Kamis, 10 September 2020

Terjemah Al-Washaya li Ibn al-‘Arabi 27. WASIAT IHWAL MEMBACA DAN MENGKAJI AL-QURAN


Terjemah Al-Washaya li Ibn al-‘Arabi
Wasiat – Wasiat Ibn ‘Arabi

Penerjemah : Irwan Kurniawan


27.
 WASIAT IHWAL MEMBACA DAN MENGKAJI AL-QURAN




Hendaklah engkau membaca Al-Quran dan mengkajinya. Di saat engkau mengkajinya, perhatikanlah sifat-sifat terpuji yang Allah sifatkan kepada hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya.
Hendaklah engkau juga memiliki sifat-sifat seperti itu.
Dan perhatikan pula sifat-sifat yang dicela Allah dalam Al-Quran yang dinisbatkan-Nya kepada orang yang dibenci-Nya. Karenanya, jauhilah sifat-sifat itu.
Allah menyebutkan sifat-sifat itu kepadamu di dalam kitab-Nya serta mengenalkannya kepadamu hanya agar engkau seperti apa yang terdapat di dalamnya.
Berusahalah untuk menghafalnya dengan mengamalkannya sebagaimana engkau menghafalnya melalui pembacaan.
Tidak ada orang yang lebih pedih siksaannya pada Hari Kiamat ketimbang orang yang menghafal satu ayat dari Kitab Allah dan kemudian ia melupakannya.
Demikian pula halnya dengan orang yang menghafal satu ayat Al-Quran dan tidak mengamalkannya.
Maka, pada Hari Kiamat kelak, ayat itu menjadi saksi atas dirinya dan menjadikannya menyesal. Rasulullah saw. Mengungkapkan ikhwal orang yang membaca Al-Quran dan orang yang tidak membacanya dari kalangan orang-orang beriman Mukmin dan kaum munafik. Beliau besabda : “Perumpamaan seorang Mukmin yang membaca Al-Quran adalah seperti jeruk sitrun berbau harum.”
 Yang dimaksudkan di sini adalah tilawah dan qira’ah, dan itu adalah napas-napas yang keluar. Hal itu diibaratkan dengan bau-bauan yang dikeluarkan oleh napas “ ..... Dan lezatnya.” Yang dimaksudkan adalah keimanan. Karena ini, beliau bersabda : “Orang yang ridha bahwa Allah adalah Tuhannya, Islam adalah agamanya, dan Muhammad saw., adalah Nabinya merasakan lezatnya keimanan.” Maka, kelezatan dinisbahkan pada keimanan.
Kemudian beliau bersabda : “Perumpamaan seorang Mukminyang tidak membaca Al-Quran adalah seperti kurma yang lezat rasanya.” Karena seorang Mukmin memiliki keimanan,” .... tetapi tidak berbau harum.” Karena ia bukan pembaca dalam keadaan seperti orang yang membaca, walaupun ia termasuk dalam golongan orang-orang yang menghafal Al-Quran. Selanjutnya beliau bersabda : “Perumpamaan orang munafikk yang membaca Al-Quran adalah seperti kasturi berbau harum.” Sebab Al-quran itu harum, yang tak lain dan tak bukan adalah napas yang keluar ketika seseorang mambaca  Al-Quran.” .... tetapi pahit rasanya.” Karena kemunafikan adalah kekufuran tersembunyi, padahal manisnya keimanan ialah dengan merasakan kelezatan keimanan itu.
Kemudian beliau bersabda : “Perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Quran adalah seperti buah labu yang pahit rasanya dan tidak memiliki bau yang harum.”
 Karena memang ia bukan pembaca Al-Quran. Dari sisi ini, di dalam setiap perkataan yang baik terdapat ridha Allah.
Keridhaan seorang Mukmin dan seorang munafik berbentuk Al-Quran di dalam perumpamaan ini, meskipun kedudukan Al-Quran tidak tersembunyi.
Tidak ada satu ucapan pun yang mendekati Allah bisa menyerupai kalam Allah. Karena itu, orang yang melantunkan zikir, ketika berzikir kepada Allah, hendaknya menyertakan zikir-zikir yang termuat di dalam Al-Quran. Dengan zikir itu, ia menyebut Nama Allah. Yang demikian ini dimaksudkan agar ia membaca Al-Quran di dalam zikirnya.
Apabila ia membaca Al-Quran, maka ia menjadi peniru zikir yang dengannya Allah menyebut Zat-Nya. Jika demikian halnya, maka ia telah menyetarakan dirinya dalam kedudukan Tuhannya. Allah SWT berfirman : “Maka lindungilah ia sehingga dapat mendengar firman Allah (QS. At-Taubah, 9:6). Juga firman-Nya : “Sesungguhnya Allah berfirman melalui lisan hamba-Nya, Sami’allahu li man hamidahu --- Allah mendengar orang yang memuji-Nya.” Dan dikatakan kepada pembaca Al-Quran pada Hari Kiamat : “Bacalah dan naiklah.” Kenaikannya di dunia pada hari-hari taklif (ayyam at taklif) dalam bacaannya berarti ia naik dari bacaannya menuju bacaan-Nya, karena Allah lah yang membaca melalui lisan hamba-Nya – persis sebagaimana Dia menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya yang dengannya  ia melihat, menjadi kedua tangannya yagn dengannya ia bertindak, dan menjadi kedua kakinya yang dengannya ia berjalan dan berlari. Begitu pula, Dia adalah lisannya yang dengannya ia berbicara. Ia tidak memuji Allah, bertasbih dan bertahlil kepada-Nya dengan apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sebab Al-Quran memang dijadikan untuk itu.
Dia naik dari bacaannya sendiri menuju menuju bacaan Tuhannya. Maka, Allah lah yang membaca Kitab-Nya. Pada Hari Kiamat, ia naik pada ayat Al-Quran yang terakhir dibacanya, dan ia berdiri di situ hingga sampai pada derajat yang sesuai dengan ayat itu, yang dibaca oleh Allah melalui lisan hamba-Nya ini dengan kehadiran hamba-Nya yang membacanya. Sebaik-baik ucapan adalah kalam Allah yang khusus dan dikenal.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

  AJARAN     KAUM SUFI Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf Karya : Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI...

Postingan Populer