur.
Kewarasan, yang menggantikan kemabukan, adalah suatu keadaan yang membuat seseorang bisa membedakan, dan mengetahi apa yang menyakitkan dan apa yang menyenangkan, tapi dengan sengaja memilih yang pertama, jika itu yang sesuai dengan kehendak Tuhan; maka dia tidak akan merasa sakit, melainkan senang, dalam pengalaman yang sebenarnya menyakitkannya. Dikatakan bahwa salah seornag tokoh Sufi berseru : “Jika Engkau hendak menimpakan atasku kemalangan, aku hanya akan merasakan cinta yang lebih besar terhadap-Mu.” Abu’l-Darda dituturkan sebagai telah berkata : “Aku mencintai mati, sebab aku rindu kepada Tuhanku; Aku mencintai sakit, sebab aku tunduk karena dosa-dosaku; aku mencintai melarat, sebab aku tunduk pada Tuhanku.” Salah seorang sahabt berkata : “Betapa berharganya dua hal yang menjijikan itu, kematian dan kemelaratan!.” Keadaan ini lebih sempurna dibanding (yang mendahuluinya), sebab orang yang mabuk itu jatuh ke dalam suatu yang mendatangkan kebencian tanpa menyadarinya, sehingga dia tidak memiliki kesadaran akan perasaan benci; sedangkan yang lain lebih menyukai yang menyakitkan daripada yang menyenangkan, dan kemudian menemukan kesenangan di dalam kesakitannya, sebab dia telah terpesona karena adanya Dia yang menyebabkan adanya kesakitan itu. Orang yang waras, yang sifatnya mengatasi kemabukan, kadang-kadang akan lebih menyukai kesakitan daripada kesenangan tanpa mempertimbangkan pahala atau mengharapkan balas jasa; orang yang semacam itu merasakan sakit dalam kesakitan, dan senang dalam kesenangan; yang dimilikinya adalah kesabaran dan rasa syukur. Salah seorang tokoh Sufi menggubah syair ini :
Jika, dalam keadaan waras, aku
Tidak lagi melihat
Kecuali yang menjadi milik-Nya, kebenaran lebih tinggi
Apa yang menunggu dalam kemabukan, yang merupakan
Keadan yang lebih mulia?
Kini datang kewarasan
Atau biarkan aku dalam
Kemabukan; melaksanakan rencana-Mu;
Mabuk atau waras, selamanya aku milik-Mu.
Yang dimaksudkannya adalah, jika keadaan yang bisa membedakan itu bisa membuatku hanya menyadari apa yang menjadi milik Tuhan dan tidak menyadari apa yang menjadi milikku, akan seperti apakah keadaan mabuk itu, keadaan yang didalamnya kemampuan memperbedakan melarut? Tuhan-lah yang menguasai diriku dalam pelaksanaan tugas-tugasku, yang mengawasi diriku dalam keadaanku. Kedua keadaan itu membawa pengaruh bagi diriku, tapi keduanya sesungguhnya milik Tuhan, dan bukan milikku sama sekali; dan selamanya aku akan ada dalam kedua keadaan ini.
56.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KETIADAAN DAN KEHADIRAN
Ketiadaan menandaskan bahwa seseorang itu tidak sadar akan hasratnya sendiri, dan tidak tahu mengenai hasrat-hasrat itu sama sekali, meskipun semua itu masih ada dalam dirinya, hanya dia tidak ada bersama hasrat-hasrat itu karena dia ada bersama sesuatu yang menjadi milik Tuhan. Seseorang berkata kepada al-Auza’i : “Kami melihat pelayan perempuanmu yang bermata biru di pasar.” Dia menyahut : “Apakah dia bermata biru? Ketika Abu Sulaiman al-Darani diberi tahu tentang ini, dia berkata : “Mata hati mereka terbuka, dan mata di kepala mereka tertutup.” Dengan begitu dia menunjukan baha meskipun dia tidak sadar akan fakta bahwa perempuan itu bermata biru, tapi dalam dirinya akan kesukaan terhadap perempuan-perempuan yang bermata hitam, sebab dia berkata : “Apakah dia bermata biru?
Kehadiran menandakan bahwa seseorang itu menganggap hasratnya adalah milik Tuhan, bubkan miliknya sendiri; apa pun yang diturutnya, dia menurut pada jiwa kehambaannya, dan tunduknya sifat kemanusiaannya, bukan demi kesenangan ataupu nafsu.
Tapi tetap ada ketiadaan di balik ini, yang didalamnya seseorang tidak sadar akan keterlarutannya; tidak ada bedanya antara orang yang melarut dalam kehadiran keberlangsungan, dengan orang yang masih berlangsung (hidup), sebagai yang dijelaskan oleh Haritsah dalam kasus dirinya sendiri. Kehadiran adalah suatu kesadaran akan rasa terkuasai, bukan suatu kesadaran yang bisa dilihat, sementara ketiadaan adalah ketiadaan dari apa yang menguntungkan arau apa yang membahayakan, bukan ketiadaan yang berarti terselubungi atau terselimuti. Al-Nuri menulis :
Jika aku ada, tidak ada pandangan yang kulihat
Ketika aku memandang; cukuplah bahwa Dia
Yang, walaupun tak terlihat, ada di mana-mana,
Menatap mata jiwaku tak henti-hentinya.
Jika aku tiada, rahasia itu bertapa anehnya....
Ketiadaan lewat ketiadaan tiada berkisar;
Lalu apakah ketiadan-Nya dalam cahaya uang indah
Mengejawantah di balik segala kekuatan perubahan?
Salah seorang Syekh kami menjelaskan kehadiran sebagai berikut : “Kehadiran berarti bahwa apa ppun yag disaksikan oleh seseorang, orang itu memandangnya rendah dan menganggapnya seolah-olah tidak ada, karena kehadiran Tuhan yang menguasainya.” Inilah arti syair berikut ini :
Sesungguhnya, segala sesuatu selain Tuhan itu sia-sia
Dan
Hampa, dan setiap keindahan harus dihancurkan.
Maka Musa berkata : “Ini sungguh-sungguh suatu cobaan dari engkau.” Dia beranggapan bahwa orang-orang Samaritan itu tidak ada dikarenakan kesadarannya akan Tuhan. An-Nuri menulis :
Tuhan mengirimkan tipuan-tipuan untuk menyelubungi diriku,
Dan aku tersembunyi dari seluruh umat manusia;
Kekuasaan-Nya tak terbatas
Mencemaskan benak yang mencerap
Kala, tiada tahu bahwa aku tak punya bagian di dalam nya
Dan mengenai urusan kala, aku tak menyadarinya,
Satu perintah Tuhan aku tunggu,
Dan kucaci tangan nasib
57.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PEMUSATAN DAN PEMISAHAN
Bagian pertama pemusatan itu adalah pemusatan niat, yaitu bahwa semua niat seseorang itu harus menjadi satu niat saja. Begitulah dikatakan dalam hadits : “Jika seseorang membuat banyak niat menjadi satu niat saja, yaitu niat untuk keadaan mendatang, maka Tuhan akan memenuhi semua niatnya, tapi jika niat-niatnya tercerai berai, Tuhan tidak akan peduli di lembah mereka yang mana dia akan lenyap.” Ini merupakan hasil usaha dan disiplin. Tapi pemusatan itu, yang merupakan tujuan khusus para Sufi, dalam kenyataannya merupakan suatu keadaan kejiwaan; dalam keadaan ini niat tidak lagi cerai berai. Para sufi itu tidak lagi harus berusaha sendiri untuk memusatkan niat-niat itu; melainkan, niat-niat itu telah terpusat dan menjadi satu niat saja di hadapan Dia yang memusatkan mereka, sehingga pemusatan itu terjadi semata-mata karena Tuhan, dan tidak ada yang lain.
Pemisahan, sebagai lawan dari pemusatan, adalah suatu keadaan yang di dalamnya, para Sufi dipisahkan dari niat-niat jasmaniah dan dari hasrat akan kesenangan dan hal-hal yang bisa mendatangkan kesenangan; Dia dipisahkan dari dirinya sendiri, dan gerakan-gerakan yang dibuatnya bukanlah untuk dirinya sendiri. Bisa juga terjadi pada beberapa keadaan bahwa orang yang terpusat itu akan mengikuti hasratnya sendiri, dan tidak dicegah untuk berbuat begitu; tapi dia tidak akan mampu memusatkan hasrat-hasrat itu, dan hasrat-hasrat itu tidak membawa pengaruh atas dirinya; dan dia tidak berkebertan dengan ini, tapi justru menginginkannya, sebab dia tahu bahwa ini merupakan perbuatan Tuhan, dan dengan begitu Tuhan memilihnya dan mendekatkannya kepada diri-Nya.
Salah seorang tokoh Sufi ditanya, “Apakah pemusatkan itu? Dia menjawab : “ Yakni pemusatan isi hati yang paling daalam atas sesuat yang sangat penting, dan ketundukannya. Di situ; sebab Dia tak mempunyi persamaan maupun kebalikan.” Yang lain berrkata : “Dia memusatkan niat-niat itu pada diri-Nya Sendiri waktu Dia menyatukan mereka dengan meninggalkannya. Dan Dia memisahkan mereka dari-Nya Sendiri ketika mereka mencari-Nya lewat sesuatu yang menjadi bagian dari diri mereka sendiri; pencerai-beriaian itu terjadi dikarenakan oleh hasrat akan penyebab sekunder, dan pemusatan itu terjadi kalau mereka merenungkan Dia dalam setiap masalah. Pemisahan yang dibicarakannya itu adalah pemisahan yang datang sebelum adanya pemusatan; yang dimaksudkannya adalah bahwa pemisahan itu merupakan hasil pencarian untuk mendekati Tuhan lewat perbuatan-perbuatan, sedangkan ketika mereka tahu bahwa Tuhan sendiri yang mendekatkan mereka, maka mereka sampai pada pemusatan itu. Salah seorang tokoh Sufi menulis :
Dengan pemusatan mereka termuliakan
Dari kedirian, sebeagaimana sebelum lahirnya kala,
Dan pemisahan itu yang menjadikan mereka mulia,
Tapi hanya sementara, hanya sedikit,
Menyatu dengan diri mereka sendiri, tercabut dari kemanusiaan,
Dan kesaksian atas Kebenran yang mereka temukan;
Dalam pemusatan yang lepas dari kala, mereka berkisar
Di balik keliaran tak berjalur perubahan ini
Karena, seperti kala yang tak berbentuk dan kala tak bernyawa,
Mereka tak melihat bahwa mereka harus terpusat,
Lalu, karena tercerai berai, mereka mendapat
Kehidupan yang lebih berkecukupan, yang dulu mereka miliki di..
Surga, maka ketiadaan merupakan buah dari pemusatan,
Dan keadaan, pahala dari pemisahan.
Pada dua hal ini, ada atau tidak.
Jalur kenisbian bergantung
Kata-kata “Dengan pemusatan mereka termuliakan dari kedirin” berarti bahwa pengetahuan mereka bahwa mereka ada demi Tuhan,dalam engetahuan-Nya akan diri mereka, membuat mereka kehilangan diri mereka sendiri pada masa ketika mereka ada demi Dia; maka pemusatan itu mendatangkan keadaan tidak ada, sebagaimana halnya bahwa tidak ada sesuatu yang ada tanpa sepengetahuan Dia. Pemisahan adalah syarat untuk terbawanya mereka dari tidak da kepada ada. Kata-kata “Menyatu dengan diri mereka sendiri” berarti bahwa mereka menganggap diri mereka sendiri, pada masa mereka ada, seperti pada masa mereka belum (ada), tidak memiliki kekuasaan untuk mencelakai atau mendatangkan keuntungan, sementara pengethuan Tuhan tidak berubah dalam diri mereka. Pemusatan mereka adalah bahwa Tuhan menghilangkan sifat-sifat yang tak jelas bentuknya (rasm) dari diri mereka, yaitu bahwa tindakan-tindakan dan sifat-sifat mereka , sebagaimana rasm itu, tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi perubahan atau peralihan, tapi sesuai dengan pengetahuan Tuhan, menakdirkan dan menetapkan. Syarat adanya mereka terhapuskan dalam pengetahuan Tuhan yang kekal, sebab mereka kala itu tidak ada, tidak memiliki bentuk ataupun kemaujudan. Maka ketika Tuhan menjadikan meaka ada, Dia semata-mata menggerakan dalam diri mereka sesuatu yang sebelumnya telah dimaksudkan-Nya untuk mereka. Pemusatan itu berarti bahwa mereka itu tak hadir (di dunia ini), dan menolak menganggap diri mereka sendiri sebagai yang mempu menentukan, sementara pemisahan berarti bahwa meraka menganggap keadaan-keadaan dan tindakan-tindakan mereeka sendiri (sebagai yang mampu menentukan). Ada dan tidak ada merupakan syarat-syarat yang berubah dalam diri mereka, bukan dalam diri Tuhan.
Abu Sa’id al-Kharraz berkata : Pemuasan itu berarti bahwa Tuhan membuat mereka menemukan diri-Nya dan diri mereka sendiri, atau Dia menghilangkan kemaujudan mereka dari diri mereka sendiri dalam masa mereka menjadi ada demi Dia.” Maksudnya sama dengan maksud hadits (Qudsi) ini : “Aku menjadi telinga, mata dan kaki tangan baginya, sehingga lewat Aku dia mendengar dan Lewat Aku dia melihat.” Karena, sebelumya mereka melaksanakan urusan-urusan mereka lewat diri mereka sendiri dan demi mereka sendiri , sedangka kini mereka melaksanakan urusan-urusan mereka lewat Tuhan dan demi Tuhan.
58.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI WAHYU
Sahl berkata : “Wahyu itu ada dalam tiga keadaan : wahyu berupa suatu esensi, yang tidak terselubung; wahyu berupa sifat-sifat esensi yang merupakan penerangan; dan wahyu berupa kondisi esensi, yang merupakan kehidupan di dunia mendatang. Kata-kata “wahyu berupa suatu esesi” berarti pewahyuan keterkuasaan yang terjadi di dunia ini, sebagaimana yang dilukiskan dalam perkataan Abdullah ibn Umar : “Kami meliaht Tuhan di tempat itu,” yaitu pada saat perjalanan menuju Ka’bah (maka Nabi berkata : “Sembahlah Tuhan seakan engkau melihatnya)- dan wahyu visual (yang dapat dilihat) yang akan terjadi di dunia mendatang. Yang dimaksudkannya dengan “wahyu berupa sifat esensi yang merupakan penerangan” adalah bahwa kekuasaan Tuhan atas dirinya diwahyukan kepadanya, Hingga dia tak takut kepada sesuatu pun kecuali Tuhan, bersamaan dengan pemberian Tuhan untuk mencukupi kepbutuhannya, sehingga dia tak mengharap sesuatu pun kecuali Tuhan; suatu kondisi yang ditunjukan sebagai yang sesuai untuk semua sifat esensi lewat perkataan Haritssah, “Seolah-olah aku melihat Singgasana Tuhan ku tampil; seakakn-akan firman Tuhan terwahyukan kepadanya pada saat Dia berhubungan dengannya, sehingga hubungan itu bagi Haritsah menjadi seakan-akan suatu penglihatan yang langusng. Sedangkan wahyu berupa kondisi, akan datang di dunia nanti, “Sebagian manusia masuk surga dan sebagian lagi masuk neraka.”
Salah seorang Tokoh besar Sufi berkata : “Tanda dari wahyu Tuhanke dalam hati adalah bahwa hati itu tidak bersaksi akan sesuatu yang dapat dikuassai oleh ungkapan atau terkandung dalam pengertian; Jika seseorang mengungkapkan atau mengerti tentang sesuatu, maka hal itu adalah pemikiran akan isyarata, bukan suatu masalah pemujaan. Yang diamksudkannya (dengan wahyu) adalah bahwa dia bersaksi akan sesuatu yang tidak dapat diutarakan, sebab kesaksiannya ada dalam jiwa pemujaan dan pesona, dan ini tidak memungkinkan dia menguraikan kesaksiannya. Salah seorang tokoh Sufi menggubah syair berikut ini :
Kala cahaya kebenaran tampak,
Aku tenggeelam dalam ketakziman,
Dan aku sebagi orang yanng tak pernah melancong kemudian
Pergi ke kehidupan di bawah
Kala aku menjauh
Dari dalam Dia, dan mencapai Dia,
Pencapaian pun kemudian menjadi diri yang terbukti sia-sia
Dan diri itu mati
Dalam penyatuan suci
Dengan Dia, hanya Dia saja yang kulihat;
Aku tinggal sendiri, dan kebahagiaan besar itu
Tiada menjadi milik ku lagi
Penyatuan yang gaib
Dari diri inni telah memisahkan diriku;
Kini menyaksikan rahasia pemusatan
Yang dua menjadi satu
Artinya : Kalau kebenaran muncul, ketakziman menguasai diriku, sehingga aku tidak mampu mengutarakan (pengalamanku) karena ketakziman itu, senhingga aku menjadi menjadi orang yang yang tidak pernah dijumpai Tuhan. Kalau aku menjauh dari diriku sendiri, maka kemaujudankan menjadi milik-Nya, dan kalau aku tidak ada , maka kemaujudan (pribadi)ku hilang. Kondisi kestuan itu, yaitu kepergianku meninggalkan diri, membuatku tidak dapat menyaksikan apa pun kecuali Dia; sedangkan kondisi pelepasan dan tekanan dalam diriku sendiri, membuatku tak menyaksikan Dia. Oleh karena itu, seakan-akan pemusatanku lewat Dia memisahkanku dari diriku sendiri. Kondisi penyatuan berati bahwa Tuhan-lah yang mengawasiku, bukan aku sendiri, dalam tindakan-tindakanku; sebab Tuhan itu ada, aku tidak. Maka Tuhan berfirman kepada Nabi-nya : “Dan waktu kamu melempar itu, bukan kamu yang melakukannya, melainkan Allah jualah.” Inilah ungkapan Sufi itu; Ilmu Agama mengajarkan bahwa Tuhan itu pengawasku, dan aku, lewat Dia, mengawasi diriku sendiri, sehingga kemudian ada hamba dan Yang Diperhambai sekaligus. Salah seorang tokoh Sufi berkata : “Wahyu adalah pembukaan dalam esensi Tuhan; tabir itu berarti bahwa keadaan dirimu sebagai makhluk mencegahmu untuk melihat apa yang tak terlihat.” Dengan “pembukaan tabir kemakhlukan” yang dimaksudkannya dalah bahwa Tuhan menopangmu selama adanya pemindahan wahyu dari yang tak terlihat, sebab makhluk itu tidak dapat menahan keadaan-keadaan yang dimiliki oleh yang tak terlihat. Tabir yang muncul aetelah adanya wahyu itu merupakan keadaan yang di dalamnya segala sesuatu ditutup darimu, sehingga kamu tidak dapat menyaksikannya, ini dilukiskan dalam cerita Abdullah ibn Umar. Dia sedang mengelilingi ka’bah ketika seseorang menyalaminya. Dia tidak membalas salam orang itu; dan ketika orang itu mengeluhkan ni, dia berkata : “Kami melihat Tuhan di tempat itu.” Mengenai wahyu Tuhan kepadanya, dia memberi bukti dengan mengatakan, “Kami melihat Tuhan,” sedangkan mengenai tabir yang menutupnya, dia memberi bukti dengan ketidaksadarannya ketika ada orang yang menyalaminya. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang tokoh besar Sufi :
Rahasia Tuhan begi mereka yang terselubungi tidak dibukakan;
Jangan berusaha menyiarkan apa yang telah disembunyikan-Nya.
Darimu; dengan apa yag tidak engkau pahami,
Sendiri, janganlah berpura-pura.
Tidakkah sepatutnya bahwa Hakikat,
Yang terejawantah, akan menyembunyikan dirinya dalam dirimu
59.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KELUHURAN (FANA) DAN KEBAKAAN
Keluhuran adalah suatu keadaan yang di dalamnya seluruh hasrat meluruh darinya, sehingga para Sufi itu tidak mengalami perasaan apa-apa, dan kehilangan kemampuan membedakan; dia telah luruh dari segala sesuatu, dan sepenuhnya terserap pada sesuatu yang menyebabkan dia luruh, maka Amir ibn Abdillah berkata : “Aku tidak peduli apakah aku melihat seorang perempuan atau sebuah tembok.” Lalu Tuhan sendiri mengawasinya, dan mengawasinya sedemikian rupa sehingga dia melaksanakan tugas-tugasnya dmei Tuhan dan menuruti segala kehendak-Nya; dia sepenuhnya terjaga dalam memberikan apa yang menjadi hak Tuhan, dan dia terjauh dari segala minat pribadi serta penentangan terhadap Tuhan, sehingga dia sama sekali tidak bermaksud menetang-Nya. Inilah yang dimaksudkan dengan perlindungan Tuhan (“ishmah) dan pada hal inilah hadits yang termasyhur itu mengacu : “Aku menjadi telinga dan mata baginya.”
Kebakaan, yang mengikuti keluruhan, mengandung arti bahwa para Sufi itu meluruh dari sesuatu yang menjadi miliknya sendiri, dan tetap tinggal dikarenakan sesuatu yag menjadi milik Tuhan,. Salah seorang tokoh Besar Sufi berkata : “Kebakaan adalah keadaan para Nabi.” Mereka berpakaian secarik GOA (Sakinah) dan apa –pun yang mendatangi mereka tidak akan mencegah mereka melaksanakan tugas-tugas mereka terhadap Tuhan, dan untuk menerima karunia-karunia-Nya; sebab, “Tangan Allah-lah yang selalu terbuka; Dia memberi karunia menurut cara yang Dia kehendaki.” Kalau seseorang itu baka, maka, segala sesuatu baginya menjadi hanya satu saja, dan semua yang diperbuatnya selaras, bukan sebaliknya, sengan Tuhan; dia luruh dari yang tidak selaras dan tetap tinggal pada yang selaras. Nah, kenyataan bahwa “segala sesuatu baginya menjadi hanya satu saja” tidak mengisyaratkan bahwa yang tidak selaras itu menjadi selaras baginya, atau bahwa larangan menjadi sama dengan perintah baginya, Hal itu semata-mata berarti bahwa apapun yang terjadi padanya, terjadi sesuai dengan perintah dan keridhaan Tuhan, jadi tak ada sesuatu pun yang tidak menyenangkan Tuhan. Apa yang dilakukannya, dilakukannya demi Tuhan, bukan demi kesenangannya sendiri, baik di dunia kini maupun di dunia nanti. Inilah yang dimaksudkan oleh ungkapan Sufi “Dia luruh dari gelarnya sendiri dan tinggal dalam gelar Tuhan,” sebab apa yang dilakukan oleh Tuhan, Dia llakukan demi yang lain, bukan demi diri-Nya sendiri, tiak mencari keuntungan dari situ ataupun menghindari bahaya. === Tuhan jauh dari semua itu== tapi semata-mata untuk mendatangkan keuntungan atau kerugian bagi yang lain. Sama halnya, para Sufi yang baka dikarenakan Tuhan, dan luruh dari dirinya, melakukan apa yang dilakukannya bukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau untuk menghindari kerugian; Seluruh perasaan pribadi dan hasrat untuk mendapatkan keuntungan pribadi telah hilang dari dirinya. Nah, ini hanya mengacu paa maksud dan tujuan; jangan ditafsikan bahwa hal ini mengisyaratkan bahwa para Sufi itu tidak mengalami kesenangan sama sekali dalam melaksanakan tugasnya terhadap Tuhan, maka dia tidak mengharapkan adanya pahala ataupun takut akana danya hukuman. Adalah benar bahwa dua perasaan ini, pengharapan dan ketakutan, terus menerus ada dalam dirinya; tapi dia mengharapkan pahala dari Tuhan hanya agar selaras dengan Tuhan, sebab Tuhan menghendaki itu bagi dirinya, dan telah memerintahkannya untuk meminta itu darinya, dan dengan demikian dia tidak bertindak demi kesenangan sendiri, sama halnya, dia takut akan hukuman Tuhan karena dia menghormati Tuhan dan ingin selaas dengan-Nya. Dan Tuhan membuat makhluk-makhluk-Nya merasa takut. Maka dalam segala perbuatannya dia bertindak demi kesenangan yang lain, bukan demi kesenangannya sendiri. Dalam arti inilah pepata ini mestinya dipahami; “Orang yang beriman itu makan untuk memenuhi selera keluarganya.” Salah seorang tokoh Sufi menggubah baris-baris syair berikut ini :
Dari ranti diri dan kedirian yang mencekik
Tuhan membebaskannya; dan kemudian
Memakaiakan lagi padanya lempung yang lember,
Sehingga rahasia-rahasia Tuhan bisa terlihat,
Maka bentuk dari bentuk harus ditarik.
Pada fajar mempesona dari wahyu.
Kehendak Tuhan yang gpasti dan Mahakuasa
Akan mengisi setiap hati dengan kegairahan
Arti yang menyeluruh dari keluruhan dan kebakaan adalah bahwa para Sufi itu meluruh dari perasaan-perasaannya sendiri, dan tinggal di dalam perasaan-perasaanmilik yang lain.
Juga ada jenis lain dari keluruhan, yang merupakan keluruhan kesadaran akan ketidakselarasan (dengan Tuhan) dan dari semua perbuatan yang secara sengaja ditujukan pada ketidak-selarasan, dan untuk baka secara selaras dengan (Tuhan), dengan senagaja dan sungguh-sungguh mengarahkan tujuannya pada keadaan itu dalam setiap perbuatannya. Dalam hal ini ada juga keluruhan dari penghormatan terhadap sesuatu seain Tuhan dan baka untuk menghormati Tuhan. Arti yang terakhir itu tampak dalam contoh yang diceritakan mengenai Abu Hazim. Dia berkata : “Apakah dunia ini? Yang telah lewat adalah impian, dan yang ada sekarang merupakan harapan yang sia-sia dan angan-angan. Dan apakah setan itu, sehingga dia mesti ditakuti? Jika dia dipatuhi, dia tidak mendatangkan keuntungan, Jika dia tidak dipatuhi, dia tidak mendatangkan kerugian.” Dia berkata begitu seolah-olah dunia dan setan itu tidak ada baginya. Keluruhan perasaan-perasaan pribadi terlukis dalam cerita Abdullah ibn Mas’ud, yang berkata : “Aku sebelumnya tidak tahu bahwa ada di antara para sahabat Muhammad yang menghendaki dunia, hingga Tuhan berkata, Di antaramu ada yang menghendaki kesenangan dunia dan ada pula yang menginginkan kebahagiaan akhirat.” Dia telah luruh meninggalkan segala hasrat untuk dunia ini. Dalam hal ini termasuk juga kata-kata Haritsah : “Aku brpaling dari dunia ini, dan seolah-olah aku melihat Singgasana Tuhan tampil.” Dia telah luruh meninggalkan yang sementara menuju yang kekal, dan dari semuanya yang lain menuju Yang Mahakuasa, Sama halnya dengan cerita Abdullah ibn Umar. Seserang menyalaminya pada waktu dia sedang mengelilingi Ka’bah , dan dia tidak menyahutsalam orang itu. Orang itu mengeluhkan hal itu pada beberapa temannya; dan Abdullah berkata : “Kami melihat Tuhan di temept itu.” Sama halnya juga dengan kata-kata Amir ibn ‘Abd al-Qays “ Aku lebih suka ditembus pucuk lembing berkali-kali, daripada mengalami peristiwa seperti yang baru saja kamu sebutkan.” Uaitu, pada saat dia sedang beroda. Di ceritakan bahwa Al Hasan berkata : “Orang yang sama dengan dia, tidak dipilih Tuhan di antara kita.” Adalagi suatu keluruhan yang lebih jauh, yang berarti tidak sadar sama sekali akan hal-hal luaran sebagai yang terjadi pada Musa, ketika Tuhan menurunkan Wahyu di bukit : “Musa pun tersungkur pingsan.” Dan pada keadaan yang berikutnya, Dia yang membuatnya tidak sadar, tidak juga memberi ketenangan kepadanya mengenai hal itu.
Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Tanda keluruhan sang Sufi adalah keluruhannya dari hasratnya akan dunia ini dan dunia nanti, kecuali hasratnya akan Tuhan. Maka akan turun untuknya sebuah wahyu dari kekuatan Tuhan yang memperlihatkan kepadanya bahwa hasratnya akan Tuhan meninggalkannya demi penghormatannya kepada Tuhan; lalu turun untuknya sebuah wahyu dari Tuhan yang memperlihatkan kepadanya keluruhan hasratnya kepada penglihatan akan Tuhan; dan yang tinggal adalah penglihatan akan sesuatu yang menjadi milik Tuhan, Tuhan yang Esa dan Kekal hanya sendiri di dalam keesaanya; dan dengan Tuhan tidak ada kefanaan atau kebakaan untuk yang lain selain Tuhan.” Kata-kata “Luruhnya dia meninggalkan hasratnya akan dunia ini” mengandung arti pencarian akan benda-benda material, dan “dunia nanti” berarti pencarian pahala. “Hasrat akan Tuhan”-nya baka, sebab itulah keridhaan Tuhan dengannya dan kedekatannya dengan-Nya. Lalu datang kepadanya penghormatan kepada Tuhan, bahwa Dia akan mendekat atau merasa senang dengan yang seperti dia, maka dia memandang rendah dirinya sendiri dan menghormati Tuhan. Akhirnya datang kepadanya suatu keadaan yang di dalamnya hak Tuhan sepenuhnya menelan dirinya, dan membuatnya tidak sadar akan penglihatan akan sifatnya sendiri, yaitu penglihatan akan keluruhan hasartanya. Kemudian tinggal-lah dalam dirinya suatu yang datang dari Tuhan untuk dirinya; sedang apa yang datang dari dirinya untuk Tuhan , meninggalkan dirinya. Maka jadilah dia seperti ketika ada dalam pengetahuan Tuhan, sebelum Tuhan memunculkan dirinya dan ketika sesuatu yang datang kepadanya dari Tuhan, datang tanpa adanya tindakan dari dirinya.
Keluruhan bisa juga diungkapkan dengan cara yang lain; yakni menjauh dari sifat-sifat manusia dalam (menanggung) beban menakutkan sifat-sifat Tuhan, sehingga sifat-sifat manusai, yaitu kebodohan dan ketidak adilan, hilang, seperti firman Tuhan : “Lalu amanat itu diterima oleh manusia, Dengan demikian, manusia itu sangat zalim dan bodoh.” Sifat-sifat itu juga termasuk tiak tahu bersyukur, tidak kenal terimakasih dan setiap sifat yang patutu disalahkan; dan semua ini hilang, dalam arti bahwa pengetahuan Tuhan menang atas kebodohan manusia, keadilan Tuhan atas ketidakadilan manusia, teima kasih Tuhan atas kekufuran manusia, dan seterusnya, Abul Qasim Faris berkata : “Keluruhan adalah keadaan seseorang yang tidak menyaksikan sifatnya sendiri, tapi menyaksikannya sebagai disembunyikan oleh Dia yang membuat sifat itu lenyap,” Dia juga berkata : “Keluruhan sifat manusia jangan ditafsirkan sebagai tidak ada, tapi tafsikan baha sifat itu tertutup oleh suatu kesenangan yang menggantikan realisasi rasa sakit,” Kesenangan ini, yang muncul pada diri Sufi dalam keadaan kejiwaannya, adalah seperti yang menimpa kerabat-kerabat wanita Yusuf; “Mereka mengiris jarao-jari mereka sendiri.” Sebab sifat-sifat mereka sendiri telah lenyap dikarenakan kesenangan yang memenuhi hati mereka ketika melihat Yusuf, dan Yusuf membuat mereka tidak sadar akan rasa sakit yang mereka derita dikarenakan jari-jari mereka yang teriris. Dalam masalah ini, salah seorang dari tokoh-tokoh senagkatan kami menulis syair berikut ini :
Kala wanita-wanita Mesir itu mengiris tangan mereka
Dikarenakan ketampanan rupa seseorang,
Mereka tahu mengenai pesona, yang menahan
Semua kejutan, dan tak merasa marah.
Pupuslah sudah sifat manusia mereka,
Kesenangan dan ketidaksenangan,
Hapuslah sudah semua kebiasaan
Mereka tidak mengacuhkan tapak tangan yang berdarah
Tapi dia, sang istri pangeran
Tiada mengiris tangannya, tak membiarkannya berdarah;
Sebab Yusuf adalah cinta dan kehidupannya,
Dan Yusuf tak ikut campur dalam perbuatan itu.
Syair berikut ini juga melukiskan keadaan keluruhan :
Maka kami mengingat ---- nama kealpaan
Bukanlah kebiasaan kami, tapi cahaya bersinar,
Udara gaib terhirup, dan Tuhan dekat.
Lalu hilang lenyaplah kedirian, dan aku
Ada sendiri bersama Tuhan, yang dengan kabar jelas
Bersaksi ata Dzat-Nya dan dengan itu di kenal
Beberapa tokoh Sufi menganggap keadaan-keadaan ini sebagai suatu keadaan tunggal, lepas dari kenyataan bahwa berbaga istilah diterapkan untuk keadaan-keadaan itu. Maka mereka menyetarakan keluruhan dengan keberkesinambungan, pemusatan dan pemisahan, dan begitu juga kehadiran dengan ketidakhadiran, kemabukan dengan kewarasan. Sebab Sufi itu pergi meninggalkan apa yang menjadi milik Tuhan; sementara, sebaliknya, dia bukan bersama apa yang menjadi milik Tuhan, dan dengan demikian pergi meninggalkan apa yang menjadi miliknya. Ketika dia pergi, dia juga terpusat, dia juga terpisah, sebab dia tidak menyaksikan sendiri, Begitu pula kerabat-kerabatnya. Dia baka sebab Dia tinggal bersama Tuhan, Yang memusatkannya pada Diri-Nya sendiri; dia pergi meninggalkan sesuatu yang selain Tuhan, sebab dia terpisah dari sesuatu itu. Dia tak hadir dan mabuk, sebab kemampuan membedakan itu – yang telah kami jelaskan dalam hubungannya dengan kesenangan dan kesakitan – hilang, dan dalam hal ini, segala sesuatu menjadi satu baginya. Dia tidak menyaksikan gejala ketidakselarasan, sebab Tuhan hanya memerintahkannya agar bertindak selaras dengan diri-Nya. Pembedaan hanya bisa terjadi dalam hubungannya dengan dua hal; dan kalau segala hal telah menjadi satu saja maka pembedaan itu habislah.
Kelompok yang lain menjelaskan keluruhan sebagai berikut : “Para Sufi itu dijauhkan dari setiap jejak pribadi (rasm) dan dari semua jejak semacam itu tanpa dirinya (marsum), sehingga selama masa (waqt) gaibnya dia tinggal tanpa kebakaan sepanjang yang bisa dipahaminya, tanpa pergi meninggalkan sepanjang dia sadar, dan tanpa masa sepanjang dia memahami; tapi penciptanyalah yang tahu mengenai ketetapan tinggalnya dan kepergiannya, dan Dia menjaganya dari setiap tindakan yang patut di cela.
Mereka berselisih paham mengenai masalah apakah para Sufi yang telah luruh, akan pernah kembali lagi pada sifat-sifatnya. Sebagian mengatakan bahwa para Sufi itu pasti kembali dan bahwa keadaan keluruhan itu tidak tetap; sebab, jika tidak begitu, maka anggota-anggota tubuh pra Sufi itu akan kehilangan manfaatnya untuk melaksanakan tugas-tugas keagamaan, dan jelas tidak akan mampu melakukan sesuatu pun dalam hubungannya denga kehidupannya di dunia ini, begitu juga di dunia nanti. Dalam hubungan ini, Abu’l Abbas ibn Atha telah menulis sebuah buku yang berjudul “Kembalinya dan Asal Mula Sifat-sifat. Tapi tokoh-tokoh besar Sufi, dan mereka yang memiliki pengalaman-pengalamana yang bernar, di antaranya al-Junaid, al-Kharraz dan An-Nuri, tidak beranggapan bahwa para Sufi itu tidak kembali kepada sifat-sifatnya sendiri setelah keluruhannya itu. Mereka mendebat dengan mengatakan bahwa keluruhan itu merupakan suatu karunia dan pemberian Tuhan bagi Sufi itu, suatu tanda kesukaan khusus, bukan suatu kondisi yang dicari, itu merupakan suatu yang diberikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang telah dipilih-Nya dan ditunjuk-Nya sendiri. Oleh karena itu, jika Dia mengenbalikan Sufi itu pada sifatnya sendiri, Dia akan mengambil lagi apa yang telah diberikan-Nya, dan menjemput kembali apa yang telah diserahkan-Nya, dan ini tidak cocok dengan sifat Tuhan; atau jika hal itu dianggap sebagai akibat dari suatu perubahan pikiran, maka itu merupakan sifat oarng yang mencari pengetahuan lebih banyak, dan ini disangkal dalam hubungannya dengan Tuhan; atau jika ini ditafsirkan sebagai suatu tipuan atau kecohan, maka Tuhan tidak bisa dikatakan sebagai tukang tipu, dan Dia tidak pernah mengecoh orang-prang beriman, Dia hanya mengecoh orang-orang munafik dan orang-orang gkafir. Keluruhan bukan merupakan suatu keadaan yang bisa dicapai dengan kebaikan pribadi, dan bahwa kebalikannya harus juga dicari secara demikian.
Jika disangkal bahwa Sufi itu nantinya akan berpaling dari iman, yang merupakan taraf tertinggi, sebab dengan itu semua keadaan telah dapat dicapai, inilah jawaban kami. Iman yang dirinya seseorang itu kebali adalah iman yang telah didapatkannya lewat pengakuan lidah dan perbuatan anggota-anggota tubuhnya; iman yang semacam itu tidak bercampur dalam hatinya yang sesungguhnya, baik sebagai suatu perwujudan yang langsung maupun suatu kepercayaan yang benar. Dia hanya mengakui tanpa mengetahui kebenran apa yang diakuinya; seperti yang dituturkan dalam hadits : “Malaikat (kematian) akan datang kepada seseorang ketika dia telah berada dalam kubur, dan akan bertanya : “Apakah yang kamu katakan mengenai orang ini? Dia akan menjawab : “Aku mendengar orang ini mengatakan sesuatu dan karena itu aku mengatakannya.” Orang yang semacam itu adalah seorang peragu, dan tidak memiliki kepastian. Atau, kalau tidak, maka dia mengakui dengan lidahnya, tapi mengingkari dengan diam-diam pengakuannya itu; maka orang munafik itu mengakui dengan lidahnya, sedang hatinya mengingkari pengakuannya itu, dan diam-diamm menentangnya. Atau mungkin dia mengakui dengan lidahnya, dan tidak mengingkari pengakuan itu atau diam-diam menentangnya, di dalam hatinya, tapi apa yang diakuinya itu tidak ada kebenarannya, baik lewat pemikiran maupun lewat ilham; dia belum mendapatkan pembuktiannya lewat ilu sehingga dia memiliki bukti-bukti kebernarnnya, dan dia belum merasakan di dalam hatinya suatu keadaan kejiwaa yang akan bisa menghilangkan keraguannya. Seperti apa pun masalahnya, kedukaan merupakan bagian yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk dirinya; keraguan timbul dalam dirinya, yang dikarenakan entah oleh pikirannya sendiri ataupun oleh pendebatan-pendebatan orang lain; dia tergoda, dan berpaling dari iman kepada kebalikannya. Sedangkan mengenai orang yang yang diberi bagian yang lebih baik dari Tuhan, tidak ada keraguan dalam dirinya, dan semua sangkalan meninggalkannya; sebagai akibat dari apa yang telah didapatkannya dari pengetahuan di dalam kitab dan Sunnah, dengan bukti-bukti yang masuk akal, yang menghapuskan pikiran-pikiran jelek serta serta menolak segala keraguan akibat pendebatan itu, sebab tidaklah mungkin sesuatu yang benar itu ditentang dengan bukti-bukti yang juga benar, dan dengan begitu maka tidak ada keraguan pada dirinya sama sekali. Juga, karena dia telah mendapatkan iman yang benar, dan Tuhan sendiri, lewat perlindungan-Nya, menolakkan bagi dirinya segala pikiran jelek dan dengan demikian juga menolakkan dari dirinya para pendebat yang mendatangkan keraguan-keraguan dengan karunia-Nya yang istimewa, sehingga dia tidak lagi harus menemui para pendebat itu, maka kebenaran imannya akan aman, meskipun dia mungkin tidak memiliki kemampuan membeberkan yang dibutuhkan untuk bedebat dengan pendebat itu, atau untuk menghalau pikirannya sendiri; atau kalau tidak, karena kebenaran dari pengakuannya telah ditegaskan dengan penglihatan atau ilham, sebagaimana halnya dengan Haritsah, yang mengatakan kepada kita bahwa dia benar-benar melihat apa yang dipercayainya; sehingga sesuatu yang (secara normal) tidak ada, menggantikan apa yang ada, sebab dia berkata bahwa dia berpaling dari dunia yang terlihat ini, dan yang tidak terlihat menjadi terlihat baginya, dan yang terlihat tak terlihat – maka Al-Darani berkata : “Mata hati mereka terbuka dan mata kepala mereka tertutup.”
Kalau pengakuan seseorang itu dibenarkan dengan jalan ini maka dia tak akan kembali dari akhirat ke dunia kini, atau meninggalkan sesuatu yang lebih baik untuk sesuatu yang lebih buruk. Ini semua merupakan sarana-sarana yang digunakan oleh Tuhan untuk melindungi, dan itu merupakan suatu bukti janji-Nya : “Tuhan memberi jawaban yang pasti kepada yang beriman, baik dalam kehidupan di dunia kini maupun di dunia nanti.” Oleh karena itu, ditegaskanlah bahwa orang yang sungguh-sungguh beriman itu tidak dapat digoyahkan dari imannya, sebab iman itu merupakan karunia, pemberian dan tana kesukaan yang istimewa dari Tuhan untuk dia; jauh sekali Tuhan dari perbuatan mengambil kembali apa yang telah Dia berikan, atau menjemput kembali apa yang telah Dia anugerahkan.
Nah, iman yang sesungguhnya itu, dan iman yang semata-mata merupakan formalitas saja, masing-masing memiliki ketrampilan yang sama, tapi sifat-sifat keduanya yang sebenarnya berbeda, sebaliknya keluruhan itu, dan semua keadaan istimewa lainnya, secara lahiriah tampak berbeda, tapi sifat-sifat yang sebenarnya sama. Keadaan-keadaan itu bukan merupakan akibat kebaikan pribadi, melainkan sebagai tanda keridhaan (Tuhan). Oleh karena itu, tidak masuk akal-lah kalau orang mempertahankan pendapat bahwa Sufi itu, yang telah pergi, kembali lagi kepada sifat-sifatnya sendiri. Jika seseorang penganut pendapat ini, sedangka dia telah menegaskan bahwa Tuhan memilih dan menunjuk sendiri Sufi itu, dan sesudah itu mengembalikannya lagi pada keadaannya yang semula, maka berarti dia menyatakn bahwa Tuhan memilih apa yang sesungguhnya tidak Dia pilih, dan menunjuk apa yang sesungguhnya tidak Dia tunjuk. Hal ini, jelas tidak masuk akal; sama tidak masuk akalnya kalau dikatakan bahwa hal itu mungkin saja, dengan maksud untuk meltih Sufi itu dan menjaganya dari godaan, sebab Tuhan tidak menjaga apa yang telah diberikan-Nya kepada hamba-Nya dengan maksud untuk mengambilnya lagi, atau mengembalikan orang itu dari keadaan yang lebih tinggi ke keadaan yang lebih rendah. Ini terlukais dalam kisah para nabi; sebab pendapat yang semacam itu, seperti yang sebelumnya, akan mengisyarakatkan bahwa mustahil bagi Tuhan menjaga para Nabi agar tidak terkena godaan, maka diturunkannya taraf para Nabi tersebut ke taraf para wali atau bahkan ke taraf yang lebih rendah lagi, dan itu tidakm masuk akal. Kebaikan Tuhan dalam menjaga para Nabi-nya dari berbuat dosa, dan menjaga orang-orang suci-Nya dari godaan, terlalu banyak untuk di hitung atau diingat-ingat, dan kekuasaan-Nya terlalu besar untuk dibatasi menjadi satu atau dua tindakan saja.
Jika suatu sangkalan, yang menyatakan bahwa kasus orang yang kepadanya telah dibawakan tanda-tanda Tuhan, “dan kemudian berpantang mempercayainya.” Dipakai menyangkal pendapat ini, maka sangkalan itu tidak sah. Orang yang “berpantang mempercayainya” itu sama sekali tidak pernah merasakan keadaan kejiwaan atau mengalami keadaan itu, dan dia tidak pernah terpilih atau ditunjuk (oleh Tuhan); sebaliknya, dia dibawa pelan-pelan menuju kehancuran, sebab dia kena tipu dan kena kecoh. Secara lahiriah dia mendapatkan tanda-tanda orang terpilih, tapi dalam kenyataannya dia adalah orang yang ditolak’ secara lahiriah dia terhiasi dengan kesibukan-kesibukan yang berharga dan rangkaian doa-doa suci, tapi hatinya buta dan kesadarannya terselubungi. Dia tidak pernah mengetahui nikmatna pilihan itu, atau merasakan senangnya iman, dan dia tidak pernah mengenal Tuhan dengan cara merasakan ehadiran Dia (Syuhud); begitulah yang dimaksud oleh Tuhan ketika Dia berfirman : “Dan dialah salah seorang dari yang terperdaya.” Demikian juga berfirman semnegani iblis : “Dan dia termasuk yang kafir.” AL-Junaid berkata : “Iblis tidak pernah bisa merenung kalau dia masih ingkar.” Abu Sulaiman berrkata : “Seseorang itu tidak akan kembali, kecuali dia yang dalam perjalanan; jika mereka telah tiba di tujuan, mereka tidak akan pernah kembali.”
Sufi yang telah luruh dijaga dalam melaksanakan tugas-tugasnya kepada Tuhan, sebagai yang dilukiskan dalam kisah berikut ini. Seseorang berkata kepada Al-Junaid : “Abu’l Husain al-Nuri terlah berdiri selama beberapa hari di masjid Syunizi, tanpa makan, minum, atau tidur, dan setiap saat dia berkata. “Tuhan, Tuhan.” Dan dia bersembahyang pada waktu-waktu yang tepat.” Lalu seseorang yang berdiri di sampingnya berkata : “Dia waras.” Al-Juanid berkata : “Tidak! Orang yang mengalami ekstase itu dijaga oleh Tuhan dalam ekstase mereka.”
Nah, jika Sufi yang telah luruh itu tidak kembali kepada sifata-sifat yag manapun, maka dia tidak akan kembali kepada sifat-sifatnya sendiri, melainkan ditempatkan dalam keadaan yang di sana dia tetap tinggal bersama siffat-sifat Tuhan. Orang yang luruh itu tidak hilang akal, atau gila; tidak pula sifat-sifat kemanusiaannya lenyap, sehingga dia akan menjadi malaikat atau hantu; dia hanya luruh dari perasaan-perasaannya sendiri, sebagai yang telah kami jelaskan sebelumnya.
Orang yang luruh itu bisa jadi seperti salah satu dari dua jenis yang ada. Dia mungkin seperti orang yang tidak bisa dianggap sebagi seorang pemimpin atau teladan; keluruhannya bisa jadi berarti mangkir dari sifat-sifatnya sendiri, sehingga dia tampak benar-benar gila dan hilang akal, sebab dia tidak bisa lagi membedakan apa yang bisa mendatangkan keuntungan baginya, dan tidak lagi mencari kesenangannya sendiri; dan juga karena dia dijaga hanya untuk melaksanakan tugas-tugasnya kepada Tuhan. Di antara orang-orang yang semacam itu, banyak yang termasuk umat (Muhammad), yaitu Hilal si orang Habsyi, budak Al-Mughirah ibn Syu’bah yang hidup pada masa Nabi, dan yang disebut-sebut oleh Nabi secara istimewa; Uwais al-Qarni, yang hidup pada masa Umar ibn al-Khattab, dan yang di sebut-sebut oleh Nabi (sebelumnya) di hadapan Umar dan Ali; dan banyak yang lain-lainnya lagi. Sebaliknya, orang yang luruh itu bisa jadi seorang pemimpin yang patut diikuti; mengatur mereka yang mendekatkan diri kepadanya; orang semacam itu ditunjuk untuk mengatur dan memberi pelajaran bagi kerabat-kerabatnya. Dia dipindahkan ke dalam keadaan-keadaan, dan dia mengatur urusan-urusannya lewat sifat-sifat Tuhan, bukan oleh sifat-sifatnya sendiri, dengan cara-cara yang telah kami jelaskan sebelumnya. Seseorang bertanya kepada Al-Junaid : “Apakah firasat (firasah) itu?” Dia menjawab : “Firasat adalah hilangnya kecermatan.” Yang lain berkata : “Apakah orang yang memiliki firasat mendapatkan sifat itu pada saat hinggapnya kecermatan itu saja, atau dia memilikinya selamanya? Dia menjawab : “Selamanya. Itu merupakan suatu pemberian (Tuhan) dan karenanya ada bersama dia terus menerus.” Dengan begitu Al-Junaid mengisyaratkan bahwa pemberian (Tuhan) itu ada terus menerus.
Jika seseorang mengikuti dengan sekssama kitab-kitab Sufi, dan mengerti acuan-acuannya, dia akan tahu bahwa doktrin mereka adalah seperti ayng kami tuturkan. Sesungguhnya, doktrin ini dan masalah-masalah serupa ini oleh orang-orang sufi tidak didokumentasikan atau dituliskan; tapi doktrin itu mereka kenal dari pemahaman mereka yang benar mengenai teka-teki doktrin itu dan dari tanggapan yang benar berkenaan dengan isyarat-isyarat doktrin itu. Tuhanlah yang paling tahu.
60.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI HAKIKAT MA’RIFAT
Salah seorang Syeikh berkata : “Ma’rifat terdiri atas dua jenis; Ma’rifat kebenaran dan ma’rifat hakikat. Ma’rifat kebenaran merupakan penegasan Keesaan Tuhan atas sifat-sifat yang dikemukakan-Nya. Sedang ma’rifat hakikat adalah ma’rifat yang tidak bisa dicapai dengan alat apa pun, disebabkan oleh sifat (Tuhan) yang tak dapat ditembus dan tahkik ketuhanan-(Nya) mustahil dipahami; Tuhan berfirman : “Sedang pengetahuan mereka tidak dapat menjangkau-Nya.” Dia adalah Yang Tak Dapat Ditembus, Hakikat yang gelar-gelar dan sifat-sifatnya tak dapat dilihat.”
Salah seorang tokoh Sufi berkata : “Ma’rifat adalah panggilan hati lewat berbagai tafakur untuk menghayati ekstase-ekstase yang ditimbulkan oleh kegiatan zikir, sesuai dengan tanda-tanda pengungkapan (hakikat) yang berurutan.” Maksudnya, hati menyaksikan kekuasaan-Nya, dan merasakan besarnya kebesaran Tuhan dan Mulia-Nya, Kehebatan-Nya, yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Al-Nunaid ditanya : “Apakah ma’rifat itu? Dia menjawab : “Ma’rifat adalah beradanya hati di antara pernyataan kebesaran Tuhan yang tak bisa dipahami dan pernyataan kehebatan-Nya yang tak bisa dirasakan.” Pada saat lain dia ditanya dengan pertanyaan yang sama dan dia menjawab : “Ma’rifat berarti mengetahui bahwa apap pun yang engkau bayangkan dalam hatimu, Tuhan merupakan kebalikannya. Kenapa sampai terjadi kekacauan itu! Tuhan tidak merupakan bagian dari orang mana pun, dan orang itu tidak merupakan bagian dari Tuhan. Dia, adalah suatu kemaujudan yang bergerak ke sana ke mari di dalam ketiadaan. Ungkapan itu tidak ditujukan untuk Dia; Seba makhluk-makhluk itu didhului oleh sesuatu, dan yang didahului itu tidak dapat memahami yang mendahului.” Arti kata-kata “Dia adalah suatu kemaujudan yang bergerak ke sana ke mari di dalam ketiadaan” adalah bahwa orang yang mengalami keadaan ini (adalah suatu maujud, dan seterusnya); dia (yaitu al-Junaid) berkata bahwa dia ada dalam padangan mata dan penglihatan, tapi tidak dalam pandangan gelar dan sifat. Al-Junaid juga berkata : “Ma’rifat adalh pikiran yang mempersaksikan masalah-masalah mengenai kepulagan, dan bahwa ahli ma’rifat tidak memiliki kekuasaan, baik sehubungan dengan keberlebihan ataupun kelemahan.” Yang dimaksudkannya adalah bahwa ahli ma’rifat tidak mempersaksikan sendiri keadaannya, melainkan pengetahuan Tuhan kan dirinya, dan bahwa kepulangannya adalah menuju tepat yang telah diadakan untuknya oleh Tuhan sejak sebelumnya, dan bahwa dia di awasi oleh (Tuhan) baik dalam ibadah maupun dalam kekuarangannya. Salah seorang tokoh Sufi berkata : “Kalau ma’rifat masuk ke dalam hati, hati tidak mampu menanggungnya, ma’rifat bagaikan matahari yang sinarnya mencegah pelahitnya merasakan batas dan esensinya.” Ibn al-farghani berkata : “Yang mengetahui bentuk (rasm) itu merasa bangga, yang mengetahui kesan (wasm) itu merasa bingung, yang mengetahui yang telah pergi sebelumnya merasa tidak berdaya, yang mentehaui Tuhan itu teguh, dan yang mengenal Yang Mahapengatur itu hina.” Yang dimaksudkannya adalah baha jika seseorang bersaksi atas dirinya sendiri bahwa dia melaksanakan tugas-tugasnya bagi Tuhan, da bertindak sia-sia, jika dia bersaksi atas apa yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya sebelumnya, dia bingug, sebab dia tidak tahu tentang pengetahuan Tuhan mengenai dirinya, atau apa yang telah dituliskan oleh Pena mengenai dirinya, jika dia tahu bahwa apa yang telah ditakdirkan untuknya itu tidak dapat dimajukan atau dimundrkan, dia kurang pandai mencari; jika dia mengenal Tuhan, dakn kekuasaan Tuhan atas dirinya, dan bahwa cukuplah Tuhan itu baginya, dia teguh dan tidak dibingungkan oleh hal-hal yang menakutkan atau oleh kebutuhan-kebutuhannya, dan jika ia tahu bahwa Tuhan menguasai segala urusannya, dia merendahkan dirinya di bawah ketetapan dan penilaian Tuhan. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Jika Tuhan memberinya pengetahuan mengenai Dia, maka Dia menempatkan apdanya ma’rifat yang membuatnya tidak merasakan cinta, ketakutan, harapan, kemelaratan atau kekayan, sebab semua ini merupakan tujuan, dan Tuhan jauh dari itu.” Yang dimaksudkannya adalah bahwa dia merasakan keadaan-keadaan ini, sebab keadaan-keadaan itu merupakan gelar-gelarnya sendiri; dan gelar-gelarnya itu jauh dari cukup untuk mendapatkan apa yang merupakan hak Tuhan. Puisi berikut ini dianggap sebagai karya salah seorang tokoh besar Sufi :
Engkaulah peindungku, Tuhan, dan penjagaku,
Engkau jauhkan aku dari wabah yang riuh;
Engkaulah harapanku di hadapan laan-lawanku,
Dan kalu aku haus, Engkau puaskan hausku,
Hamba Tuhan itu mengambil kuda, sebab dia berharap
Dapat mendaki tebing surga tertinggi yang rahasia,
Lalu, tenggelam dalam lorong tak berujung;
Dia pelajari setiap mukjizat yang dikandungnya.
Dia merobek perekat rahasia yang mengandung
Obat ajaib bagi hati dia yang mencintai;
Tapi ketika bertemu, dia begitu takjub
Hingga, walau masih hidup, tampak matilah dia.
Yang dimaksudkannya adalah bahwa dia begitu takjub dan bingung dikarenakan perasaan batinnya berupa penghormatan dan rasa terpesona akan Tuhan, sehingga ketika orang melihat dirinya, dia tampak bagaikan sudah mmati, meskipun dia masih hidup, dan meluruh dari memikirkan apa-apa yang menjadi miliknya, sebab dia tidak memiliki sendiri kekuatan untuk memajukan atau memundurkan (apa yang telah ditakdirkan oleh Tuhan).
61.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PENGESAAN (TAUHID)
Pengesaan itu memiliki tujuh unsur : pemisahan yang kekad dari yang sementara, Menempatkan Yang Kekal di atas persepsi makhluk, tidak lagi menyekutukan gelar-gelar-Nya, menghlangkan prinsip sebab akibat dari gelar ketuhanan, mengangkat Tuhan di atas kekuasaan (makhluk) yang sementara untuk mempengaruhi atau mengubah Dia, dan memuliakan Dia atas segala pembedaan dan penghitungan (mental) serta menyatakan bahwa Dia lepas dari prinisp kias.
Muhammad ibn Musa al-Wasithi berkata : “Pengesaan itu adalah bahwa segala kemampuan lidah untuk berkata, atau segala kata untuk mengungkapkan, suatu pemuliaan atau pelepasan atau pemisahan itu, ada penyebabnya; padahal, hakikatnya jauh dari itu semua.” Maksudnya, semua ini termasuk dalam sifat-sifat atau gelar-gelar pribadi, yang seperti manusia juga, ada pembuatnya dan penyebabnya; sedangkan hakikat Tuhan itu adalah penyifatan oleh Dia Sendiri. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Pengesaan itu merupkana pemencilan dirimu sebagai seorang individu tunggal, dan itu berarti Tuhan membautmu tidak menyaksikan dirimu sendiri.” Faris berkata : “Pengesaan itu tidak benar sepanjang masih ada dalam dirimu kaitan pelepasan. Jika pengesaan itu ada dalam pembicaraan, Tuhan tidak melihat hati orang yang esa itu menyatu dengan-Nya, dan jika pengesaan itu ada dalam keadaan (hal), maka orang yang percaya kepada yang esa itu mangkir dari segala pembicaraan; tapi penglihatan akan Tuhan itu merupakan suatu keadaan yang menyebabkan para Sufi melihat segala sesuatu yang menjadi milik Tuhan. Bagaimana pun juga, tidak ada cara lain untuk mencapai pengesaan Tuhan, kecuali dengan pembicaraan atau keadaan. Salah seorang tokoh Sufi berkata : “Pengesaan berarti pemisahan dari diri sendiri sepenuhnya, tapi dengan satu syarat, yaitu melaksanakan sepenuhnya segala sesuatu yang dibebankan atas dirimu dan bahwa tak ada sesuatu pun yang akan kembali kepadamu untuk memisahkanmu dari Tuhan.” Maksudnya, seseorang harus berusaha keras untuk melaksanakan tugasnya terhadap Tuhan, sesudah itu membebaskan dirinya dari adanya kenyataan bahwa dia telah melaksanakan tugasnya; pengesaannya melepaskannya dari sifat-sifatnya sendiri, dan karena itu tidak ada sesuatu pun yang akan kembali kepadanya, sebab sifat-sifatnya itu akan memishakannya dari Tuhan. Al-Syibli berkata : “Para Sufi itu tidak mencapai pengesaan yang sesungguhnya, sampai dia merasa dilepaskan dari kesadarannya sendiri. Sebab Tuhan mengejawantah dalam dirinya.” Yang lain berkta : “Orang yang mempercayai keesaan Tuhan adalah orang yang dipisahkan oleh Tuhan sepenuhnya dari kedua dunia itu, sebab Tuhan melindunginya, dan Dia telah berfirman : “Kami adalah teladan-teladan kamu dalam kehidupan di dunia ini dan nanti.” Oleh karena itu Kami tidak menegembalikan kamu kepada wujud (ma’na) yang laind dari Kami, di dunia kini maupun nanti. Inilah tanda orang yang percaya kepada keesaan Tuhan itu; dalam dirinya tidak pernah melintas suatu ingatan penghargaan kepada apa pun yang tidak mengandung hakikat di hadapan Tuhan. Segala kesaksian terpaling dari kesadarannya dan segala keinginan akan balas jasa terlepas dari hatinya.” Dia tak melihat satu kesaksian pun, tak mengharapkan satu balas jasa pun, tak mempelajari satu rahasia pun dan tak mengacuhkan satu kebaikan pun. Sedangkan dalam( melaksanakan) tugas-tugasnya dia terselubung dari (memperhitungkan bahwa dia telah melaksanakan) tugas-tugasnya; dan meskipun dia teikat pada hasrat, ia mampu lepas dari hasrat itu. Dia tidak memiliki bagian dalam setiap bagian, sebab dia terkurung di dalam kecukupan dari segala bagian. Tuhan adalah bagian yang paling mencukupi; kalau dia merasa kurang dekat dengan Tuhan, maka dia kekuarangan segala sesuatu; walaupun mungkin dia memiliki segala sesuatu, dan kalau ddia menemukan Tuhan, dia merasa memiliki segala sesuatu, walau pun mungkin dia tidak memiliki benda sebesar atom pun.” Yang dimaksudkan penulis itu adalah bahwa sementara dia melaksanakan tugas-tugasnya, dia tidak melihat bahwa dia sedang melaksanakan tugas-tugasnya; dia juga melepaskan dari segala hasratnya, sementara dia melihat jiwanya mematikan hasrat-hasrat itu. Bagian untuk dirinya dari Tuhanadalah kemaujudan Tuhan; dia terkurung di situ, dan tak memiliki kekuatan untuk maju atau mundur. Salah seorang tokoh Sufi menulis puisi ini :
Maka, Kebenaran diketahui dalam ekstase,
Sebab, Kebenaran itu akan ada di mana-mana;
Dan bahkan akal yang paling cerdas pun gagal
Memahami rahasia ini
62.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PEMERIAN MA’RIFAT
Al-Hasan ibn Ali ibn Yazdaniyar ditanya : “Kapankah ahli ma’rifat itu bersama Tuhan?” Dia menjawab : “Ketika kesaksian itu muncul dan kesaksian-kesaksian itu hilang, indera-indera itu lenyap dan ketulusan musnah.” Ketia dia mengatakan : “Kesaksian itu muncul. Maksudnya adalah kesaksian Tuhan, yaitu apa yang dilakukan-Nya terhadap Sufi itu sebelumnya, kebaikan-Nya dan pemberian-pemberian ma’rifat, pengesaan dan iman kepada-Nya yang begitu banyak, pemikiran akan hal ini akan menyebabkan tindakan-tindakan para Sufi itu sendiri, kesalehan dan kepatuhannya sendiri, akan lenyap dari benaknya. Lalu dia akan melihat bahwa sebagian besar dirinya tertelan dalam sebagian kecil dari Tuhan, meski yang demikian Tuhan itu banyak dan yang dimilikinya sedikit. Keluruhan kesaksian adalh hilangnya pemikiran akan orang-orang lain, apakah mereka akan merugikan atau menguntungkan, menyalahkan ayau memuji, sementara lenyapnya indera-indera itu dicontohkan di dalam hadits (Qudsi) ini : “Lewat aku dia berkata dan lewat aku dia melihat.”. Musnahnya ketulusan berati bahwa ketika Sufi itu memikirkan sifatnya sendiri --- sebab sifatnya tunduk kepada penyebab, seperti dirinya sendiri – dia tiak lagi menganggap dirinya tulus, dan tidak lagi menganggap tindakan-tindakannya pernah atau kan tulus.
Dzul Nun ditanya : “Bagaimanakah kesudahan ahli Ma’rifat itu?” Dia menjawab : “Ketika dia tetap seperti dia sebelumnya di tempat dia sebelumnya di hadapan sesuatu yang dihadapinya sebelumnya.” Dengan ini, yang dimaksudkannya adalah bahwa dia merenungkan Tuhan dan tindakan-tindakan-Nya, bukannya merenungkan dirinya sendiri dan tindakan-tindakannya. Yang lain berkata : “orang yang paling mengenal Tuhan adalah orang yang paling bingung.” Dzu’l Nun ditanya : “Apakah langkah pertama yang harus diambil oleh ahli ma’rifat?” Dia menjawab : “Kebingungan, sesudah itu kebutuhan, sesudah itu penyatuan, sesudah itu kebingungan.” Kebingungan yang pertama adalah pada tindakan-tindakan dan karunia-karunia Tuhan terhadap dirinya; sebab, dia merasa bahwa rasa syukurnya kepada Tuhan tidak sesuai dengan karunia Tuhan itu, dan dia tahu bahwa dia perlu bersyukur lantaran karunia-karunia itu; bahkan, jika dia bersyukur, kesyukurannya merupakan suatu karunia yang harus disyukurinya. Dia merasa bahwa tindakan-tindakannya tidak cukup patut untuk membawanya bertemu Tuhan; sebab dia mengecilkan arti tindakan-tindakan itu, menganggap tindakan-tindakan itu sebagai kewajibannya, yang tidak akan terhapuskan dalam keadaan apapun. Dikatakan bahwa Al-Syibli pada suatu kesempatan berdiri untuk bersembahyang, dan menanti lama sekali, sesudha itu bersembahyang; dan setelah dia selesai bersembahyang dia berkata : “Aduh! Jika aku berdoa, aku menyangkal, dan jika aku tidak berdoa, aku tidak bersyukur.” Yang dimaksudkannya : “ Aku menyangkal besarnya kebaikan dan sempurnanya karunia (Tuhan), kalau aku bandingkan itu dengan tindakan bersyukurku yang buruk itu. Lalu dia mulai bersyair :
Kini, terrpujilah Tuhan, bahwa aku bagaikan seekor kodok
Yang makanan pokonya tersedia di air dalam
Dan membuka mulutnya, dan segera penuh;
Ia mempertahankan kedamaiannya, dan pasti mati dalam kesedihan
Kebingungan yang kedua adalah di dalam keliaran tanpa penyatuan yang tak berarah, yang di dalamnya pengertian ahli ma’rifat itu lenyap dan akalnya menciut di hadapan kebesaran kekuasaan, pesona dan keagungan Tuhan. Telah dikatakan : “Di sisi pengesaan ini terdapat keliaran yang di dalamnya pikiran-pikiran itu lenyap.” Abu’l-Sauda bertanya kepada salah seorang tokoh besar Sufi : “Apakah ahli ma’rifat itu memiliki kesempatan (waqt)?” Dia menjawab : “Tidak,” Yang lain bertanya : “Mengapa tidak?” Tokoh Sufi itu menjawab : “Sebab, kesempatan adalah suatu jarak waktu untuk penyegaran setelah kemarahan, dan ma’rifat itu (bagaikan) ombak yang menarik (ahli ma’rifat), terkadang mengangkatnya, terkadang membantingnya, dan kesemepatannya itu hitam dan gelap.” Lalu dia berkata :
Ma’rifat membuat satu tuntutan, dan hanya satu;
Bahwa, segala sesuatu darimu harus dihapuskan.
Maka, ketika penyelidikan panjang itu dimulai pertama kali,
Yang mencari, belajar menjaga kemurnian pandangannya
Faris berkata : “Ahli ma’rifat adalah seseornag yang pengetahuannya merupakan suatu keadaan kejiwaan, dan yang geraknnya berlimpah-limpah.” Junaid, ketika ditanya mengenai ahli ma’rifat berkata : “Warna air itu adalah warna wadahnya.” Yang dimaksudkannya adalah bawa dalam setiap keadaan dia mengikuti apa yang lebih patut; nah, keadaan-keadaannya itu berbeda-beda, maka dia disebut :Putera sang waktu>” Dzu’l Nun berkata, utnuk menjawab pertanyaan yang sama : “Dia ada di sisi dan kemudian pergi,” yang berarti bahwa ahli ma’rifat itu tak pernah terlihat pada dua kesempatan dalam keadaan yang sama, sebab dia diawasi oleh Yang lain. Puisi berikut ini dianggap sebagai gubahan Ibn Atha :
Andaikan waktu punya lidah ‘tuk berbicara, maka ‘kan bertutur..
Bahwa dalam selubung hasrat aku senang;
Tapi, waktu tak tau tingkatku yang sejati lagi tinggi,
Karena kuselalu bergerak ke suatu ketinggian..
Sahl ibn Abdillah berkata : “Keadaan pertama dalam ma’rifat adalah ketika sang Sufi mendapatkan suatu kepastian di dalam hatinya, yang dengan itu anggota-anggota tubuhnya menjadi tenang, dan suatu sifat kebenaran di dalam anggota-anggota tubuhnya yang dengannya dia merasa aman di dunia ini, serta suatu kehidupan di dalam jiwanya yang dengannya dia mencapai kemenangan di dalam keadaannya yang mendatang.”
Oleh karena itu, ahli ma’rifat telah berusaha keras untuk melaksanakan tugasnya terhadap Tuhan, dan ma’rifatnya merupakan suatu perwujudan apa yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya, oleh karena itu dia sungguh-sungguh berpaling dari segala sesuatu dami Tuhan. Tuhan berfirman : “Engkau melihat air mata mereka bercucuran, disebabkan apa yang mereka ketahui sebagai kebenaran.” Barangkali, yang mereka maksud dengan “mereka diketahui sebagai kebenaran” adalah yang telah mereka ketahui sebagai kebaikan Tuhan dan pencarian-Nya akan diri mereka, berpalingnya Dia kepada mereka serta terpilihnya mereka di antara kerabat-kerabat mereka. Begitulah halnya dengan Ubai ibn Ka’ab. Nabi berkata kepadanya : “Sesungguhnya, Tuhan telah memerintahkan aku untuk menyitir (ayat-ayat suci) di hadapanmu.” Ubai berkata : “Wahai Rasul Allah! Adakah aku disebutkan di situ?” Nabi berkata : “Ya”. Maka Ubai lalu meratap, sebab dia tidak melihat ada keadaan yang di dalamnya dia bisa menghadap Tuhan, tak ada syukur yang bisa menyamai karunia Tuhan, tak cukup ingatannya akan Dia; oleh karena itu dia bungkam sja, lalu meratap. Nabi juga berkata kepada haritsah : “Kau telah tahu, maka berpeganglah erat-erat (padanya).” Beliau menuturkan kepadanya ma’rifat itu, dan menyuruhnya berpegang erat-erat padanya, tanpa memberi tanda kepadanya dengan tindakan apa pun. Ketika ditanya mengenai ahli ma’rifat, Dzu’l Nun berkata : “Dia adalah orang yang meskipun menyatu dengan ma’rifat itu, terpisah darinya.” Sahl berkata : “Mereka yang memiliki ma’rifat Tuhan adalah sebagai oarng-orang dari A’raf, yang mengenal satu sama lain dengan tanda-tanda; Tuhan telah menempatkan mereka pada keadaan mereka, dan mengangkat mereka tinggi-tinggi melebihi kedua tempat itu, memberi mereka pengetahuan mengenai dua kerajaan itu.” Salah seorang tokoh Sufi menulis baris-baris puisi ini :
Sayang nian, mereka yang telah menjalani
Kehdipan dunia ini, dan pergi di jalan mereka sendiri!
Bertahun-tahun sudah ku berlomba dengan mereka;
Bagian yang mereka mainkan tak bisa kumainkan;
Kehdupan mereka penuh rahasia dan terpencil.
Di tengah suasana kesombongan atau keningratan,
Manusia-manusia berseru, yang melihat mereka dilucuti
Mereka tak terbentuk, tak bernyawa!
63.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI YANG MENCARI DAN YANG DICARI
Yang mencari itu dalam kenyataanya adalah yang dicari, dan Yang Dicari Yang Mencari; sebab orang yang mencari Tuhan itu hanya mencari-Nya karena mula-mula Tuhan mencarinya lebih dulu. Maka Tuhan berkata : “Dia mencintai mereka, dan mereka mencintai-Nya.” Dan lagi : “Allah senang kepada mereka dan mereka pun senang pula kepada Allah>” dan agi : “Kemudian Allah menerima tobat mereka, agar mereka selalu kembali kepada-Nya>” Pencarian-Nya akan mereka merupakan penyebab pencarian mereka akan Dia; sebab penyebab dari segala sesuatu itu adalah tindakan-tindakan Tuhan, sedang tindakan-tindakan-Nya tidak bersebab. Jika Tuhan mencari seseorang, tidak akan mungkin bagi orang itu untuk tidak mencari Tuhan; Maka Tuhan telah membuat orang yang mencari menjadi yang dicari. Yang Dicari menjadi Yang Mencari. Sekali pun begitu (dalam bahasa orang-orang sufi), orang yang mencari adalah yang tindakannya mendahului perkataannya, sedang yang dicari adalh dia yang perkataannya mendahului tindakannya. Orang yang mencari itu dilukiskan dalam firman Tuhan : “Orang-orang yang berjuang di pihak Kami akan Kami tunjuki jalan-jalan Kami>” Orang semacam itulah yang dicari Tuhan, Yang memalingkan hatinya dan menanamkan di dalamnya suatu karunia, untuk menggerakan hatinya agar berjuang demi Dia dan berpaling kapda-Nya serta mencari-Nya. Lalu Dia ungapkan baginya keadaan kejiwaan itu. Begitulah halnya dengan haritsah, yang berkata : “Aku memalingkan diriku dari dunia ini, dan berpuasa di siang hari serta berjaga di malam hari>” lalu dia berkata : “Dan seolah-oleh aku melihat Singgasana Tuhan tampi.” Dengan kata-kata ini dia menunjukan bahwa ilham dari yang tak terlihat itu mendatangi dirinya, setelah dia berpaling dari dunia ini. Orang yang “dicari” sebaliknya, dijauhkan secara paksa dari dunia ini oleh Tuhan, dan diungkapkan baginya keadaan itu, sehingga lewat kekuatan pewawasan itu dia bisa digerakan untuk berjuang demi Tuhan-nya, dan berrpaling kepaa-Nya serta menanggung beban yang ditempatkan oleh Tuhan atas dirinya. Maka begitulah halnya dengan kemampuan sihir Fir’aun sebab mereka berkata : “Kami tidak akan mengutamakan daripada keterangan-keterangan nyata .... Karena itu hukumlah kamu sesuka hatimu.” Begitu pula halnya dengan Umar ibn Al-Khattab. Ketika dia datang untuk membunuh Nabi; sebab Tuhan mencegahnya dalam perjalanannya. Sama halnya juga kisah Ibrahim ibn Adham, dia pergi untuk memburu kesenangan, dan sebuah suara memanggilnya, berkata : “Bukan untuk ini kamu diciptakan, dan bukan untuk ini kamu diperintah.” Dua kali suara itu memanggilnya, dan pada kali ketiga panggilan itu datang dari bagian depan sadel kudanya. Lalu dia berkata : “Demi Tuhan, aku tidak akan ingkar dari Tuhan sesudah ini, sepanjang Tuhanku selalu melindungiku dari dosa.” Maka inilah yang dimaksudkan dengan “dijauhkan secara paksa.” Orang-orang ini diberi ilham mengenai keadaan kejiwaan, dan dengan begitu dijauhkan dari keinginan-keinginan dan kekayaan-kekayaan duniawi mereka. Ahli Hukum Abu Abdillah al-Baraqi pernah mengutip puisi, karangannya sendiri, ini untuk saya :
Hati si pencari itu tertancap dalam kesucian,
Dan hasrat itu membawa langkahnya menuju setiap celah pegunungan;
Ke sepanjang lembah mana pun tujuannya,
Tempatnya satu-satunya adalah Tuhan segala manusia.
Dia membayar dengan kesucian, dengan cara suci pula,
Dan kesucianlah yang dibawa ke dalam hati oleh lentera,
Yang dicarinya adalah tempat tinggal Sang Pencari:
Lipat tigalah rahmat si pencari yang dicari!.
64.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI UPAYA KERAS (MUJAHADAH) DAN IBADAH
Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Ibadah yang sesungguhnya adalah melaksanakan apa yang telah dibebankan oleh Tuhan sebagai suatu tugas, asal itu diartikan sebagai suatu kewajiban; yaitu, bahwa tugas tersebut harus dilaksanakan tanpa mengharapkan balasan, meskipun engkau tahu bahwa itu merupakan suatu karunia (Tuhan); tugasmu kepada Tuhan itu sudah cukup, ketika engkau melaksanakan tindakan itu, untuk membuang segala pengharapan akan karunia dan balas-jasa. Sebab Tuhan berfirman : “Sesungguhnya Allh telah membeli jiwa dan harta orang mukmin,” yaitu bahwa mereka boleh membaktikan diri mereka sebagai hamba, bukan dengan jiwa yang loba.”
Seseorang berkata kepada Abu Bakr al-Wasithi : “Dengan cara bagaimana sang Sufi melaksanakan perbuatannya?” Dia menjawab : “Dengan cara meluruh dari tindakan-tindakannya, yang menjadi ada didkarenakan sesuatu yang selain dia.” Abu Abdillah al-Nibaji mengatakan : “Kesenangan dalam kepatuhan itu merupakan buah permisahan dari Tuhan. Seseorang itu tidak disatukan dengan Tuhan dikarenakan hal itu, atau dijauhakan (Dari Tuhan, dikarenakan tiadk adanya hal itu); dia tidak mempercayainya sebagai sesuatu yang patut diandalkan, dia pun tidak meninggalkannya karena dorongan semangat penentangan. Dia melaksanakan tugas-tugasnya semata-mata demi Tuhan, sebagai seorang budak dan hamba, bersandar pada apa (yang ditakdirkan oleh Tuhan) di dalam masa pra-kekekalan.” Yang dimaksudkannya dengan “Kesenangan dalam kepatuhan” adalah menganggap hal itu mendahului dirinya, tanapa menyadari karunia Tuhan dalam membantu orang itu (untuk patuh). Firman Tuhan : “Sesungguhnya seruan dari Tuhanitu lebih baik.” Ditafsirkan bahwa itu lebih baik daripada di dalam akalmu, atau yang dapat diutarakan oleh lidahmu. Zikir yang sesungguhnya berarti meluakan yang selain Tuhan, sebab, Tuhan berfirman : “Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika engkau lupa.” Maka Firman Tuhan : “Makan minumlah sesenang hatimu, berkat perbuatan kebajikan yang telah kamu lakukan pada masa silam.” Ditafsirkan bahwa pada masa silam itu mereka tidak mengingat Tuhan, sehingga kamu harus tahu bahwa apa yang kamu peroleh itu dikarenakan kebaikan Tuhan; bukan didkarenakan tindakan-tindakan sendiri.
Abu Bakr al-Qahtabi berkata : “Jiwa orang yang percaya kepada, pada keesaan Tuhan itu muak dengan segala gelar sifat-sifat mereka yang teelah ternyatakan, dan segala sesuatu yang muncul dari sifat-sifat itu mereka anggap menjijikan. Mereka terrpisah dari kesaksian-kesaksian mereka, perolehan-perolehan mereka, dan keuntungan-keuntungan mereka, dan mereka tidak mampu menyatakan tuntutan apa pun di hadapan-Nya, sebab mereka telah mendengarkan-Nya berfirman : “Dan jangan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan dalam peribadatan.” Dengan “kesaksian” yang dimaksudkannya adalah kemanusiaan, dengan “keuntungan” adalah balas jasa, dengan “perolehan-perolehan” adalah benda-benda material. Abu Bakr al-Wasithi berkata : “Arti perkataan Tuhan Maha Besar” pada saat berdoa adalah “Engkau terlalu besar untuk bisa digabungkan dengan doa, atau untuk dipisahkan dengan jalan menghapuskan doa.” Sebab, pemisahan dan penyatuan itu bukan merupakan tindakan-tindakan (pribadi), melainkan menuruti suatu ketetapan yang ditakdirkan di dalam kekekalan.”Al-Junaid berkata : “Janganlah hendaknya tujuanmu dalam berdoa, melaksanakannya tanpa ikut bersenang dan berrgembira di dalam kesatuan dengan Dia yang tak bisa didekati dengan alat apa pun kecuali lewat Dia sendiri.” Ibn Atha berkata : “Janganlah hendaknya tujuanmu dalam berdoa, melaksanakannya tanpa rasa takjub dan hormat kepada Dia yang telah melihat engkau melaksanakannya.” Yang lain berkata : “akna doa adalah pelepasan dari segala rintangan, dan pemissahan dengan hakikat-hkikat.” Rintangan-rintangan itu adalah segala sesuatu yang selain Tuhan, hakikat-hakikat adalah segala sesuatu yang dipersembahkan kepada Tuhan dan dari Tuhan. Yang lain berkata : “Berdoa adalah menyatu.” Saya mendengar Faris berkata : “Makna puasa adalah mangkir dari penglihatan manusia di dalam penglihatan Tuhan. Sebab Tuhan berfirman di dalam kisah Maryam : “Sesungguhnya aku telah berjanji kepada Tuhan Yang Mahapengasih untuk berdiam diri, maka aku tiak akan berbicara dengan siap pun pada hari ini.” Yaiitu karena aku mangkir dari mereka di dalam penglihatan Tuhan, dan karenanya aku tidak akan dapat, dalam keadaanku itu. Menggubris sesuatu yang bisa membingungkan diriku atau melepaskanku dari Dia.” Hal ini terbukti dalam perkataan Nabi : “Puasa itu suat penjagaan.” Yaitu suatu selubung yang menutupi segala sesuatu kecuali Tuhan. Tuhan pun berfirman : “Puasa itu bagian-Ku, dan Aku akan memberi pahala untu itu.” Salah seorang tokoh Sufi berekata : “Itu berarti, Aku yang menjadi pahala untuk itu.” Abu’l Hasan ibn Abi Dzarr berkata : “Itu mengandung arti, ma’rifat-Ku menjadi pahala bagi orang yang berpuasa.” Sudah tentu itu merupakan pahala yang cukup, sebab tidak ada sesuatupun yang dapat memperoleh ma’rifat Tuhan, atau bahkan mendekatinya saja.” Saya mendengar Abu’l Hasan al-Hasani al-Hamadani mengatakan : “Arti firman Tuhan “Puasa itu bagian-Ku” adalah bahwa hasrat-hasrat itu meninggalkannya; yaitu pertama hasrat dari setan, kalau-kalau dia akan merusak-kannya, sebab setan itu tidak berhasrat akan sesuatu yang menjadi milik Tuhan; yangg berikutnya adalah hasrat dari jiwa, kalau-kalau jiwa itu menyombongkan diri, sebab jiwa itu hanya menyombongkan apa yang menjadi miliknya; yang berikutnya lagi, hasrat dari musuh-musuh di dunia mendatang, sebab mereka hanya mengambil apa yang menjadi milik manusia, bukan yang menjadi milik Tuhan.” Inilah arti firman Tuhan itu, sepanjang yang saya pahami.
Seorang tokoh Sufi berkata : “Kesulitan penderitaan adalah keinginan akan kesenangan dan pengharapan yang ditempatkan pada setiap tindakan pribadi, jika seseorang percaya kepada kesenangan dan pengharapan itu, maka akibatnya adalah kesedihan; dan kesedihan yang diperolehnya itu merupakan kesengan bagi musuh-musuhnya.” Al-Nuri menulis :
“Hari ini aku hampir mencapai tujuanku!” aku berseru;
Sayang,.. tujuan yang hampir tercapai itu masih ssangat jauh.
Aku tak berjuang, tapi jatuh; tapi, untuk nerusaha
Dan kalah dalam perang, itu pun suatu pertempuran
Kini, segala harapan pupus, tapi kasih-Mu..
Akan selalu memberi ampun, sifat pemurah-Mu menyetujui;
Kalau tidak, maka surga kan kering; aku mesti terbuang.
Yang lain menulis :
Sungguh, bahwa aku memuja dan mengingat Engkau..
Dalam pengharapan akan pencapaian;
Begitu rindu anak-anak ketakmanatapan itu
Akan kesenangan yang sia-sia
Tuhan, bagaiman Wahyu-Mu yang cemerlang
Akan kutanggung,
Dan meninggalkan dunia ini, nan penuh selubung dan godaan
Dengan cara tak biasa?
Dia berkata : “Jika dalam tindakan dan usahaku aku mencari pahala – dan inilah yang dicari oleh orang-orang yang berusaha dan bersusah payah mencari (mutu) ketuhanan itu --- bagaimana aku akan memikirkan wahyu yang membawaku dari ketakutan akan kabr-kabar mengenai keadaan-keadaan dan saat-saatku yang berubah, dan dari anggapan akan perbuatan-perbuatan serta usaha-usahaku sendiri, yang merupakan hal-hal yang menyelubungi diriku dari-Mu?
65.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI MENGAJAR ORANG LAIN
Seseorang berkata kepada Al-Nuri : “Kapan seseorang itu boleh mengajar sesamanya?” Dia menjawab : “Ketika dia telah memahami masalah ke-Tuhanan, pada waktu itu barulah dia boleh mengajari hamba-hamba Tuhan; tapi kalau dia tidak memahami masalah ke-Tuhan-an, maka penderitaan dirinya itu diderita pula oleh seluruh negeri, dan ditanggung oleh semua orang.” Sirri al-Saqathi berkata : “Aku ingat ketika orang-orang datang kepadaku, dan aku berkata, “Wahai Tuhan!” Berilah mereka pengetahuan yang akan menjauhan mereka dariku, sebab aku tidak suka mereka datang kepadaku.” Sahl berkata : “Selama tiga puluh tahun aku berbicara dengan Tuhan, dan orang-orang itu mengira aku berbicara dengan mereka.” Al-Junaid berkata kepada Al-Syibli : “Kami mempelajari ilju ini sedalam-dalamnya, dan kemudian menyembunyikannya dalam ruangan-ruangan di bawah tanah; tapi engkau telah datang dan memamerkannya di atas kepala orang-orang itu.” Al-Syibli menyahut : “Aku berbicara, dan aku mendengarkan; adakah sesuatu di dunia ini selain diriku? Salah seorang tokoh besar Sufi berkata kepada Al-Junaid, ketika dia sedang berbicara dengan orang-orang itu : “Wahai Abu’l Qasim! Tuhan tidak senang kepada orang yang memiliki satu pengetahuan tertentu sampai Dia melihat dia hidup dalam pengetahuan itu, tetaplah tinggal di situ, tapi jika tidak, turunlah.” Maka Al-Junaid bangkit, dan tidak berbicara dengan orang-orang selama dua bulan. Sesudah itu dia muncul lagi dan berkata : “Kalau bukan karena aku telah mendengar Nabi berkata : “ Pada hari akhir pemimpin orang-orang itu akan menjadi yang paling hina di antara mereka, maka aku tidak akan muncul di hadapanmu.” Al-Junaid juga berkata : “Aku tidak pernah berbiicara dengan orang-orang itu, sampai tiga puluh orang yang paling terpandang itu menunjukku, berkata : “Engkau pantas memanggil (orang-orang lain) mendekati Tuhan.” “Seseorang bertanya kepada salah seorang Sufi itu : “”Mengapa engkau tidak mengajar?” Dia menjawab : “Inilah suatu dunia yang telah berbalik dan pergi; dan orang yang mengikuti dia yang telah berbalik itu lebih terbelakang dari yang lain.” Abu Mansur al-Panjakhini berkata kepada Abu’l Qasim al-Hakim : “Dengan tujuan apa aku mesti berbicara dengan orang-orang itu.” Dia menjawab : “Aku tidak mengenal tujuan yang berkaitan dengan keingkaran, kecuali meninggalkannya,” Abu Usman Sa’id ibn Isma’il al-Razi minta izin kepada Abu Hafsh al-Haddad, yang waktu itu menjadi gurunya, untuk mengajar orang-orang. Abu Hafs bertanya kepadanya : “Dan apa yang mendorongmu untuk berbuar itu?” Dia menjawab : “Aku kasihan terhadap mereka, dan akan menasehati mereka.” Yang lain bertanya : “Apakah ukuran dari rasa kasihanmu terhadap mereka?” Dia menjawab : “Jika aku ahu bahwa Tuhan akan menghukum diriku sebagai ganti semua orang yang beriman kepada-Nya, dan akan membawwa mereka ke surga, aku akan merasa senang.” Maka Abu Hafs memberikan izin. Nah, diapu menghadapi ujian-ujian; dan ketika Abu Usman telah menyelesaikan pelajarannya, seseorang berdiri untuk mengemis. Abu Usman mencegah orang itu dengan memberikan baju yang dipakainya. Lalu Abu Hafs berkata : “Engkau menipu, waspadalah dalam mengajar orang-orang ini, selama hal itu masih ada dalam dirimu.” Abu Usman bertanya : “Hal apa itu, tuan?” Dia menjawab : “Bukankah engkau begitu ingin untuk menasehati mereka. Dan bukankah engkau ingin begitu ingin mengasihani mereka, sehingga engkau lebih suka kalau mereka mendapatkan pahala lebih dahulu daripada engkau, dan engkau mengikuti mereka?” Saya mendengar penuturan yang berikut ini dari Faris, yang mendaptkannya dari Abu Amr al-Anmati dan menyalaminya.” Al-Junaid menyahut : “Dan damai untukmmu, wahai Panglima Hati. Berbicaralah!” Al-Nuri berkata : “Wahai Abu’l Qasim! Engkau telah menipu mereka, dan mereka menempatkan engkau di atas mimbar; aku telah menasehati mereka dan mereka telah membuangku ke tumpukan sampah.” Al-Junaid berkata : “Aku tidak pernah merasakan kesedihan melebihi kesedihan waktu itu.” Pada hari Jum’at berikutnya dia datang pada kami dan berkata : “Kalau engkau melihat seorang Sufi mengejar orang-orang itu, ketahuilah bahwa dia kosong.” Ibn Atha berkata : “Firman Tuhan, “Dan katakanlah kepada mereka ucapan-ucapan yang bisa merasuk ke dalam jiwa mereka.” Yang berarti, (katakanlah kepada mereka) menurut kemampuan pemahaman mereka dan batas akal mereka.” Yang lain berkata : “Firman Tuhan>” Andaikata dia membaut-buat sebagian perkataan atas nama Kami, niscaya Kami ikat persendiannya.” Berarti jika dia telah menatakan mengenai hal-hal ekstasis (spiritual) dari orang –orang materialis,” Penafsiran ini dibenarkan dalam firman lain : “katakan kepada mereka apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Tuhanmu.” Tuhan tidak berfirman, “Katakan kepada mereka sesuatu yang dengannya Kami membuat diri Kami kamu kenal.” Al-Husain al-Maghazili melihat Ruwaim ibn Muhammad sedang mengajar orang-orang mengenai masalah kemelaratan; dia berhenti, dan berkata padanya :
Mengapa engkau kenakan pisau yang berkilau itu,
Yang dengan itu tak seorang pun pernah dikuliti?
Congkak nian engkau dengan senjata terhunus.
Pergi, ambillah gelang kaki yang tersepuh emas!
Dia bermaksud memerikan suatu keadaan yang belum pernah dialaminya. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Jika seseorng mengajar tanpa mengetahui arti yang di bicarakannya, dia mirip seekor keledai dalam kepura-puraannya itu. Tuhan berfirman : “Bagai keledai yang membawa kitab-kitan tebal.”
66.
MENGENAI KETAKWAAN DAN AMAL-AMALNYA
Al-Harits al-Muhasibi mendapat warisan dari bapaknya lebih dari 30.000 dinar, tapi tidak mau menyentuhnya sepeser pun, dan mengatakan : “Dia seorang Qadariah.” Abu Usman berkata : “Aku sedang di rumah Abu Bakr ibn Abi Hanifah bersama Abu Hafs. Kebetulan kami memperkatakan tentang seorang teman yang tidak hadir, dan Abu Hafs berkata : “Jika aku memiliki secarik kertas, akan ku tulis kepadanya.” Aku berkata, “Inilah, ada secarik.” Saat itu Abu Bakr sedang pergi ke pasar. Abu Hafs menyahut, “Barangkali Abu Bakr telah meninggal dunia, tanpa kita ketahui, dan kertas itu telah menjadi milik pewarisnya. Oleh karena itu dia tidak jadi menulis.” Abu Usman juga berkata : “Aku sedang bersama Abu Hafs, ketika dia menyimpan sejumlah kismis. Aku mengambil kismis itu dan memasukannya ke dalam mulutku. Dia tiba-tiba menyambar leherku dan berkata, “Engkau penipu, engkau makan kismisku.” Aku menjawab. “Aku yakin akan ketidakhadiranmudalam masalah-masalah dunia ini, sebab aku tahu bahwa engkau tidak memetingkan dirimu sendiri, dan karena itulah aku mengambil kismis itu.” Dia menjawab : “Wahai orang tolo! Engkau mempercayai hati yang tidak dikuasai oleh tuannya!” Saya mendengar banyak dari syekh itu berkata : “Syekh itu akan menghindar dari behubungan dengan orang yang melarat dikarenakan salah satu dari ketiga alasan ini: Jika ddia melaksanakan perjalanan haji setelah menerima uang dari orang lain: Jika dia pergi ke Khurasan; Dan jika dia memasuki Yaman. Mereka mengatakan : “Jika dia pergi ke Khurasan, dia melakukan hal itu hanya untuk memperoleh kemudahan, dan di Khurasan tidak ada apa pun yang halal atau baik untuk dimakan; dan mengenai Yaman, ada banyak jalan di sana menuju kerusakan,” Abu’l Mughith tidak pernah beristirahat atau tidur dengan berbaring, tapi sepanjang malam dia berdiri mendoa; dan setiap kali matanya terasa letih, dia akan duduk dan meletakkan keningnya di atas lututnya, dan tidur sebentar. Seseorang bertanya kepadanya : “Berbaik hatilah terhadap dirimu sendiri.” Dia menyahut : “Tuhan yang Baik belum berbuat baik kepadaku sehingga aku belum juga mendapatkan kemudahan. Apakah engkau belum mendengar bahwa Tuhan Para Utusan itu berkata, Orang yang paling susah adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang benar-benar percaya, dan sesudah itu yang semacamnya dan yang semacamnya.” Dikatakan bahwa Abu Amr al-Zajjaji tinggal di Mekkah selam bertahun-tahun, dan tidak pernah melaksanakan kebutuhan alamiahnya di daerah Haram, tapi selalu pergi keluar untuk melakukan hal itu dan kemudian kembali dalam keadaan suci untuk beribadah. Saya mendengar Faris menuturkan anekdot berikut ini : “Abu Abdillah yang dikenal sebagai Syikthal, tidak mau berbicara dengan orang-orang , tapi memencilkan diri di padang pasir di daerah Kufah, tanpa makan apa-apa kecuali makanan yang dihalalkan. Aku bertemu dengannya pada suatu hari, dan dengan mendekatinya aku berkata : “Aku mohon kepadamu demi nama Tuhan, maukah engkau mengatakan padaku apa yang mencegah dirimu dari megajar orang? Dia menyahut : “Wahai manusia! Kemaujudan ini bukan lain daripada suatu khayalsan di tengah hakikat, dan adalah tidak sah bagi kita untuk berbicara mengenai sesuatu yang tidak mengandung hakikat. Dan mengenai Yang Nyata itu, kata-kata tak mampu memerikannya; lalu apa gunanya mengajar? Kemudian meninggalkanku dn belalu.” Faris juga mengatakan kepadaku bahwa dia mendengar Al-Husain al-Maghazili berkata : “Aku melihat Abdullah al-Qasysya’ suatu malam berdiri di tepi sungai Tigris dan berkata, “Tuhanku, aku haus; Tuhanku, aku haus.” Begitulah dia terus menerus sampai pagi; lalu dia berkata ‘Aduh! Engkau membuat sesuatu menjadi halal bagiku tapi mencegahku untuk mengambilnya; dan Engkau membuat sesuatu haram bagiku tapi memberiku kebebasan untuk mendapatkannya; lalu apa yang mesti kulakukan?” Maka dia kembali, dan tidak minum.” Saya mendengar juga orang yang sama menuturkan bahwa dia mendengar seorang laki-laki melarat berkata : “Pada tahun sulit, aku berada bersama beberpa orang; aku meninggalkan mereka, dan kemudian kembali dan memerinksa orang-orang yang luka. Aku melihat Abu Muhammad al-Jurairi, yang waktu itu usianya lebih dari seratus tahun, dan berkata kepadanya : “Tuan, mengapa engkau tidak berdoa, agar (kesedihan) yang engkau lihat ini bisa dihilangkan?” Dia menyahut : “Aku telah melakukan itu.” Dan kemudian ia menambah kan : “Sesungguhnya, aku melakukan apapun yang hendak kulakukan. Aku mengulangi permohonanku kepadanya dan dia berkata : “Saudaraku, ini bukan waktunya berdoa, kini adalah waktu untuk patuh dan pasrah.” Aku berkata kepadanya : “Apakah engkau membutuhakn sesuatu?” Dia menjawab : “Aku haus’. Maka aku bawakan dia air, dan dia mengambilnya serta ingin meminumnya, lalu dia melihat kepadaku dan berkata : “Orang-orang ini haus, dan aku minum. Tidak, itu keserakahan.” Maka dia kembalikan air itu kepadaku dan segera sesudah itu dia mati.” Faris juga menuturkan bahwa dia mendenegar salah seorang sahabat Al-Jurairi berkata : “Selama dua puluh tahun aku tidak pernah memikirkan tentang makanan sampai pemikiran akan hal itu dibawa ke dalam hatiku; dan selama dua puluh tahun aku melakukan sembahyang fajar pada saat aku baru saja menyelesaikan sembahyang malamku, yang kedua; dan selama dua puluh tahun aku tidak pernah memendekkan doa-doa-ku kepada Tuhan, karena takut jangan-jangan Dia nanti akan membuktikan kesalahanku lewat mulutku sendiri. Selama dua puluh tahun, lidahku hanya mendengarkan hatiku; Lalu keadaanku berubah, dan selama dua puluh tahun hatiku hanya mendengarkan lidahku.” Arti perkataannya, “Lidahku hanya mendengarkan hatiku” adalah :Aku hanya berbicara atas dasar hakikat yang aku miliki.” Dan “hatiku hanya mendengarkan lidahku” adalah “Tuhan menjadikan lidahku, seperti yang dituliskan dalam hadis (Qudsi): “Lewat Aku dia mendengar, lewat Aku dia melihat dan lewat Aku dia berbicara.” Salah seorang Syekh kami mengatakan kepada saya bahwa dia mendengar Muhammad ibn Sa’dan berkata : “Selama dua puluh tahunaku membaktikan diri kepada Abu’l Maghith dan tak sekali pun aku melihatnya menyesali apa pun miliknya yang ketinggalan.” Dikatakan bahwa Abu’l Sauda melaksanakan perjalanan haji kecil enam puluh kali, dan Ja’far ibn Muhammad alj-Khuldi lima puluh kali. Salah seorang syekh kami – saya cenderung beranggapan bahwa dia adalah Abu Hamzah al-Khurasani --- melaksanakan perjalanan suci sepuluh kali demi Nabi, sepuluh kali demi para sahabat Nabi. Dan satu kali perjalanan suci demi dirinya sendiri; dan dia berharap perjalanan-perjalanan sucinya yang lain bisa membuat perjalanan sucinya sendiri diterima oleh Tuhan.
67.
MENGENAI ANUGERAH TUHAN KEPADA PARA SUFI DAN PERINGATANNYA TERHADAP MEREKA LEWAT SUARA-SUARA GAIB
Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Pada mala Arafah, perasaan akan dekatnya Tuhan memutuskan diriku dari hasrat untuk berdoa kepada Tuhan. Kemudian jiwaku menentangku agar aku berdoa kepada Tuhan; dan aku mendengar sebuah suara berkaa : “Setelah engkau menemukan Tuhan, apakah engkau akan berdoa kepada yang selain Tuhan?” Abu Hamzah al-Khurasani berkata : “Suatu saat, pada saat aku melaksanakan perjalanan haji, aku sedang berjalan sepanjang jalan itu ketika tiba-tiba aku jatuh ke dalam sebuah sumur. Jiwaku menentangku agar berteriak minta tolong; tapi aku berkata : “Tidak, demi Tuhan, aku tidak akan berteriak! Aku baru saja akan selesai dengan renungan itu ketika dua orang lewat di ujung sumur, dan salah seorang dari mereka berkata kepada yang satunya : “Mari kita isi mulut sumur ini agar rata dengan jalan .’ Maka mereka membawa sebuah tongkat dan sebuah tikar alang-alang; aku tergerak untuk berteriak; lalu aku berkata : “Wahai Engkau yang lebih dekat kepadaku dibanding mereka!” Dan aku merasa tenang ssampai mereka selesai mengisi sumur dan pergi. Lalu aku melihat sebilah kaki tejuntai ke sumur dan berkata, “Tangkap aku dan pegang erat-erat.” Maka aku memegangnya dan melihat bahwa ia adalah seekor singa; dan aku mendengar sebuah suara berkata : “Wahai Abu Hamzah, luar biasa! Kami telah menyelamatkan engkau dari kebinasaan di dalam sumur lewat seekor singa.” Salah seorang sahabt kami bercerita kepada saya bahwa dia mendengar Abu Walid menuturkan kisah berikut ini : “Suatu hari sahabat-sahabat kami membawakan susu dan aku berkata : “Itu akan mencelakakan diriku.” Lalu suatu hari aku berdoa kepada Tuhan dengan mangatakan : “Wahai Tuhan,ampuni aku, sebab Engkau tahu bahwa aku tidak pernah menyekutukan Engkau denagn Tuhan- tuhan lain, walaupun hanya sekejap mata !” Aku mendengar sebuah suara berkata : “Tidak juga pda malam hari kisah susu itu?” Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Suatu kali pernah aku berada di padang pasir dan benar-benar kelaparan. Jiwaku menuntutku agar minta makanan kepada Tuhan; dan aku berkata : “Itu bukan tindakan orang yang mempercayai Tuhannya.” Lalu jiwaku menuntutku agar aku berdoa kepada Tuhan meminta kesabaran; dan ketika aku akan melakukan ini, aku mendengar sebuah suara berkata :
‘Lihat, akulah malam!’ Dia berseru dengan congkak;
Tapi tak seorang pun pernah datang
Untuk mencari pertolongan kami ditolak,
Dan diusir dalam kehinaan.
Begitu lirih manusia kuasa itu menangis
Dalam kelemahan yang menyedihkan
Seakan-akan kami tak pernah terlihat
Olehnya, ataupun dia terlihat oleh kami.
Bahwa fenomena dari suara gaib itu asli, dipersaksikan oleh cerita berikut ini : “Ketika mereka ingin membasuh (tubuh) Nabi, mereka berselisih dengan mengatakan : “Demi Tuhan, kami tidak tahu apakah kai mesti melepaskan seluruh pakaian Nabi sebagaimana yang kami lakukan dengan orang-orang mati lainnya di antara kami, atau kemi basuh beliau dengan pakaian masih menempel.” Ketika mereka sedang berselisih paham itu, Tuhan menidurkan mereka, hingga dagu setiap yang hadir tersampir di atas dada mereka. Lalu sebuah suara yang ditujukan kepada mereka dari arah Ka’bah, yang tak seorang pun tahu suara siapa itu, mengatakan : “Basuhlah Nabi dengan pakaiannya masih menempel.”
68.
MENGENAI PERINGATAN TUHAN KEPADA MEREKA DENGAN PEMBERIAN WAWASAN BATIN
Abu’l Abbas ibn al-Muhtadi berkata : “Suatu kali pernah aku berada di padang pasir, dan akumelihat seorang laki-laki berjalan di hadapanku dengan kaki telanjang dan kepala tanpa penutup, dan dia tidak membawa dompet. Aku berkata kepada diriku sendiri : “Bagaimana orang ini berdoa ? Dia tidak memiliki kesucian, maupun doa.” Orang itu berpaling kepadaku dan berkata : “Dia tau apa yang ada di dalam hatimu, karena itu takutlah padanya.” Segera sesudah itu aku pingsan; dan ketika sadar, aku mohon ampun kepada Tuhan akrena telah salah menganggap orang itu. Dan ketika aku sedang berjalan sepanjag jalan itu, dia datang lagi di hadapanku; ketika aku melihatnya, aku merasa takut, dan berhenti berjalan. Tapi dia berpaling kapdaku dan menyitir ayat suci : “Allahlah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan mengampuni perbuatan-perbuatan buruk mereka.” Lalu dia menghilang, dan aku tidak pernah melihatnya lagi.” Abu’l Hasan al-Farisi mengatakan kepada saya bahwa dia mendengar Abu’l Hasan al-Muzayyin berkata : “Aku pergi sendirian ke apdang pasir dan memisahkan diri dari orang-orang. Ketika aku ada di Al-Umaq, aku duduk di pinggir sebuah kolam di sana, dan jiwaku mulai berbicara kepadaku mengenai cara dia memisashkan diri dari umat manusia, dan berkelana di padang pasir, dan suatu rasa bangga merasukinya. Kemudian, lihat, Al-Kattani muncul di hadapanku === “atau mungkin juga orang lain saya masih ragu” == di seberang kolam; dia memanggilku sambil berkata : “Wahai tukang melamun! Berapa lama engkau berbicara dengan dirimu sendiri mengenai hal-hal yang ssia-sia? === Juga diriwayatkan bahwa suara itu mengatakan : “Wahai tukang melamun! Janganlah engkau berbicara dengan dirimu sendiri mengenai hal-hal yang sia-sia.” Dzu’l Nun berkata : “Suatu kali aku melihat seorang pemuda mengenakan baju rombengan dan jiwaku memberontak terhadapnya, tapi hatiku berssaksi bahwa dia seorang wali. Maka aku pisahkan hatiku dari jiwaku, merenung. Pemuda itu melihat apa yang ada dalam benakku, sebab dengan melihat kepadaku dia berkata : “Waai Dzu’l Nun, jangan melihat kepadaku dengan maksud untuk mengetahui sifatku. Mutiara itu hanya bsia ditemukan di dalam kerangnya.” Kemudian dia berpaling pergi seraya menyitir puisi :
“Aku melihat dunia ditelantarkan dikarenakan kecongkakan,
Kerajaanku tak seorang pun mengurus;
Aku seorang pemuda berakal,
Aku mengenal nilai diriku dan nilai mereka,
Aku seorang pengausa dan raja.
Biar saja nasib tersenyum atau meerengut,
Sebab kebebasan selubungku
Kepuasan hati adalah pakaianku.”
Wawasan kejiwaan itu merupakan suatu fenomena asli yang dipersaksikan oleh hadits berikut ini : “Takutlah pada wawasan orang yang beriman, sebab sesungguhnya dia melihat dengan cahaya Tuhan.”
69.
MENGENAI PERINGATAN TUHAN KEPADA MEREKA MELALUI PEMIKIRAN
Abu Bakr ibn Mujahid al-Muqri menuturkan kisah berikut ini. Abu Amr ibn al-Ala pada suatu hari datang untuk memimpin para jamaah untuk berdoa. Waktu itu dia bukan seoarng imam, sehingga dia harus didatangkan. Setelah melangkah, dia berkata kepada orang-orang itu : “Tempatkan diri kalian masing-masing.” Lalu dia pingsan dn tidak sadar sampai keesokan harinya. Ketika ditanyakan kepadanya mengenai hal ini dia berkata : “Pada saat aku berkata pada kalian, “Tempatkan diri kalian msing-masing,” suatu pemikiran dari Tuhan merasuki hatiku, seolah-olah Tuhan berfirman kepadaku : “Wahai hamba-Ku! Sudahkah engkau tempatkan dirimu bersamaku kecuali hanya sekejap mata saja, dan engkau telah berani memerintah orang lain untuk menempatkan diri mereka?” Al-Junaid berkata : “Suatu kali aku sakit, dan mohon pada Tuhan agar Dia berkenan menyembuhkanku. Dia bersabda kepadaku di dalam kesadaranku : “Jangan masuk di antara Aku dan jiwamu.” Salah seorang sahabt kami mendengar Muhammad ibn Sa’dan menuturkan bahwa dia mendengar salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Setiap kali aku tidur sebentar, aku mendengar sebuah suara memanggilku dan berkata : “Apakah engkau tidur dari-Ku? Jika engkau tidur dari-Ku, sesungguhnya aku akan melecutmu dengan cambuk.”
70.
MENGENAI PERINGATAN TUHAN KEPADA MEREKA LEWAT PENGLIHATAN DAN MUKJIZAT
Abu Bakr Muhammad ibn Ghalib berkata kepada ssaya bahwa dia diberi tahu oleh Muhammad ibn Khafif bahwa dia mendengar Abu Bakr Muhammad ibn Ali al-Kattani berkata : “Aku menemui Nabi seperti yang biasa ku lakukan == waktu itu adalah kebiasaannya untuk menemani Nabi pada setiap Senin dan Kamis malam kalau dia ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang akan dijawab oleh Nabi.” == dan aku melihat beliau datang kepadakau bersama empat orang. Lalu beliau berkata kepadaku : “Wahai Abu Bakr! Kenalkah engkau dengan orang ini?” Aku menjawab : “Ya. Itu Abu Bakr.” Beliau bertanya : “Kenalkah engkau dengan orang ini?” Aku menjawab : “Ya, dia Usman,” Beliau berkata : “Kenalkah engkau dengan orang yang keempat ini?” Di situ aku ragu-ragu dan tidak menjawab. Nabi mengulang pertanyaan itu dan aku tetap ragu-ragu; beliau bertanya untuk yang ketiga kalinya dan aku tetap ragu-ragu, sebab aku cemburu kepadanya. Lalu Nabi mengepalkan tangannya dan menunjuk aku dengan itu; lalu beliau melepaskan kepalannya dan memukul dadaku sambil berkata : “Wahai Abu Bakr, katakanlah! Inilah Ali ibn Abi Thalib.” Nabi kemudian mengenalkan diriku kepada Ali yang memegang tanganku dan mengatakan : “Bangunlah Abu Bakr, dan pergilah ke Al-Safa.” Dan aku pergi ke Al-Safa bersamanya, sementara aku masih tidur di kamarku; dan aku terbangun, dan lihat, aku berada di Al-Safa.
Amsnyur ibn Abdillah mengatakan kepada saya bahwa dia mendengar Abu Abdillah ibn al-Jalla berkata : “Aku memasuki kota Madinah dalam keadaan merasa lapar. Aku pergi ke kubur (Nabi) dan memberi salam kepada Nabi dan kedua sahabt beliau, Abu Bakr dan Umar; lalu aku berkata : “Wahai Nabi Tuhan! Aku sedang merasa lapar dan aku menjadi tamumu malam ini.” Lalu aku berpaling ke samping dan tidur di antara batu kubur dan mimbar; dan lihat, Nabi mendatangiku dan memberiku sepotong makanan. Aku memakannya separuh, lalu terbangun dan menemukan dalam tanganku separuhnya lagi.” Yusuf ibn al-Husain berkata : “Kami sedang bersama seorang pemuda yang telah mempelajari hadis sebelum dia selesai mempelajari Al-Qur’an, seseorang mendatanginya ketika sedang tidur, dan berkata kepadanya :
Jika engkau tidak sebegitu jahat
Padaku, lalu mengapa kitabku engkau hinakan?
Pikirkanlah, jika engkau tidak buta,
Kata-kataku nan halus yang terkandung di situ.”
Bahwa penglihatan itu merupakan suatu fenomena asli, dipersaksikan oleh kisah berikut yang diceritakan oleh Al-Hasan al-Basri : “Aku memasuki Masjid Basrah dan mendapati sejumlah sahabat kami duduk di sana. Aku duduk bersama mereka dan mendengarkan mereka memperkatakan seseorang, dan mempermalukan dia. Aku melarang mereka untuk memperkatakan dia dengan membawakan berbagai hadis yang menuturkan tentang masalah pergunjingan yang kudengar sebagai berasal dari Nabi dan Isa Putra Maryam. Orang-orang itu kemudian menahan diri dan mulai membicarakan masalah lain; tapi tak lama kemudian nama orang itu muncul lagi, dan mereka kembali membicarakannya sedang aku ada bersama mereka. Lalu mereka pergi ke rumah mereka masing-masing dan aku kembali ke rumahku sendiri. Ketika aku tidur, seorang laki-laki hitam datang dalam mimpiku. Ia memegang sebuah mangkuk anyaman yang diatasnya ada sekerat daging babi. Dia berkata kepadaku : “Makan.” Aku berkata : “Aku tidak mau makan, ini adalah daging babi.” Dia berkata : “Makan” Aku berkata : “Aku tak mau makan, itu daging babi yang haram.” Dia berkata : “Engkau harus memakannya.” Lagi-lagi aku menolaknya. Lalu dia membuka rahangku dan memasukan daging itu ke mulutku, dan aku mulai mengunyahnya sementara dia terus berdiri di hadapanku; aku takut membuangnya, tapi aku tidak juga mau menelannya. Dalam keadaan itu aku bangun; dan sejak saat itu selama tiga puluh hari tiga puluh malam tak sesuatu pun kuminum atau kumakan mendatangkan kesenangan bagiku, sebab aku merasakan dalam mulutku rasa daging itu dan membauinya dengan hidungku.
71.
KARUNIA TUHAN KEPADA MEREKA YANG TIMBUL DARI RASA CEMBURUNYA
Sejumlah orang datang untuk mengunjungi Rabi’ah ketika perempuan itu sedang menderita suatu penyakit. Mereka berakta kepadany : “ Bagaimana keadaanmu?” Dia menjawab : “Demi Tuhan, aku tidka tahu sebab penyakitku, kecuali bahwa surga dipamerkan dihadapanku dan aku merindukan itu di dalam hatiku; dan aku menganggap bahwa Tuhanku cemburu kepadaku, dan karena itu menyalahkan diriku. Hanya Dia yang dapat membahagiaanku.” Al-Junaid berkata : “Aku datang pada Sirri al-Saqathi dan mendapatkan sepotong mangkuk yang pecah di dalam kamarnya. Aku berkata kepadanya : “Apakah ini? Dia menyahut : “Kemarin dulu, putriku yang masih kecil membawakan sepoci air untukku, dan berkata kepadaku, “Ayah, poci itu tergantung di sini; kalau sudah dingin, minumlah, sebab malam ini panas sekali.” Ketika aku jatuh tertidur.” Aku elihat seorang perempuan cantik masuk ke kamarku dan aku berkata, “Siapakah engkau? Dia menyahut : “Hamba-Nya yang tidak minum air dingin dari pooci. Lalu dia menyambar poci itu dengan tangannya dan poci itu pun pecahlah; dan inilah poci yang engkau lihat.” Poci itu tetap tinggal di tempat yang sama, tanpa dipindah-pindahkan, sampai tertutup debu.”
Al-Mujayyin berkata : “Sekali waktu aku pernah tinggal di sebuah tempat di padang pasir selama tujuh hari, tanpa ada sesuatu pun yang masuk ke mulutku. Kemudian seseorang mengundangku ke rumahnya dan menawarkan kepdaku kurma dan roti; tapi aku tidak dapat makan. Ketika malam hari, aku merasa ingin makan, maka aku mengambil biji kurma dan kucoba itu untuk membuka mulutku. Biji itu mematahkan gigiku. Salah seorang di antara gadis-gadis di rumah itu berseru : “Ayah, berapa banyak tamu kita yang makan malam ini? Aku menjawab : “Tuhanku, aku kelaparan selama tujuh hari, dan kini Engkau iri hati kepadaku. Terwujudlah kehendak-Mu, aku tidak akan menikmatinya.”
Ahmad ibn al-Salim berkata : “Sekali waktu aku sedang berjalan di sepanjang jalan menuju Mekkah, ketika aku mendengar seseorang berseru, “Wahai manusia Tuhan, milik Tuhan! Aku berkata. “Apakah yang menyakitkanmu? Dia menyahut : “Ambillah dariku dirham-dirham ini; aku tidak dapat mengingat Tuhan selama uang itu ada padaku” Maka aku mengambil uang itu darinya; dan dia berseru; “Tuhan, inilah aku, di sinilah aku!” Waktu itu, uang itu berjumlah empat belas dirham.” Abu’l Khair al-Aqtha” suatu kali pernah ditanya apa sebab tangannya terpotong. Dia berkata : “Aku sedang berada di Gunung Lukkam, atau mungkin di Libanon, bersama seorang temanku. Lalu datanglah seseorang yang merupakan wakil pemerintah, sedang membagikan dinar. Dia memberiku satu dinar, dan aku membuka tanganku, dia pun menempatkan dinar itu di atasnya, lalu aku menjatuhkan dinar itu ke pangkuan temanku dan berdiri. Satu jam kemudian para opsir pemerintah mencari maling; dan mereka menahanku dan memotong tanganku.”
Keaslian fenomena dipersaksikan ooleh Hadis Nabi : “
“Tuhan melindungi hamba-hamba-Nya dari dunia ini, Jika dia mencintai-Nya, bahkan seperti ketika engkau melindungi dirimu yang sakit.”
72.
KARUNIA TUHAN BERUPA KESULIAN-KESULITAN YANG HARUS MEREKA TANGGUNG
Faris mengatakan kepada saya bahwa dia mendengar Abu’l Hasan al-Alawi, murid Ibrahim al-Khawwas, berkata : “Aku melihat al-Khawwas berada dalam suatu masjid di kota Dinawar, duduk di tengah-tengahnya, sementara salju berjatuhan di badannya. Tergugah rasa kasihanku kepadanya, maka aku berkata kepadanya : “Bagaimana jika engkau pindahkan atap itu?” Dia menyahut, “Tidak” Lalu dia menyitir :
Jalan menuju Mu, jelas dan lebar,
Sebab, tak seorang pun yang mencari-Mu memerlukan penunjuk
Dalam dinginnya musim dingin Engkaulah musim semiku,
Dalam panasnya musimm panas,
Engkaulah penutup tubuhku.
Lalu dia berkata kepadaku : “Berikan kepadaku tanganmu. Aku berikan kepadanya tanganku dan dia menempatkannya ke dalam bajunya, dan lihat, dia berkeringat.” Saya mendengar Abu’l-Hasan al-Farisi berkata : “Aku sedang berada di suatu padang pasir, ketika aku merasa sangat haus, sehingga karena lemahnya badanku, aku tidak mampu berjalan. Aku tahu bahwa sebelum seseorang mati kehausan, matanya berair; oleh karena itu aku duduk, menunggu mataku berair. Tiba-tia ku dengar sebuah suara. Aku melihat berkeliling, lalu menampak seekor ular putih, bersinar bagai perak murni,d an bergerak cepat sekali ke arahku. Aku merasa takut hingga berjingkrak karenanya, yang malah mendatangkan kekuatan dalam diriku. Setelah lepas dari kelemahan badanku, aku mulai berjalan, sedang ular itu berdesis di belakangku. Aku terus berjalan, sampai tiba di tempat air, lalu suara itu hilang. Aku berpaling berkeliling dan tak dapat melihat ular itu; aku minum air itu, dan aku selamat. Sekarang, kapan saja aku menderita kesedihan atau penyakit, segera setelah aku melihat ular itu di dalam mimpiku, aku mengenalinya sebagai suatu tanda bahwa kesedihanku telah teratasi dan penyakitku hilang.
73.
KARUNIA TUHAN KEPADA MEREKA KETIKA MEREKA MENINGGAL DN SESUDAHNYA
Abu’l-Hasan, yang disebut sebagai Qazzaz, berkata : “Kami sedang ada di Fajj, ketika seorang pemuda tampan mendatangi kami dengan mengenakan pakaian dari kulit kambing yang sudah terlalu usang. Dia menyalami kami dan berkata : “Adakah tempat yang besih di sini untukku menanti ajal?” Kami sangat terkejut tapi mengtataakan bahwa temapt itu ada, dan menunjukkan baginya jalan ke sebuah sumur di dekat situ. Dia pergi dan membersihkan dirinya, dan berdoa sebentar. Kami menunggu dia selama satu jam, dan ketika dia tidak balik lagi kami mendatanginya, dan mendapai tdia telah meninggal dunia. Para sahabat Sahl ibn Abdillah menuturkan bahwa ketika Sahl sedang disucikan di atas tandu jenazah, dia melihat jari telunjuknya yang di tangan kanan menegang dan menunjuk-nunjuk. Abu Amr al-Istakhri berkata : “Aku melihat Abu Turab al-Nakhsyabi di padang pasir, berdiri, mati, tanpa sesuatu pun menopangnya.” Ibrahim ibn Syaiban berkata : “Seorang murid datang ke rumahku dan sakit di sana, lalu mati. Setelah dia dimasukan ke kubur, aku ingin membuka pipinya dari kain yang menyelubunginya dan menempatkannya di atas tanah sebagai suatu tanda akan kesederhanaan, sehingga mungkin Tuhan akan berbelas kasihan terhadapnya. Dia tersenyum memandang wajhku dan berkata : “Apakah engkau merendahkan diriku di hadapan Dia yang menghabiskan waktu berssamaku?” Aku menjawab : “Tidak, kawanku; apakah memang kehidupan sesudah kematian itu ada? Dia menyahut : “Tidakkah engkau tahu bahwa karib-karib-Nya tidak mati, melainkan dipindahkan dari satu tempat ke tampat lain? Ibrahim ibn Syaiban juga berkata : “Aku mengenal seorang pemuda di kampungku, yang saleh dan tidak pernah meninggalkan masjid, dan aku senang sekali kepadanya. Suatu hari da jatuh sakit. Pada suatu hari Jum’at aku pergi ke kota untuk berdoa; dan sudah menjadi kebiasaanku, setiap kali aku pergi ke kota, melewatkan waktu siang malam bersama saudara-saudaraku. Setelah tengah hari aku merasa gelisah, maka aku kembali ke kampung ketika senja menjelang. Aku mencari pemuda itu dan orang-orang berkata, “Kami kira dia sedang kesakitan. “Aku pergi mendatanginya lalu menyaaminya, dan berjabat tangan dengannya; dan ketika kami sedang berjabat tangan dia meninggal. Lalu aku mendahului orang lain untuk menyucikan dirinya, dan tanpa sengaja menuangkan air ke tangan kirinya, bukannya tangan kanannnya; tangannya dijauhkan dari diriku dan daun bunga seroja yang ada di atasnya jatuh. Orang-orang di dekatku pingsan. Dia membuka matanya dan memandang kepadaku, dan aku sangat terkejut, lalu berdoa untuknya. Lalu aku memasuki kuburan untuk menutupi tubuhnya; dan ketika aku membuka wajahnya, dia membuka matanya dan terrsenyum, sampai gigi-gigi geraham dan gigi serinya kelihatan. Maka kami menutupkan tanah rapat-rapat ddi atasnya dan menaburkan debu di atasnya.”
Bahwa ini merupakan suatu fenomena yang asli, dipersaksikan oleh kisah berikut ini : “Al-Rabi’ ibn Khirasy telah bersumpah bahwa dia tidak akan tertawa lagi, sampai dia tahu apakah dia da di surga atau neraka. Maka begitulah dia menunaikan sumpahnya dan tak seorang pun melihatnya tertawa, ssampai dia meninggal. Mereka menutupkan matanya dan menutupi tubuhnya; kemudian mereka memerintahkan gara kubur digali dan kain pembungkusnya di bawa ke situ. Saudaranya, Rab’i berkata : “Saudara kami selalu berjaga sepnjang malam, dan berpuasa sepanjang hari yang panas.” Ketika mereka duduk di sekitarnya, kain itu dibukakan pada wajhnya, dan dia menyapa mereka dengan sebuah senyumman. Saudaranya, Ra’i bertanya : “Saudaraku, adakah kehidupan sesudah kematian? Dia menyahut : “Ya, aku telah bertemu Tuhanku, dan Dia menerima ku dengan tenang dan ridha, dan Dia bukanlah Tuhan yang pemrah. Dia telah memakaikan bagiku baju dari sutera dab brokat, dan aku telah menemukan bahwa hal itu lebih mudah daripada yang kalian sangka, maka janganlah kalian tertipu. Dan sekrang kawanku, Muhammad, menantiku untuk berdoa bagiku, oleh karena itu bercepatlah, segerakanlah! Lalu, ketika dia telah selesai berbicara, nafasnya putus, bagaikan suara batu koral yang dilemparkan ke dalam air. Kisah ini dituturkan kepada A’isyah, Ummul Mukminin (Ibu orang-orang beriman); dan dia berkata : “Seorang saudara dari pura-putra suku Aibs, semoga Tuhan berbelas kasih terhadap jiwanya. Akumendengar Nabi berkata : “Seseorang di antara umatku akan berbicara setelah dia maninggal, salah seorang dari pengikutku yang terbaik.”
74.
MENGENAI KARUNIA-KARUNIA LAIN YANG DIBERIKAN KEPADA MEREKA
Abu Bakr al-Qahtabi berkata : “Aku sedang berada dalam pertemuan dengan Sumnun, ketika seseorang berdiri dan menanyakan tentang cinta, dia berkata : “Aku tidak mengenal seorang pun hari ini yang kepadanya aku merasa bebas berbicara mengenai hal ini, dan yang akan bisa memahaminya.” Pada saat itu seekor burung hinggap di atas kepalanya dan jatuh di atas lututnya dan berkata, “Jika ada, inilah dia! Maka dia mulai berbicara, menunjuk kepada burung itu : “Aku telah mendengar begini dn begitu mengenai keadaan orang-orang itu, dan mereka mengalami ini dan itu, dan berada dalam keadaan begini dan begitu.” Begitulah dia terus berbicara dengan burung itu, sampai burung itu jatuh dari lututnya dan mati.”
Abu Bakr ibn Mujahid menuturkan bahwa Ahmad ibn Sinan al-Aththar berkata bahwa dia mendengar salah seorang dari kawan-kawannya berkata : “Suatu hari aku pergi ke Wasith dan melihat seekor burung putih di tenga perairan, mengatakan : “Tuhan dimuliakan di atas kealpaan manusia.” Al-Junaid berkata : “Aku bertemu dengan seorang murid yang masih muda duduk di bawah pohon di apdang pasir, dan aku berkata kepadanya, “Anak muda, mengapa engkau duduk di sini? Dia menjawab : “Aku mencari sesuatu yang hilang.” Aku pergi meninggalkannya; dan ketika aku telah agak menjauh darinya. Lagi-lagi aku melihatnya, sebab ddia telah dipindahkan ke suatu tempat di dekatku. Aku bertanya kepadanya : “Mengapa engkau duduk di sini sekarang? Dia menjawab : “Aku telah menemukan sesuatu yang membuatku mencari di tempat ini, dan karenanya aku terus mengikutinya.” Dan aku tidak tahu yang mana di antara kedua keadaan orang itu yang lebih mulia, pencariannya akan keadaannya, atau ketetapannya untuk berada terus di tempat dia mendpatkan keinginannya.”
Abu Abdillah Muhammad ibn Sa’dah menuturkan baha dia mendengar salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Suatu hari aku duduk di seberang Ka’bah, ketika aku mendengar suara ribut yang meratap-ratap kelaur dari banguna itu, mengatakan : “Wahai tembok! Jauhkan dirimu dari para Wali dan Karibku; sebab barang siapa mengunjungimu, maka sesungguhnya ia mengelilingi dirimu, tapi barangsiapa mengunjungi Aku, maka sesungguhnya ia berada dalam kehadiranku.”
75.
MENGENAI AUDISI (SAMA’)
Audisi adalah suatu istilah setelah masa bersusah-payah (Ruhaniah), dan suatu hiburan bagi mereka yang mengalami keadaan-keadaan ke (jiwa)an, juga sebagai suatu sarana untuk membangunkan kesadarn orang-orang yang menyibukkan diri mereka dengan hal-hal lain. Audisi lebih banyak diartikan demikian dariapda masa istirahat dari hal-hal alamiah, karena jiwa itu tidak mungking cenderung kepadanya atau beristirahat di situ; Sebab dia datang dan pergi menurut ketentuan Tuhan. Para Sufi, yang menikmati ilham dan pengalaman langsung tidak membutuhkan bantuan-bantuan semacam itu, sebab mereka memiliki sarana yang akan membawa hati mereka berjalan di taman ilham.
Saya mendengar Faris berkata : “Aku sedang bersama Quthah al-Maushili, yang telah tinggal selama empat puluh tahun di dekat tiang di masjid Baghdad. Kami berkata kepadanya : “Inilah penyanyi yang baik itu. Mestikah kami panggil dia untukmu? Dia menyahut : “Masalahku terlalu menyedihkan sehingga tak seorang pun bisa membebaskan ku dan tak satu kata pun bisa merasuk ke dalam diriku. Aku terlalu kebal.”
Kalau Audisi itu menembus telinga, dia menggerakkan segala sesuatu yang ada dalam hati; dan orang itu akan bingung, karena dia terlalu lemah untuk menerima rahmat itu, atau keadaan kejiwaannya memberinya kekuatan untuk mengatasi dirinya sendiri. Abu Muhammad Ruwaim berkata : “Orang-orang itu mendengar Dzikr pertama mereka ketika Tuhan berfirman, ditujukan kepada mereka “Tidakkah Aku ini Tuhanmu?” Dzikr itu mereka sembunyikan di dalam hati, bakan saat fakta (yang dberitakan) itu tersimpan dalam akal mereka. Maka, ketika mereka mendengar (seorang Sufi) ber-dzikr, rahasia-rahasia yang ada dalam hati mereka muncul, dan mereka dipaksa, bahkan saat rahasia-rahasia akal mereka muncul ketika Tuhan memberi tahu mereka mengenal hal ini, dan mereka percaya.”
Saya mendengar Abu’lQasim al-Baghdadi berkata : “Audisi ada dua macam. Tingkat yang satu adalah orang yang mendengarkan pelajaran-pelajaran dan dari situ mengambil suatu nasihat; orang yang semacam itu hanya mendengarkan yang dibutuhkannya saja dan dengan menyertakan hatinya di situ. Tingkat yang satunya lagi mendengarkan musik yang merupakan makanan bagi jiwa; dan ketika jiwa itu mendapatkan makanannya, maka dia pun mecapai keadaannya yang sepatutnya, dan menyingkir dari perintah jasmani; dan kemudian muncullah di dalam diri orang yang mendengar itu suatu keributan dan suatu pergerakan.”
Abu Abdillah al-Nibaji berkata : “Audisi menggerakkan pikiran dan mendatangkan nasihat; yang selebihnya adalah suatu godaan.” Al-Junaid berkata : “Belas kasih (Tuhan) diturunkan kepada orang melarat lewat tiga cara : “Ketika dia makan, sebab dia hanya makan kalau sedang lapar; Ketika dia berbicara, sebab dia hanya berbicara kalau dia merasa terpaksa; dan pada saat audisi, sebab dia hanya mendengarkan dalam keadaan Eksstase.”
SEPANJANG, Sabtu : 26-10-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar